Bab 18 - Parama

10 1 0
                                    


"Psycho!" Pekik Safi.

Aku akhirnya cerita pada Safi tentang kak Rama dan alasannya menemuiku. Aku mengajak Safi juga kak Rama bertemu di kafe biasa dan menjelaskan yang sedetail-detailnya pada Safi.

"Gak waras emang tuh cewek!"

Kak Rama menghela napas, "maka dari itu aku minta bantuan Selia sebagai korban agar kejadian seperti ini tak terulang lagi."

"Iya Safi, aku juga sudah setuju untuk membantu."

Safi mendengus, "ya, orang seperti Cherista memang harus dihukum tegas."

Hari ini, kami bertiga bertemu dengan beberapa mantan kekasih kak Rama yang sempat diteror oleh Cherista. Mereka juga bersedia menjadi saksi. Kami selesai merundingkan hal itu pada sore hari dan berpisah di parkiran. Tapi saat aku hendak menuju mobil Safi, katanya kak Rama ingin mengobrol sebentar denganku. Akhirnya aku meminta Safi untuk pulang duluan. Setelah mobil Safi pergi meninggalkan parkiran kafe, kak Rama mengajakku pergi.

"Karena udah sore, gimana kalau kita sekalian makan malam? Kamu gak keberatan kan?"

Aku melirik jam di tanganku, "uhm, nggak sih kayaknya. Aku free hari ini."

"Oke! Aku mau ngajak kamu ke tempat kita dulu."

Aku mengerutkan dahiku, "ke tempat kita dulu? Kemana?" Tanyaku bingung.

Bukannya menjawab, kak Rama malah menarik tanganku dan membawaku ke mobilnya, "udah... nanti juga kamu tahu."

Dan kami berakhir di jalan penuh angkringan malam yang mulai ramai. Aku tersenyum kecil, kami memang pernah ke sini tapi tidak berdua. Dulu kak Rama mentraktir anak-anak osis makan di sini, penyambutan anggota osis baru katanya. Setelah memesan, dia duduk di sampingku.

Tak ada restoran mewah seperti awal kami bertemu. Hanya ada meja kayu dan kursi plastik yang kami duduki. Suara bising kendaraan dan klaksonnya pun bagai menjadi alunan musik yang menemani kami malam ini. Lampu-lampu mulai dinyalakan dan kursi-kursi mulai ramai dengan pelanggan yang berdatangan.

Aroma nasi goreng yang harum menguar, merasuki indra penciumanku. Rasanya seperti balik ke masa SMA dulu. Tempat ini tak berubah. Tendanya, kursi dan mejanya, suasananya, semuanya tetap sama. Yang berbeda adalah kini aku datang hanya berdua dengan kak Rama.

"Gimana? Kamu masih suka tempat ini kan?" Tanya kak Rama membuyarkaku yang sedang sibuk mengamati tempat ini dan mengingat kenangan indah di belakangnya.

Aku tersenyum dan mengangguk, "masih. Sudah lama aku ga ke sini."

Kak Rama balas tersenyum, "kamu gak pernah ke sini." Ralatnya, kini atensiku teralih padanya.

"Aku selalu makan di sini hampir setiap malam berharap aku dapat bertemu denganmu seolah-olah pertemuan kita itu tak disengaja. Tapi kau tak pernah datang."

Aku tersenyum kikuk dan mengusap tengkukku canggung. "Iya— aku memang tak pernah ke sini sejak saat itu."

Kak Rama tampak menghela napas samar, "aku kira semua ini hanya rasa bersalahku padamu karena kejadian itu, tapi nyatanya, hatiku berkata lain."

Aku mengernyit, "maksudnya?"

"Sejak hari dimana Sena membacakan suratmu, aku terus memikirkanmu. Aku ingin meminta maaf langsung padamu, tapi aku bahkan tak mencari keberadaanmu. Aku terlalu pengecut. Aku hanya berdiam diri tanpa melakukan apapun selain menunggumu di warung nasi goreng ini, berharap kau datang."

Kak Rama menghela napasnya lagi, "tapi kalau bukan karena alasan itu, kalau bukan karena Cherista yang meneror mereka dengan videomu, aku tak akan berani untuk mencarimu dan berusaha menemuimu meskipun kau menolak. Mencari cara agar dapat bertemu denganmu dengan kencan buta sebagai alasannya."

Beautifully Bittersweet - OH SEHUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang