Bab 20 - Pisah

19 1 0
                                    


Aku terbangun karena merasakan sesuatu yang berat menimpaku. Ternyata itu adalah tangan Sena yang melingkar di perutku. Saat aku mencoba untuk menyingkirkannya, aku merasakan tangan Sena yang panas. Aku mengernyit, aku pun beralih pada dahinya yang berkerut. Aku menempelkan punggung tanganku di dahinya, astaga panas sekali!

Akhirnya aku menyadari bahwa sedari tadi Sena menggigil seperti orang kedinginan padahal sekujur tubuhnya bak air mendidih. Aku segera bangun, menepuk-nepuk wajahnya pelan untuk membuatnya sadar.

"Sena?! Sena bangun! Kau kenapa?!"

"Mhic— chie—" panggilnya susah payah. Aku pun langsung bangkit dari ranjangku dan ke dapur untuk mengambil baskom dan handuk untuk mengompresnya.

Aku kembali dengan baskom berisi air dan handuk. Aku pun segera duduk di tepi ranjang dan menaruh baskom itu di nakas. Aku mengambil handuk basah itu dan memerasnya lalu melipatnya sampai berbentuk persegi panjang dan meletakkannya di dahi Sena.

Aku mengompresnya terus sampai suhunya turun. Saat suhu tubuhnya mulai menurun dan tidak panas seperti tadi, aku meninggalkannya dengan handuk kecil kompresanku menempel di dahinya sementara aku pergi ke dapur.

Aku melirik jam dinding di dapur, baru jam setengah tiga malam. Aku akan membuatkan bubur untuk Sena agar dia bisa meminum obatnya. Aku memeriksa persediaan di kulkas dan syukurnya ada stok persediaan abon sapi di sana.

Sejak kecil, Sena hanya suka makan bubur dengan abon sapi tanpa kecap. Sena sangat lahap bila menyantap makanan itu ketika sedang sakit. Maka dari itu, aku akan menyajikannya untuk Sena agar dia bisa meminum obatnya dan sembuh.

"Sena... bangun. Makan dulu." Aku menggoyangkan punggung Sena yang tidur membelakangiku. Beberapa saat kemudian dia pun bangun, aku membantunya untuk duduk dan bersandar pada headboard kasur yang empuk.

Aku melepas handuk yang menempel di jidatnya, menempelkan telapak tanganku di dahinya. Syukurlah, panasnya sudah turun. "Makan dulu, abis ini minum obat." Kataku, tak ada jawaban dari Sena.

Aku pun menyuapinya bubur buatanku yang ditaburi abon di atasnya. Sena yang sedang mengumpulkan nyawanya pun hanya menurut saatku suruh dia untuk membuka mulutnya. Suapan pertama berhasil masuk ke dalam mulutnya. Dia mengunyahnya dan merasakan bubur yang hangat itu, perlahan kedua matanya terbuka.

"Mama datang?" Tanyanya dengan suara paraunya. Kurasa dia tengah mengigau.

"Ini pukul tiga malam, Sena. Mana mungkin mama datang malam-malam begini." Jawabku yang membuatnya mengernyit.

"Tapi ini masakan mama." Kata Sena.

"Aku yang membuat bubur ini, Sena. Semua bubur rasanya sama. Aku memakaikan abon sapi jadi mungkin mirip dengan bubur buatan mama."

"Tapi ini bubur buatan mamaku!" Sergahnya. Aku hanya bisa menghela napas. Sehat ataupun sakit, Sena tetap keras kepala dan menjengkelkan.

"Iya, iya. Ini buatan mama kamu. Makanya habisin terus minum obat atau mama nanti marah." Aku mengalah, aku malas berdebat dengannya tengah malam. Apalagi tadi kami sempat bersitegang.

Sena mengangguk lemah dan melahap buburnya sampai habis. Aku pun memberinya paracetamol, dia meminumnya dengan air hangat yang diminumnya sampai tandas.

"Jangan langsung tidur. Duduk dulu. Aku mau ke bawah menaruh mangkok dan baskom." Titahku yang diangguki olehnya. Setelah itu aku pun turun untuk mencuci piring dan membersihkan bekas memasak bubur tadi. Di saat semuanya sudah selesai, aku kembali ke kamarku dan melihat Sena tertidur dengan posisi duduk.

Aku membenarkan posisinya menjadi rebahan dan menyelimutinya dengan selimut yang hangat. Aku menghela napasku. Kalau saja aku dendam padanya atas perkataannya malam tadi, mungkin aku akan membiarkannya sakit sendirian.

Beautifully Bittersweet - OH SEHUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang