"Pak,.."
Panggilku seraya berjalan menghampiri. Beliau menjawab tanpa membuka mata, lalu aku ikut duduk di sampingnya.
"Pak Vand istirahat yah"
"Sebentar, saya belum mengantuk"
Padahal beliau terdengar letih. Mungkin karena beban pikiran sehingga dia terjaga.
"Mau saya buatkan kopi?" aku hanya ingin melayaninya dengan baik
"Tidak usah" tolaknya pelan
Aku pun diam, aku ikut bersandar menatap ke depan. Aku pun sendiri bingung harus bagaimana dengan status kami. Bagaimana hidup ku selanjutnya, dan apa yang akan kami lakukan bersama kedepannya.
"Kamu tidak apa-apa?"
Pertanyaan nya membuyar kan pikiranku yang tak karuan. Aku menoleh menatapnya yang menatap ku.
"Saya kehilangan kakek bagaimana saya tidak apa-apa"
Kembali air mata ini menggenang mengingat kakek yang telah pergi, tak akan pernah lagi ku rasakan kasih sayang beliau.
"Sabar yah" seraya beliau mengusap puncak kepalaku.
"Semoga saja Berno itu tidak menggangu saya lagi"
"Tapi kamu harus terjebak menjadi istri saya"
Beliau menatapku terlihat bersalah, padahal seharusnya tidak. Karena aku merasa tak terbebani dengan pernikahan kami. Dan entah mengapa aku kini merasa aman setelah terikat tali pernikahan dengan nya.
"Saya merasa terhormat menjadi istri pak Vand" ujar ku bersungguh-sungguh.
Ia terdiam menatap ku, mata kami bertemu di tengah kesunyian malam, tersadar akan kasak-kusuk langkah kaki yang berlalu di hadapan membuyarkan tatapan yang malu setelah bertemu.
"Pak Vand sudah siap-siap?" aku berusaha mengalihkan dari suasana canggung.
"Siap-siap untuk apa?"
Ku rasa karena kecapean ia sampai lupa dengan kepulangannya besok.
"Pak Vand kan besok kembali ke kota"
"Oh iya, saya sudah siap-siap. Kamu sendiri sudah siap-siap?"
"Hah! Untuk apa saya siap-siap?"
"Pernikahan kita memang mendadak tanpa perencanaan, tapi pernikahan kita sah secara agama, dan akan saya daftarkan secara negara setelah kita tiba di kota. Saya sudah berjanji pada kakek Gun untuk menjagamu, kamu tanggung jawab saya sekarang"
Aku bahagia di sela sedih di beri suami bertanggung jawab seperti dirinya. Meski pernikahan kami tanpa cinta tapi aku bersyukur menjadi istri nya. Sungguh aku bersyukur menjadi istrinya.
"Maaf, pak Vand harus terlibat dalam masalah saya"
Aku benar-benar tak enak hati. Karena menolongku beliau justru terjebak pernikahan denganku.
"Jangan berkata seperti itu, saya yakin semua ini pasti ada hikmahnya"
Tatapannya yang sendu selalu berhasil membuatku tenang, tak pernah gagal memberi rasa nyaman dan aman.
"Saya akan berbakti pada pak Vand sebagai mana mestinya seorang istri"
"Jangan terbebani karena status kita, kita sama-sama perlu mengenal lebih dekat lagi. Yang utama mari saling menghargai dan menghormati"
"Iya, bimbing saya agar menjadi istri yang berbakti untuk pak Vand yah"
"Iya, arahkan saya agar menjadi suami yang bertanggung jawab pada mu"
Meskipun pernikahan kami atas dasar keterpaksaan, tapi aku akan berusaha mempertahankannya. Akan ku lakukan kewajibanku sebagaimana mestinya seorang istri berlandaskan saling menghargai dan menghormati.
"Saya siapkan kamar dulu yah Pak"
Ia mengangguk, aku pun meninggalkan dudukanku berlalu ke lantai atas di mana kamar ku berada seorang diri.
Di dalam kamar aku menangis sembari menyiapkan tempat tidur untukku juga untuk suamiku. Aku tak menyangka pernikahan yang ku imajinasikan bahagia terjadi dengan cara seperti ini. Kebahagiaan dan kesedihan terjadi di waktu bersamaan, hingga aku tak tahu harus bagaimana.
Kembali ku tenangkan diri sebelum menemui pak Vand memanggilnya untuk beristirahat. Tapi aku tak mendapatinya di tempat ia ku tinggalkan.
"Tante, lihat pak Vand?"
"Suamimu sepertinya di luar, di teras depan"
Segera ku susul ke teras depan dan mendapatinya duduk di anak tangga menikmati angin malam yang menyejukkan.
"Pak,.." ia menoleh. "Ayo masuk, istirahat"
Beliau pun meninggalkan dudukannya mengekori ku ke lantai atas.
Kami terdiam begitu aku membuka pintu. Aku bingung juga gugup tak karuan, sebab aku tak pernah membawa pria manapun kedalam kamar, pak Vand pria luar yang pertama kali menapaki kamarku.
"Silahkan masuk pak"
"I-iya"
Ia melangkah mengikuti ku hingga ke tempat tidur. Lagi kegugupan menyelimuti manakala menyadari harus berbagi tempat tidur dengan seorang pria meski itu suamiku sendiri.
Beliau pun lantas naik ke atas tempat tidur merebahkan dirinya yang sudah pasti sangat kelelahan seharian mengurus peristirahatan terakhir kakek. Aku pun naik keatas tempat tidur, ikut merebahkan diri di sampingnya dengan sedikit menjaga jarak.
"Kamu tidak apa-apa berpisah dengan keluargamu?"
Pertanyaan nya membuatku tak jadi memejamkan mata.
"Selama orang tua saya meninggal saya tidak pernah jauh dari nenek dan kakek, besok pertama kalinya saya berpisah dari mereka terutama nenek. Pak Maaf saya mau tanya?" ku putar badan menghadap padanya yang terlentang, menjadikan salah satu tangannya sebagai bantal. Beliau pun menoleh menatapku. "Saya pikir pak Vand sudah menikah" lanjutku
"Pernah"
"Ooh.. Duda dong"
"Hehe.. Iya"
Aku lega. Meski dirinya seorang duda tapi tak mengapa, setidaknya beliau tak ada yang memiliki. Dan aku tak menjadi seorang perusak.
"Tidak apa-apa,. Kapan bercerai nya?"
"Tiga tahun yang lalu"
"Pak Vand punya anak?"
"Kenapa?"
Ia memutar badan menghadap padaku. Menjadikan kami saling menghadap, pun netra kami bertemu sempurna, sepersekian detik selanjutnya aku merasakan jantung ku berdegup kencang sekali. Bagaimana tidak, ini kali pertama aku bertatapan dengan seorang pria, satu tempat tidur, juga satu selimut.
"Saya akan berusaha menjadi ibu yang baik untuk anak pak Vand"
Aku bersungguh-sungguh menyiapkan diri untuk hal tersebut, lalu aku mengalihkan pandangan pada bagian lain di wajahnya setiap kali rasa gugup karena malu menyambar kian besar.
"Tidak, saya tidak memiliki anak"
Beliau memberikan senyuman yang tak pernah ku lihat selama kami kenal. Wajah dewasanya yang berwibawa di hiasi senyum itu membuat jantungku lagi-lagi berdegup kencang.
Ada apa dengan ku kini? Mengapa setelah mengenal pak Vand aku mudah menjadi melankolis. Dan mengapa setelah terikat tali pernikahan dengannya aku merasa jantung ku tak baik-baik saja setiap kali kami berdekatan.
"Selamat malam"
Segera ku putar badan memunggungi nya, menyembunyikan rasa malu yang mungkin terlihat pada kedua pipiku ku yang kini bersemu merah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Tersembunyi Pak Dosen
RomansaAku tak pernah membayangkan berpacaran dengan seorang dosen, apa lagi menjadi seorang istri dari dosen yang Keras, Tegas, nan Cuek. Itu kesan pertamaku bertemu dengan beliau. Dan pernikahan kami bukan seperti pernikahan pada umumnya. Pernikahan kami...