Aku termenung menatap bayanganku di depan cermin besar dengan pencahayaan terang. Tak sadar, aku tersenyum mematut diriku yang terlihat cantik dalam balutan gaun pengantin. Tapi tak lama, senyum itu pudar mengingat pernikahanku yang memilukan.
"Michie,"
Aku menoleh, ternyata bunda dan tante Shany— maksudku mama, sudah menungguku. Mata bunda berkaca-kaca saat aku menghampirinya, mama mengusap punggung bunda untuk menenangkan.
"Perasaan baru kemarin bunda senang saat tahu bunda hamil kamu, tapi gak terasa sekarang anak semata wayang bunda udah dewasa dan sudah menjadi istri orang." Bunda pun memelukku, sekuat tenaga aku menahan untuk tidak menangis.
"Bunda yakin kamu akan menjadi istri yang baik untuk Sena. Sekarang, bunda dan ayah akan melepasmu dengan ikhlas. Bunda selalu mendoakan kebahagiaanmu."
Demi apapun mataku rasanya perih dan air mataku pun sudah menumpuk di pelupuk. Untungnya kak Rendy datang dan mengatakan bahwa acara akan segera dimulai. Akhirnya bunda perlahan melepas pelukannya dan menatapku lamat dengan matanya yang berkaca, "meskipun kamu sudah menjadi milik suamimu, kamu tetap anak bunda. Kembalilah kapan pun kamu rindu, pintu akan selalu terbuka untukmu."
Sakit. Entah mengapa aku merasa bahwa bunda memiliki firasat bahwa aku akan kembali ke 'rumahnya'.
Tak lama kemudian, aku pun digandeng bunda dan mama menuju ballroom tempat acara berlangsung. Banyak kamera menyorotku, aku pun melihat teman-temanku yang menatapku haru. Aku masih bisa tersenyum mengisyaratkan rasa terima kasih pada mereka yang sudah hadir. Sampai akhirnya mataku menangkap sepasang obsidian dalam yang bening tengah menatapku dalam diam.
Hatiku remuk melihat dia memaksakan senyumnya. Aku langsung memutus kontak mata dengannya, aku takut tangisku tumpah.
Akhirnya, aku pun duduk di samping Sena dengan tuxedonya. Dia menatapku lama dalam diam, aku mengernyit. Apa ada yang salah dengan dandananku?
"Kau cantik." Ucap Sena seakan menjawab pertanyaan dalam hatiku.
"Kau juga tampan." Jawabku, kemudian dia memalingkan wajahnya dariku. Entahlah, dia memang suka begitu kalau dipuji.
Akhirnya ijab kabul pun dimulai dengan kakek sebagai saksi dari pihakku dan kak Seno menjadi saksi dari pihak Sena. Apakah Sena tak punya orang lain untuk menjadi saksi di pernikahannya? Mengapa harus kak Seno?
Sena pun membacakan ijab kabul untuk kedua kalinya secara fasih dan kami resmi menjadi pasangan suami istri di mata agama dan hukum.
Andai aku menikah dengan orang yang aku cintai, mungkin aku akan menangis haru.
Tapi nyatanya tidak. Aku menangis bukan karena sudah sah menjadi istri Sena, aku justru menangis karena mantanku yang menjadi saksi dari pernikahanku dan adiknya. Sakit, tapi aku bisa apa?
Setelah menandatangai beberapa surat, berpoto, dan sungkeman, kami pun duduk di pelaminan menyambut tamu.
Sebenarnya, banyak tamu yang tidak kami kenal karena sebagian besar itu adalah tamu kedua orang tua kami. Teman yang diundang dalam pernikahanku dan Sena juga terbatas, hanya teman-teman yang dekat saja.
Beberapa teman Sena datang tapi aku tak tahu siapa mereka meskipun kita satu kampus, aku hanya kenal Kayden dan Jovan.
"Selamat ya, Sel. Kalau Sena macem-macem sama kamu lagi, bilang aja. Mulai hari ini aku di pihak kamu." Kata Jovan.
Aku tersenyum, "benar ya? Kamu gak di pihak Sena lagi?"
Jovan mengangguk mantap, "aku gak lagi deh di pihak lelaki kerdus kayak Sena." Ucapnya yang membuat Kayden ngakak dan malah dihadiahi toyoran oleh Sena.
Lalu sekarang giliran Kayden yang menyalamiku, dia bahkan memelukku singkat sambil berbisik, "kalau kau sudah tahu alasan Sena membencimu, kasih tahu aku." Bisiknya.
Sena yang melihat itu langsung menyingkirkan Kay, "jangan dekat-dekat!" Ucapnya yang membuat Kay terkekeh.
"Ingat perkataanku ya, Sel." Ucap Kayden sebelum menuruni pelaminan.
Sena berbisik, "Kayden emang ngomong apa?" Tanyanya. Aku mengangkat bahu asal, enggan menjawab.
Aku melihat Sena yang mendengus sambil cemberut menyalami beberapa tamu yang bingung dengan ekspresi wajahnya. Aku terkekeh, ternyata menjahili Sena seru juga.
Kemudian datanglah tamu yang diundang dengan terhormat oleh Sena. Dia adalah Parama. Sena menepati janjinya, dia memberikan undangan pernikahan kami langsung pada Parama. Parama menyalami Sena singkat, kemudian dia beralih kepadaku dan menjabat tanganku lama.
"Selamat ya Selia. Meski ini tidak mudah, aku yakin kamu akan bertahan sebentar lagi. Dan saat itu tiba, aku akan datang menjemputmu."
Aku mendengus dan melepas jabatan tangannya perlahan sambil tersenyum kikuk, "terima kasih sudah datang." Ucapku. Dia pun balas tersenyum dengan mata lebar dan lesung pipinya, meninggalkan pelaminan.
"Tadi dia bilang apa? Menjemputmu? Kemana?" Bisik Sena lagi, penasaran.
Aku mengangkat bahuku asal, "entahlah. Aku ga denger."
Sena mendengus, "bohong!" Dan akhirnya Sena cemberut lagi.
Aku terkekeh, "udahlah Sena, jangan ngambek melulu."
"Siapa yang ngambek?!" Sergah Sena dengan wajah kesalnya yang memerah dan pipinya yang menggembung lucu.
"Kamu." Godaku.
"Enggak! Aku gak ngambek! Kamu aja ngeselin! Awas aja nanti di kamar, kamu habis sama aku!"
DEG.
Aku langsung terdiam. Ini Sena cuma bercanda kan?!
Menyadari aku terdiam, Sena malah menyikutku pelan. "Malam ini kita tempur habis-habisan."
Aku meneguk salivaku, menatap Sena horor. Dia malah cengengesan, mengerling nakal. Aku meringis melihatnya.
"Michie," suara itu, terdengar serak dan sedikit lirih. Tanpa menoleh pun aku tahu siapa orangnya.
"Selamat ya," ucapnya sambil menjabat tanganku. Cukup lama tangan kami bertautan hingga Sena melepaskannya paksa.
Dia berdehem, mengusap tengkuknya kikuk. "Semoga langgeng." Ucapnya singkat lalu pergi.
Aku menatap hampa kepergiannya, merasa berdosa karena di hari pernikahanku aku malah tak bisa melepaskan pandanganku darinya. Hingga tiba-tiba, aku rasakan benda kenyal menempel di pipiku, membuatku menoleh.
Suara pekikan tertahan teman-temanku yang baru menaiki panggung pelaminan menyadarkanku, Sena menciumku!
"Lupakan dia." Bisiknya. "Suamimu adalah aku, bukan kakakku."
Hatiku teriris mendengarnya, aku merasa tertampar oleh kenyataan yang membuatku sadar bahwa aku dan kak Seno tidak akan pernah bersatu.
Dalam batinku berbisik, "mungkin tidak di kehidupan ini. Tapi aku janji, di kehidupan selanjutnya aku akan menjadi istrimu, kak Seno."
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautifully Bittersweet - OH SEHUN
Romance"Setelah kakek meninggal, aku akan menceraikanmu." Setidaknya itu yang dikatakan Sena pada Misel sebelum mereka menikah. Sena membenci Misel dan Misel terima itu. Namun ketika Sena mengetahui bahwa selama ini Misel tak pernah mencintainya, entah men...