Bab 32 - Gila

20 2 0
                                    

Sena membawakan baskom berisi handuk dan air es. Dia menghampiriku yang duduk di sofa sambil menonton televisi. Pria itu duduk di sampingku, memeras handuk dingin dari baskom berisi air dan es batu lalu mengompresnya di pipiku.

"Maaf." Ucapnya. Aku hanya diam. Tidak menolak perhatiannya juga tidak menerimanya.

"Aku salah." Katanya sambil menempelkan handuk itu di pipiku beberapa saat. Aku meraih tangannya yang mengompres pipi kananku, membuat mata kami bertubrukan.

"Jangan meminta maaf bila kau akan mengulanginya lagi di masa depan." Ucapku datar lalu melepas tanganku yang tadi memegang tangannya. Aku memilih bangkit dari dudukku dan berjalan menuju kasur untuk merebahkan tubuhku.

Aku ingin menangis. Rasanya sakit sekali. Ini bukan kali pertama Sena menamparku. Tamparannya mengingatkanku saat kami masih bersekolah dulu. Sena sering merundungku, bukan hanya dengan kekerasan verbal tapi juga dengan kekerasan fisik.

Sena tak pernah berubah, dia kasar. Kukira sifat kasarnya sudah hilang, namun nyatanya kasar sudah menjadi tabiatnya saat marah. Bagaimana bisa aku mempertahankan rumah tanggaku dengan Sena yang kasar dan pernah menorehkan luka bahkan trauma padaku sejak dulu?

Dadaku sesak. Rasanya aku mau pulang ke Indonesia dan mengadu pada Safi, bahkan kalau bisa aku akan mengadu pada ke empat sepupuku tentang apa yang telah Sena lalukan padaku. Aku butuh perlindungan di saat Sena yang seharusnya menjadi rumah tempatku berlindung justru malah menyakitiku.

Aku tiduran dengan posisi memunggungi Sena dan hal itu membuatku tak tahu kalau ternyata Sena menghampiriku dan ikut merebahkan dirinya di sampingku. Kurasakan tangan Sena yang melingkari perutku, memelukku erat. Dia menenggelamkan wajahnya di bahuku. Aku hanya diam, tidak mengatakan hal apapun atau pun memberontak.

Namun tak lama, kurasakan tubuh Sena yang bergetar dan bahuku yang basah. Aku segera menoleh dan mendapati Sena yang menangis. Isak tangisnya semakin lama semakin kentara, namun lagi-lagi itu tak menggetarkan hatiku.

"Jangan menangis, kau yang salah. Kenapa harus menangis?" Ucapku tanpa membalik posisiku berhadapan dengannya.

"Aku jahat." Katanya sambil terisak.

"Memang." Jawabku santai.

"Aku tak pantas untukmu."

"Kau baru tahu?"

"Aku hanya bisa membuatmu menangis. Aku kasar! Aku brengsek! Aku bajingan! Aku bodoh! Aku bedebah!" Kemudian dia melepaskan rengkuhannya di perutku dan memukul-mukul kepalanya kencang.

Aku yang melihat itu pun terkejut dan langsung mengubah posisi tidurku menjadi duduk. Aku menahan tangan Sena yang ingin menyakiti dirinya sendiri tapi tetap saja dia terus memukul-mukul kepalanya.

"Sena stop!!!! Kau membuatku takut!" Pekikku yang membuatnya terdiam sesaat dengan isak yang kentara.

"Jangan membuat gara-gara Sena! Kau itu lelaki! Kenapa menangis? Kau yang salah! Jangan membuatku menjadi terlihat jahat Sena! Kaulah yang jahat! Maksudmu apa memukul-mukul kepalamu? Supaya aku kasihan dan kembali menyalahkan diriku atas apa yang kau perbuat? Aku muak Sena!"

"Aku harus melakukan apa agar kau memaafkan aku, Michie? Apa aku harus mati dulu baru kau memaafkanku?!" Ujar Sena yang sudah duduk di sampingku.

Aku mendengus, "memangnya kalau aku menyuruhmu untuk mati, kau mau melakukannya?"

Sena terdiam sejenak, aku tersenyum sinis. Semua yang dikatakan Sena itu palsu.

Namun sepertinya aku harus menarik kata-kataku karena tiba-tiba Sena bangkit dari tempat tidur dan berlarian keluar kamar.

"Sena?! Mau kemana?" Karena panik aku pun mengikuti dia keluar kamar dan aku membeku melihat Sena menodongkan pisau ke lehernya.

"SENA!" Pekikku.

"Di sini adalah tempat arteri karotis berada. Bila aku memotongnya maka pasokan darah ke otak akan terhenti dan aku akan mati." Ucapnya dengan bibirnya yang bergetar dan obsidiannya yang berkaca-kaca.

Aku terkulai lemas hingga jatuh duduk. Sena tak akan segila itu kan?

"Bila maafku tak bisa merubah keadaan, maka mungkin kematianku akan merubahnya. Aku tahu aku salah, aku tahu aku tak termaafkan, aku juga tak bisa mendapatkan hatimu, aku bahkan tidak pernah berubah dan selalu bersikap kasar padamu. Jadi, apa gunanya aku hidup? Katamu kamu muak kan? Kamu tak perlu pergi jauh untuk menghindar dariku karena aku yang akan menghilang dari pandanganmu."

"S- Sena—" aku tercekat, pisau itu teramat tajam sampai aku melihat tak sengaja mata pisau itu menggores kulit Sena dan membuatnya berdarah.

Bukan ini mauku!

"Sena— jangan..."

"Kenapa Michie? Kau takut disalahkan atas kematianku? Kau takut di penjara karena kematianku? Kalau kau tak mau ini semua terjadi, maka maafkanlah aku dan biarkan aku memperbaiki semuanya! Aku memaksa!"

Napasku berderu dengan keringat dingin yang mengalir dengan derasnya di tubuhku. Tak ada yang bisa aku lalukan. Aku tak akan pernah bisa melawan Sena karena dia selalu mempunyai cara untuk membuatku bertekuk lutut, bahkan dengan cara yang gila sekali pun.

"B- baiklah! Tapi buang dulu pisau itu!"

"Kau mau memaafkanku dan membiarkanku memperbaiki semuanya?" Tanyanya dengan matanya yang berbinar.

"Apapun itu! Apapun yang kau mau asal buang dulu pisau itu jauh-jauh!"

Dia menuruti perkataanku dan membuang pisaunya entah kemana lalu menghampiriku dengan senyumnya yang mengembang. Dia langsung bersimpuh dan memelukku erat, mengabaikan kulit lehernya yang tergores pisau.

"Sena lehermu!" Aku melepaskan pelukannya, meski tubuhku masih lemas tapi aku memaksakan diri untuk berdiri dan mengambil kotak P3K di bawah lemari TV.

Sena mengikutiku dan aku membawanya duduk di sofa untuk mengobatinya. Dia hanya diam, tak banyak bicara selain menatapku lamat. Isak tangisnya masih kentara, dia memegangi ujung bajuku dan merematnya saat merasakan perih karena alkohol yang menyentuh lukanya.

Setelah menempelkan plester di lukanya, aku menghela napas. Yang tadi itu benar-benar gila.

"Kau bilang kau tak suka mengingkari janjimu. Maka tepatilah janjimu untuk memaafkanku dan memberiku waktu untuk memperbaiki semua ini!"

Aku mendengus samar, "iya. Dengan syarat kau tak boleh melakukan hal seperti itu lagi. Bila kau sampai mati, aku tak mau mengunjungi pemakamanmu." Ancamku yang membuatnya meringis.

"Tak akan." Katanya. Dia pun memelukku erat dan menenggelamkan wajahnya di ceruk leherku. "Jangan pergi Michie, aku mencintaimu."

Dan hari ini aku mengetahui satu hal. Selain random, Sena juga agak gila.

Beautifully Bittersweet - OH SEHUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang