Bab 38. Pergi

23.4K 716 8
                                    

Ku kemas pakaianku juga perlengkapan berkuliah ku kedalam koper. Ku mantapkan hati akan pergi dari rumah juga darinya dan dari pernikahan kami. Ku kenakan jaket serta sepatu, ku gendong ransel dan menyeret koper ke arah pintu.

Cklet...

Beliau segera berdiri dari duduknya menatapku tercengang dengan matanya yang basah.

"Ka-kamu mau kemana?" tanpa menjawab aku meneruskan langkah melewatinya. "Tolong jangan pergi" beliau menahan tangan ku bahkan menangis di hadapanku. Kembali ku seret koper melewatinya. "Saya mohon maafkan saya, tolong maafkan saya Riana" beliau memaksa merebut koper dari tangan ku, tak mau kalah ku pertahankan koper tetap pada genggaman ku. "Riana, jangan tinggalkan saya, saya mohon" beliau bahkan tak sungkan memohon.

"Saya lebih baik pergi dari pada saya harus tinggal dengan suami yang membagi cintanya pada orang lain"

"Tidak! Saya hanya mencintai kamu" tampik nya.

"Saya masih ingat betapa bahagianya mas saat makan malam berdua dengan mbak Emilia. Senyum mas, tawa mas, dan tatapan mas seolah menjelaskan pada saya jika mas masih ingin bersama mbak Emilia"

"Tidak! Tidak! Saya tidak ingin kembali padanya! Saya hanya ingin bersama kamu saja!" beliau membentak, tapi matanya di penuhi kesedihan dan ketakutan.

"Egois! Mas menginginkan saya tapi malah membagi waktu dengan wanita lain!"

Pip! Pip!

Suara klakson mobil dari arah depan menyela. Ku yakini itu pasti taksi yang telah ku pesan. Kembali ku seret koper melewatinya.

"Saya minta maaf, saya tidak akan melakukan itu lagi, saya janji" lagi beliau memohon bahkan menahan langkahku.

"Kenapa mas harus berjanji tidak akan melakukan itu lagi, sedangkan saya berjanji pada diri saya sendiri hanya akan mencintai mas, hanya mas!" kesal ku menunjuk-nunjuk dadanya. Beliau pun tertunduk menangis mungkin menyesali perbuatannya. "Pak Ivandra yang terhormat, anda harus ingat ini. Saya pergi bukan karena menyerah dengan pernikahan kita yang tidak kunjung anda tunjukkan pada keluarga anda. Tapi saya pergi karena saya di khianati oleh suami saya!"

Perlahan cekalan tangannya longgar hingga terlepas dari menahan ku. Beliau menatapku tak luput dari kesedihan.

"Kamu istri saya, kamu tidak bisa pergi begitu saja meninggalkan pernikahan kita"

"Pernikahan apa? Pernikahan yang mana? Yang saya tahu di mata keluarga mas saya hanya seorang pengurus rumah tidak lebih dari seorang pembantu. Dan di luar rumah saya hanya seorang pelajar sama seperti yang lain. Tidak ada ikatan nyata di antara kita berdua. Kita hanya dua orang asing ketika berada di luar. Bahkan saat bersama pun kita takut jika seseorang melihat kita seolah-olah yang kita lakukan adalah dosa"

Beliau tersungkur ke lantai menangis di hadapan ku hingga tubuhnya terselak-selak.

Mungkin kini aku keras hati karena hatiku telah di hancurkan oleh nya. Aku tak perduli lagi. Kembali ku teruskan langkah ke luar dari rumah menuju taksi yang telah menungguku.

"Jalan pak" titahku ingin segera pergi mendapati pak Vand menghampiri. Tak ku hiraukan beliau yang menggedor-gedor pintu berteriak meminta maaf dan tak ingin aku pergi.

Ku buang pandangan ke-arah sebaliknya, tak ingin melihatnya.

Aku pun sebenarnya tak sanggup meninggalkan suami dan pernikahanku, tapi aku juga tak bisa mentolerir kebohongannya demi bersama wanita lain.

Taksi yang ku tumpangi melaju meninggalkan pak Vand di belakang yang masih mengejar, hingga beliau berhenti saat taksi menambah laju kecepatan.

Sepanjang perjalanan aku terdiam bersitegang dengan diri sendiri yang tak sepenuhnya sanggup meninggalkan nya. Tapi kecewa yang ku rasa memenangkan diri.

Aku siap hidup tanpa beliau.

Aku turun di depan sebuah bangunan losmen sederhana yang terlihat tua. Aku pernah melintasi daerah ini dan melihat sebuah papan informasi jika losmen itu masih beroperasi. Tanpa berpikir panjang aku segera memesan satu kamar untuk tempat tinggal ku saat ini mungkin juga untuk seterusnya.

Di dalam kamarku kini yang sederhana aku kembali menangis membayangkan pernikahan yang ku harapkan bahagia hancur karena orang ke-tiga yang tak lain cinta masa lalunya yang mungkin belum kelar.

Seakan semua perhatian dan kasih sayang juga cinta ku padanya tak berarti apa-apa, sehingga ia tega mengkhianati ku. Memberikan tempat untuk mantan istrinya yang seharusnya itu hanya untukku sebagai istrinya kini.

Cring...!!!

Tin!
Tin!
Tin!

Cring...!!!

Tak ku hiraukan rentetan panggilan masuk maupun pesan darinya. Ku putuskan memblokir kontak nya dari ponselku juga dari hidupku.


***

Meski sekarang aku tak lagi tinggal serumah dengannya, tapi aku tetap melakukan kewajibanku sebagai seorang pelajar seperti biasa bahkan mengikuti kelasnya.

Begitu aku memasuki kelasnya, beliau tak pernah luput dari menatapku.

"Pak..! Bisa di mulai?" seru salah seorang pelajar membuatnya tersadar dan mulai melakukan kewajibannya sebagai seorang pengajar.

Tanpa pernah netra ku mengarah padanya sekejap pun, aku hanya memfokuskan diri pada apa yang beliau ajarkan, hingga kelas bubar dan aku segera meninggalkan ruangan.

"Riana...!"

Aku hanya menoleh sekejap kembali melanjutkan langkah mencari tempat untuk menghindarinya. Kemudian lanjut mengisi kelas dosen yang lain. Mungkin beliau tahu kelas siapa yang ku ikuti, iapun muncul di sana.

"Pak Vand, ada apa?" tanya dosen yang mengisi kelas, aku berpura-pura tak mendengar.

"Saya ingin bicara dengan Riana" sahut pak Vand.

Apa maksudnya? Apa beliau ingin membahas hal pribadi di kampus?.

"Riana, pak Vand ingin berbicara denganmu" panggil dosen yang mengajar.

"Saya lagi belajar" tolak ku tanpa mengangkat pandangan.

"Mungkin ini penting" ucapnya lagi

"Saya lagi belajar Pak" tolak ku lagi tetap tak melihat kearahnya.

"Tidak apa-apa pak, saya tunggu kelas anda bubar saja"

Beliau pun pergi meninggalkan kelas.
Jujur saja perasaan yang ada saat ini untuknya hanya kecewa dan kemarahan, cinta dan kasih sayang ku tinggalkan di rumahnya. Aku harus tetap kuat menjalani hari-hari ku meski tanpanya lagi.

"Riana..." panggil Rika seraya berlari kecil kearah ku.

"Kenapa?"

"Kalian bertengkar yah? Iya kan? Aku bisa melihatnya. Pak Vand di penuhi kesedihan, sedangkan kamu di penuhi kemarahan"

Tanpa bisa ku tahan air mataku terjatuh menatap Rika temanku.

Ia membawaku ke taman belakang kampus dimana hanya ada kami berdua. Ku tumpahkan semua kekecewaan dan kesedihanku karena dosen kami yang tak lain suami ku.

Istri Tersembunyi Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang