Bab 1 - Permintaan Terakhir

78 1 0
                                    


Suara monitor yang memantau detak jantung kakek semakin melemah. Aku meremat ujung kemejaku sambil mengigit bibir bawah bagian dalam, menahan air mata yang memaksa turun. Kedua belah keluarga yang ada pun tampak cemas, kondisi kakek sangat memprihatinkan.

Yanda yang duduk di samping brankar kakek pun nampaknya tak sanggup lagi. Firasatnya mengatakan bahwa umur kakek tak lagi lama. Yanda pun berdiri, berbalik menghadap kami yang menatap kakek sedih.

"Pernikahan ini harus segera dilaksanakan."

DEG.

Detak jantungku rasanya berhenti seketika. Dapat kudengar helaan napas samar dari bunda juga tante dan pamanku. Keluarga lain yang berada di seberang kami pun mengangguk pelan, kepala keluarganya mengangguk setuju seraya menghampiri yanda.

"Ini yang terbaik, Tama. Kami pun tidak mau menyesal nantinya. Biar bagaimana pun, Pak Kawiswara sudah berjasa besar bagi keluarga kami. Mungkin ini adalah cara kami membalas kebaikan beliau." Ucap pria sebaya dengan yanda, om Madaharsa.

Yanda mengangguk, dia kemudian menoleh ke arahku yang kini tak bisa lagi menahan tangis. Bunda yang berdiri di sebelahku pun merangkulku sambil mengusap bahuku pelan, mencoba menenangkan.

Kakek ingin melihatku menikah sebelum dia meninggal. Bukannya aku tak mau menikah, justru aku mau menikah. Aku mau menikah dengan orang yang aku cinta karena bagiku menikah hanya sekali seumur hidup. Tapi kakek memiliki keinginan lain, dia ingin aku menikah dengan seseorang yang telah dia pilih.

Tak ada perjanjian klise di masa lalu tentang perjodohan yang harus dilaksanakan pada masa sekarang. Hanya saja, kakek dekat dengan orang tua om Mada bahkan menganggapnya seperti anak kandungnya sendiri. Karena itulah kakek tahu bahwa keluarga om Mada adalah orang yang baik, maka kakek ingin menjodohkanku dengan salah satu anaknya om Mada.

Untuk pertama kalinya aku sebagai cucu kesayangan kakek, menolak keras perjodohan itu. Aku menyesal karena hal itu membuat kakek sakit sampai kesehatannya ikut drop. Andai aku tak menolaknya, mungkin kakek masih sehat bugar bersama kami tanpa dipasangi alat-alat yang menunjang hidupnya. Toh, pada akhirnya pernikahan itu tetap terjadi.

Aku pamit keluar dari kamar inap kakek, aku ingin menenangkan diri. Bila terjadi hal buruk pada kakek, aku tak akan memaafkan diriku sendiri. Padahal aku adalah cucu kesayangannya, tapi nyatanya aku hanya membuat kakek sakit.

"Kau lihat sendiri kan kondisi kakek gimana sejak hari dimana kau menolak perjodohan itu? Padahal kau itu cucu yang paling kakek sayang di antara kita berlima, tapi malah kau yang membuat kakek sakit!" Suara berat yang amat kukenali membuat atensiku yang sedang menatap langit malam di kursi besi taman rumah sakit teralihkan dan menoleh ke sumber suara.

Dia adalah sepupuku, cucu kakek nomor satu. Dia menatapku tajam dengan kedua tangan yang terlipat di dada. Dia masih mengenakan setelan kantornya dengan jas yang sudah dibuka dan ditaruh entah kemana, menyisakan kemeja yang kancing bagian atasnya terbuka dan kedua tangan kemeja yang dilinting sampai siku.

"Pernikahan itu pasti akan terjadi, tak ada gunanya bila kau menolak. Lihat yang terjadi sekarang, kakek sakit! Aku tak akan memaafkanmu bila terjadi sesuatu pada kakek!" Bentaknya lalu pergi meninggalkanku sendiri. Aku menghela napas berat, dia benar. Aku yang salah.

Aku egois. Dari lima cucu yang kakek miliki, tapi hanya aku yang paling dimanja. Aku tidak bisa membalas semua kebaikan kakek, tapi dengan mudahnya aku menolak permintaan pertama dan terakhirnya. Sejak dulu, kakek tak pernah meminta atau menuntutku menjadi apapun yang beliau inginkan. Dan baru kali ini kakek memintaku mengabulkan keinginan satu-satunya.

Terlarut dalam lamunanku, aku sampai tak menyadari ada seorang pria yang duduk di sampingku. Suara soda yang menguar saat penutup kaleng dibuka membuatku menoleh, dia tersenyum sampai matanya menyipit saat pandangan kami bertubrukan.

Dia memberiku soda yang baru dibukanya, aku menerimanya dan langsung meneguknya sampai setengah tandas. Dia pun begitu, meminum sodanya namun hanya sedikit.

"Kau pasti tertekan dengan semua ini." Dia membuka pembicaraan. Aku tak menoleh, hanya tersenyum simpul menatap kosong air mancur yang menari di taman rumah sakit malam ini.

"Ya, aku memang tertekan. Tapi aku merasa bahwa aku egois bila tak mewujudkan satu-satunya keinginan kakek." Aku menghela napas berat lalu menandaskan sodaku. Sambil memegang kaleng soda yang sudah tandas isinya, aku pun menyandarkan tubuhku di sandaran kursi.

"Apa yang akan terjadi nanti, biarlah terjadi. Mungkin memang itu takdir yang dituliskan untukku. Semua memang sering kali terjadi tak sesuai rencana, kan."

Pria itu tersenyum. Satu angan kekarnya dia alihkan untuk mengusap pelan pucuk kepalaku, "meskipun kau cucu kakek paling muda, tapi kaulah yang memiliki pemikiran paling dewasa."

Aku menoleh kearahnya, balas tersenyum. Tak seperti Kavin yang tadi memarahiku, Rendy yang saat ini duduk bersamaku memang sepupuku yang paling pengertian. Setidaknya aku tak sendiri, setidaknya masih ada yang mengerti.

Beautifully Bittersweet - OH SEHUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang