28

502 78 12
                                    

Sorry for typo(s)

---

Pintu ruang kamar itu terbuka lebar setelah ditarik dari dalam. Tubuh Bumi menyelinap masuk sebelum kembali menutup pintu dengan rapat.

Ia menaruh tas di atas kursi, mengeluargan charger yang langsung ia sambungkan pada ponselnya sebelum dicolok ke sumber listrik yang ada di atas meja.

Setelahnya ia mengeluarkan beberapa kaosnya yang berukuran besar lalu menyodorkan pada Vanka yang kini kembali duduk di atas kasur.

"Kenapa lama?"

Bumi berlutut di hadapannya. Menarikan jari di tangan Vanka sembari melemparkan senyum.

"Aku harus mampir menemui adik-adikku. Mereka butuh penjelasan kenapa aku gak pulang. Dan memastikan mereka aman di tempat yang baru."

Mendengar hal itu sontak membuat Vanka menunduk.

"Mereka harus pindah gara-gara aku ya?"

Tentu saja Bumi menggeleng. "Bukan. Aku memang sudah membeli rumah itu dari lama dari hasil jual beberapa aset bapak dan akhirnya lunas. Niatku mengajak mereka pindah setelah lulus. Hanya dimajukan beberapa bulan."

Pun mendengar hal itu, Vanka tetap tidak enak hati. Jemarinya bertautan saling mencubiti satu sama lain. Kebiasaan kecil yang disadari Bumi ketika gadis itu sedang risau.

"Hari ini baik-baik saja? Ada yang aneh?"

Tatapan Vanka lari dari wajah Bumi. Ia melirik ponsel yang tergeletak di atas meja sebelum mengeluarkan tanya.

"Yang sedang kamu charge itu handphone kamu?"

Dahi Bumi berlipat walau ia tetap mengangguk. "Iya. Mati sejak semalam. Tadi aku pulang sembari ambil charger-nya. Kenapa?"

Vanka kembali mencubit jarinya. Ia menatap ragu dari balik mata sebelum mengedikkan bahu pada gawai yang juga tergeletak di nakas samping tempat tidur.

"Awalnya kupikir itu punya kamu."

Bumi menoleh. Matanya menemukan benda itu. Langsung teringat saat ia akan mandi tadi malam menemukan benda itu dalam saku jaketnya. Yang ia yakini diselipkan oleh Kavi saat mendorong mereka dari jendela.

Bagaimana mungkin Bumi lupa akan hal sepenting itu.

"Kamu cek?"

Vanka mengangguk ragu. "Aku pikir awalnya punyamu ketinggalan. Aku cuman mau memastikan jadi aku coba idupin. Waktu hidup ada banyak pesan yang masuk dari nomor tak dikenal."

"Dan?"

"Walaupun tampak luarnya berbeda dan retak di beberapa sisi, aku rasa aku tahu handphone itu punya siapa."

Bumi bergerak. Meraih gawai itu untuk membaca pesan-pesan yang masih terbuka di sana. Sebelum matanya melebar dan menemukan Vanka yang tampak lebih gusar.

"Aku rasa kita di jebak."bisiknya pelan.

"I-ini--"

"Handphone aku yang hilang waktu kecelakaan."

Pesan-pesan yang masuk selalu dari nomor yang sama. Mengirimkan banyak kalimat penuh cinta yang diantaranya tampak tidak pantas dengan kalimat-kalimat menjijikkan. Hingga tiga pesan terakhir membuat dada Bumi mendidih.

Gimana rasanya hidup dalam pelarian seperti ini, sayang? Membangkitkan adrenalin dan gairah, ya?
Atau keberadaan laki-laki itu yang bikin kamu bergairah?

Pesan berikutnya membuat Bumi mengepalkan tangan  kuat.

Dia sudah berhasil melepaskan celana kamu? Kutebak, kamu yang memohon sembari berlutut mengisap penisnya?

Imperfect Princess [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang