"Kamu dari mana aja?"
Sena langsung memberiku pertanyaan ketika aku baru masuk ke kamarku. Setelah menutup pintu dan menaruh paperbagku di meja, aku pun duduk di kasur, di samping Sena.
"Habis ketemu kak Seno." Jawabku jujur.
Sena yang tadi masih sibuk dengan ponselnya langsung menoleh ke arahku dengan matanya yang melotot, siap menyemburku dengan omelannya.
"Kami putus." Ucapku saat Sena baru membuka mulutnya untuk mengomeliku.
Dia terdiam, matanya sudah tidak keluar seperti tadi lagi. Dia tampak menyimak apa yang akan kukatakan selanjutnya.
"Aku tahu hubungan kami salah karena dia kakak kandungmu. Walaupun sulit, akhirnya kami berpisah."
Terdengar helaan napas samar dari Sena yang menyenderkan tubuhnya ke headboard kasur. "Bagus kalau gitu." Ucapnya sambil menyilang dada dengan kedua tangannya.
Aku menghela napas berat, hari ini entah mengapa rasanya aku lelah sekali. Aku pun memilih untuk merebahkan tubuhku membelakangi Sena.
"Michie,"
"Hm," jawabku sekenanya.
"Uhm, aku boleh bertanya?"
Aku membalikkan tubuhku ke arahnya, ternyata dia juga sudah dalam posisi berbaring menghadapku. "Mau tanya apa?"
Sena terdiam sejenak, menatapku. Tangannya terulur mengelus rambutku. "Kalau kita berpisah nanti, apa kau akan menikah dengan kak Seno?" Tanyanya yang membuatku sedikit terkejut.
"Menikah dengan kak Seno?" Ulangku yang diangguki olehnya.
"Kau kan cinta dia." Cicitnya, kini tangannya tak lagi mengelus rambutku.
Aku diam sejenak sebelum membahasnya. Setelah hatiku yang bergemuruh saat mendengar nama kak Seno disebut itu sudah mulai tenang, aku pun menjawabnya.
"Aku tidak akan menikah." Jawabku mantap.
"Kau tidak akan menikah dengan kak Seno?" Tanyanya. "Lalu kau akan menikah dengan siapa? Parama?"
Aku menggeleng, "untuk waktu yang dekat setelah kita berpisah nanti, aku memutuskan untuk tidak menikah. Dengan siapapun itu."
Kedua alis Sena bertemu, "kenapa?"
"Entahlah. Mungkin, aku sedikit trauma dengan pernikahan. Aku ingin menyembuhkan diriku dari trauma itu terlebih dahulu dan memantaskan diri untuk calon suamiku nanti."
Hening menyelimuti kamar kami, menyisakan suara desingan halus pendingin udara.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan setelah kita berpisah?"
"Aku akan menepati salah satu janjiku padamu."
"Apa?"
"Aku akan pergi, aku akan menghilang dari pandanganmu karena aku tahu betapa muaknya kau melihat wajahku."
Sena kembali terdiam, larut pada lamunannya untuk sesaat.
"Kalau aku memintamu untuk tidak pergi, apakah kau akan tetap di sini?" Tanyanya.
Sebenarnya aku agak bingung dengan pertanyaannya barusan, namun aku tetap pada pendirianku.
"Aku akan tetap pergi." Jawabku mantap, tanpa keraguan setitik pun.
Sena menatapku dalam, "kemana?"
"Australia."
"Jauh. Kau sengaja menghindariku ya?" Tuduhnya yang membuatku terkekeh.
"Tidak juga. Aku ingin saja tinggal di sana."
"Dimana kau akan tinggal? Di Sydney?"
Aku mengangguk, "iya."
"Kenapa di sana? Kenapa di Sydney?"
Aku terdiam sejenak, tersenyum mengingat kota itu. "Karena itu adalah kota kelahiran idolaku, Christian Yu."
Alis tebal Sena bertemu, "Christian Yu? Siapa dia? Pemain sepak bola?"
Aku mendengus sambil memutar bola mata malas. "Masa kamu gak tahu Christian Yu?! DPR IAN!!!" Ucapku kesal dengan penuh penekanan.
Sena terdiam dengan wajahnya yang coba mengingat nama itu, kemudian dia ber-ooh ria. "Oooh, dia. Kenapa kau ingin tinggal di sana? Apa dia juga tinggal di sana?"
Aku menggeleng, "saat ini dia tinggal di Los Angeles."
"Kenapa kau tidak tinggal di Los Angeles saja? Kan bisa ketemu idolamu tiap hari." Cibirnya.
Aku mendengus kesal, "kalaupun aku tinggal di Los Angeles, ya gak mungkin juga tiap hari ketemu dia!"
"Kalau di Los Angeles saja kau ga bisa tiap hari ketemu dia, kenapa kau malah memilih tinggal di Sydney yang jelas-jelas tak ada dia di sana?"
"Aku tinggal di Sydney memang karena dia lahir di sana, tapi bukan berarti aku tinggal di sana untuk selalu bertemu dengannya. Aku ingin tinggal di sana karena di sana dekat dengan pantai. Aku suka pantai."
Aku menghela napasku berat, entah mengapa bibirku jadi ringan menceritakan rencanaku pada Sena.
"Aku ingin menetap di sana. Aku ingin ke pantai setiap hari. Aku ingin memulihkan jiwaku."
"Tapi bagaimana dengan yanda dan bunda?"
"Mereka pasti mendukung rencanaku."
"Lalu, apa kau akan menikah dengan orang sana?"
Aku terdiam sejenak, memikirkan pertanyaan Sena. Kemudian aku mengangkat bahuku asal, "entahlah. Toh, kalau memang jodoh tidak akan kemana. Yang terpenting adalah, aku akan menikah dengan orang yang kucinta dan juga mencintaiku."
Sena masih menatapku, dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.
"Lalu kau akan menetap di sana bersama suamimu?"
"Entahlah, yang pasti aku akan ikut kemana pun suamiku membawaku bahkan ke kutub utara sekalipun. Langkah akan terasa ringan bila kita berjalan dengan orang yang kita cintai, bukan?"
Sena mendenguskan napas samar, "apa kau akan memiliki anak?"
Aku mengangguk, "ya. Pasti."
"Berapa?"
"Berapa pun yang suamiku mau." Jawabku yang membuat suasana menjadi kembali hening untuk beberapa saat.
"Michie," panggil Sena setelah kami beberapa saat larut pada pikiran masing-masing.
"Uhm?"
Sena menatapku lamat-lamat, sepertinya hal yang akan ditanyakan olehnya adalah hal yang serius.
"Bagaimana cara menjadi orang yang kau cintai?"
Hah? Aku tidak salah dengarkan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautifully Bittersweet - OH SEHUN
Romance"Setelah kakek meninggal, aku akan menceraikanmu." Setidaknya itu yang dikatakan Sena pada Misel sebelum mereka menikah. Sena membenci Misel dan Misel terima itu. Namun ketika Sena mengetahui bahwa selama ini Misel tak pernah mencintainya, entah men...