Bab 41. Menolak Menerima

27.2K 620 3
                                    

Hanya pada saat memasukkan persneling beliau membiarkan tangan kami terlepas. Seolah takut jika aku akan pergi lagi sehingga tak membiarkan tangannya lepas dari tangan ku barang sebentar hingga kami tiba di rumah.

Di halaman rumah terparkir dua mobil yang ku kenal. Mobil mertuaku dan juga mobil Emilia, entah ada apa gerangan hingga mereka datang tiba-tiba. Aku menoleh pada pak Vand yang menghela nafas gusar.

"Bagus lah jika semua orang ada di sini" seru beliau menoleh padaku dan memberikan senyum, kentara sekali dirinya gugup.

Beliau turun lebih dulu membukakan pintu untuk ku, dan kembali menggenggam erat tangan ku memasuki rumah bersama-sama.

"Assalamualaikum,." seru kami bersamaan, terus bergerak memasuki rumah menghampiri suara sahutan salah berasal, tepatnya pada ruang tengah.

Benar, di sana ada ke-dua orang tua pak Vand bersama Amelia.

"Kebetulan semua ada di sini, aku ingin menyampaikan sesuatu.." ujar pak Vand berdiri di depan semua orang yang seolah menunggu kedatangan kami.

"Mengatakan kalian telah menikah?" potong buk Gina. Aku dan pak Vand sontak terkejut, tapi secepatnya pak Vand bisa menyesuaikan diri dan bersikap biasa saja.

"Syukurlah jika mamah dan papah telah tahu, mohon restui kami" pinta pak Vand dengan sangat.

"Seharusnya kamu menjelaskan itu tiga bulan yang lalu Ivand!!" bentak buk Gina geram, entah dari mana beliau mengetahui usia pernikahan kami.

"Riana!" panggilannya padaku. "Saya menyayangi kamu karena saya salut dan prihatin sama kamu! Tapi bukan berarti saya akan menerima kamu menjadi menantu!!" lanjutnya menunjukkan ketidak sukaan terhadapku.

"Jangan salahkan Riana mah" sela pak Vand menyembunyikan ku di belakangnya.

"Lalu salah siapa!? Salah kami karena kami sangat mempercayainya!? Bagaimana bisa kamu membodohi kami Ivand! Jika bukan tantenya yang mengirim sesuatu kesini beserta surat yang mendoakan pernikahan kalian, kami akan terus di bohongi!!"

"Maaf mah, tapi kami saling mencintai mah"

"Apa yang kamu harapkan Riana dari pernikahanmu dengan anak saya!? Restu? Posisi menantu dan menjadi bagian dari kami? Tidak! Posisi itu tidak pantas untuk mu!"

Aku hanya bisa diam menerima kemarahan beliau yang kecewa. Aku tak tahu harus mengatakan apa, karena semua ini memang salah kami yang tak jujur sedari awal. Terlebih lagi pernikahan ini mendadak karena keinginan kakek ku.

"Mah, bicaralah padaku, Riana tidak salah apa-apa" pak Vand sama seperti dulu, tetap kukuh dalam membelaku.

"Kenapa? Kamu tidak terima mamah berbicara dengannya sebelum mengatakan menantu!!"

"Tidak buk" selaku

"Diam kamu!!"

Aku terperanjat terkejut, kembali aku bersembunyi di belakang pak Vand saat beliau merentangkan tangannya melindungi ku.

"Mamah minta akhiri pernikahan kalian!" titahnya

"Tidak mah, aku mencintai Riana" pak Vand menolak, tetap kukuh mempertahankan pernikahan kami.

"Mamah minta sekali lagi, akhiri pernikahan kalian! Atau kamu akhiri hubungan dengan mamah Ivand!"

Ku lepas tanganku dari tubuh pak Vand mendengar ancaman mamahnya yang tentu hanya satu pilihan, yah itu dirinya. Dan memang sepantasnya pak Vand memilih keluarganya di banding diriku.

"Tidak ada pilihan apapun yang sebanding dengan orang tua, aku akan selalu memilih mamah. Tapi aku pun tidak bisa meninggalkan istri ku mah, Riana tanggung jawab ku, juga aku mencintainya" papar pak Vand lirih di beri pilihan sulit.

"Ayo kita pergi dari sini, Ivand tidak lagi menganggap kita keluarganya"

Buk Gina dan yang lain bersiap-siap pergi.

"Mah, jangan seperti ini" pinta pak Vand lirih, menahan tangan mamah nya, menatap beliau memohon.

"Mulai lah untuk tidak memanggil mamah"

Seperti aku yang tercengang mendengar ucapan beliau, pak Vand pasti tak kalah tercengangnya mendengar ucapan mamahnya yang seolah memutus ikatan ibu dan anak antara mereka.

"Sekarang bagaimana mas? Semua orang kecewa" aku benar-benar khawatir ikatan antara mereka benar-benar terputus karena diriku.

"Masih ada pernikahan kita, biarkan mereka tenang dulu"

Beliau meremas tanganku, dan membawaku ke kamarnya.

Sesaat menutup daun pintu, beliau justru terdiam menjatuhkan pandangan ke lantai di bawah kakinya. Aku tahu, ia pasti sangat bingung saat ini.

Ku bawa ia ke tempat tidur, ku dudukkan ditepi, lalu menanggalkan sepatu, kaos kakinya, juga kemeja dan ikat pinggangnya. Terakhir ku lepas jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya agar beliau bisa beristirahat dengan nyaman.

"Istirahat yah mas"

Ku rebahkan ia dan ku tarik selimut menutupi tubuhnya, lalu aku duduk di sampingnya.

Beliau menyentuh wajahku, serta menatap ku dengan bola matanya yang bergetar di penuhi kebingungan.
Lalu tiba-tiba beliau bangun menyambar bibirku.

Ku rasa ini bukan waktu yang tepat untuk hal seperti itu, tapi jika aku bisa menghiburnya dengan keinginannya itu, maka akan ku berikan. Setidaknya sebagai seorang istri aku bisa menghiburnya. Menjadi pelipur laranya.

Istri Tersembunyi Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang