Bab 4 - Takut

19 1 0
                                    


Aku dan Kak Seno berlari kecil menuju kamar inap kakek. Keluarga kami sudah berkumpul di depan kamar dan tampak terkejut saat melihat aku datang bersama Kak Seno.

"Bunda, kakek sudah sadar?" Tanyaku langsung menghampiri bunda.

Bunda mengangguk, "Sena sudah di dalam, kamu masuk ya?" Tanpa pikir panjang aku langsung mengangguk dan masuk ke dalan kamar kakek.

Pemandangan yang pertama kali aku lihat ada kakek yang sedang duduk bersandar di kasurnya tengah bersenda gurau dengan Sena meski alat-alat medis masih menempel di tubuh tuanya yang renta. Saat menyadari kehadiranku, senyum kakek semakin cerah dan menyuruhku duduk di sampingnya. Aku duduk di kursi samping kasur kakek, berhadapan dengan Sena dengan kakek sebagai pembatasnya.

Tangan kanan kakek menggenggam tanganku dan tangan kirinya menggenggam tangan Sena. Dia menautkan tangan kami dengan tangan kakek sebagai pengikatnya. "Kakek senang karena akan melihat satu-satunya cucu perempuan kakek akan menikah dengan orang yang tepat."

Rasanya hatiku teriris saat mendengar itu. Andai kakek tahu bahwa banyak luka yang ditorehkan Sena kepada cucu perempuan satu-satunya ini, mungkin kakek tak akan mengatakan hal seperti itu.

"Sejak dulu, kalian memang tidak pernah akur. Tapi kakek yakin, benci akan menjadi cinta. Cinta kalian akan tumbuh pada waktunya. Sebenarnya kalian saling menyayangi, saling peduli, tapi gengsi untuk mengakui."

Kami hanya diam mendengarkan kakek berbicara. Mendengarkan kata demi kata yang keluar dari mulut kakek.

"Sena, kakek yakin kamu bisa menjaga Michie sebagai mana kakek menjaganya. Kamu tahu kan, Michie adalah cucu kesayangan kakek. Kakek tak akan sembarangan memberi restu pada pria yang ingin mendekati Michie. Tapi padamu, kakek serahkan Michie sepenuhnya. Kakek percaya padamu, Sena. Kakek percaya kamu bisa menjaga dan membahagiakan Michie. Kakek memberi kepercayaan ini padamu agar kakek tenang di sana. Agar kakek tenang karena meninggalkan Michie pada orang yang tepat."

"Kakek jangan ngomong begitu!" Tukasku yang kini tak lagi mampu menahan tangis. Setiap kata yang keluar dari mulut kakek membuat hatiku sakit. Aku takut kakek kecewa saat mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Aku takut kakek sedih dan merasa bersalah karena telah meninggalkanku pada orang yang salah.

Kakek hanya tersenyum menatapku. Tangannya yang menggenggam tanganku kini terulur untuk membelai pucuk kepalaku. "Michie, cucu kakek yang tersayang. Walaupun di mata kakek kamu tetaplah gadis kecil yang manis, tapi kakek yakin kamu bisa menjadi istri yang baik untuk Sena. Mungkin nanti kamu tak bisa lagi bermanja dengan kakek. Tapi jangan khawatir, Sena akan selalu ada untukmu." Katanya yang semakin membuat air mataku mengalir deras.

Aku melepaskan tautan tanganku dengan Sena dan bangkit dari dudukku. Aku langsung memeluk kakek erat dan menangis. Aku tak tahu lagi harus mengatakan apa pada kakek, aku tak sanggup. Kemudian aku merasakan tangan kakek mengusap pelan punggungku, menenangkanku. Hal yang selalu dilakukannya saat aku menangis.

Lalu kalau kakek pergi, siapa lagi yang akan menenangkanku saat aku menangis?

Setelah kakek pergi, mungkin akan banyak air mataku yang jatuh tanpa ada seorang pun yang menghapusnya, tanpa ada kakek yang memelukku. Akankah aku kuat berdiri sendiri tanpa kehadiran kakek di hidupku?

Satu jam kemudian kami berdua pun keluar dari kamar kakek, sudah waktunya kakek minum obat dan beristirahat. Aku keluar dengan wajah khas orang habis menangis dengan isak yang tersisa. Bunda langsung memelukku, tangisku kembali pecah. Yang lain meninggalkanku berdua dengan bunda di depan kamar inap kakek agar aku bisa dengan puas menumpahkan air mataku.

Bunda merenggangkan pelukannya, dia pun menangkup wajahku dan menghapus air mata yang jatuh dengan ibu jarinya yang lembut. "Kamu sudah melakukan yang terbaik, Michie."

Beautifully Bittersweet - OH SEHUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang