Bab 16 - Double Date

10 1 0
                                    


Hari ini aku pulang ke rumahku, Sena pun ikut pulang ke sini. Bunda dan yanda menyambutku hangat, bunda bahkan memasakkan makanan kesukaanku dan Sena sejak dulu.

"Kalian istrirahat di kamar dulu, kalau makanannya sudah siap, bunda panggil ke bawah." Kata bunda yang diangguki oleh kami berdua.

Begitu membuka kamarku, bukan hanya aku, tapi Sena pun ikut diam ternganga melihatnya. Kamarku sudah berubah 180 derajat. Kamarku yang dulu berdesain minimalis, kini dihias dengan banyak kelopak mawar yang memenuhi kasur membentuk hati. Astaga, ini mengingatkanku dengan hotel itu.

"Bundaaaaaaa!!!!" Seruku dengan wajahku yang syok. Bunda segera mendatangiku.

"Ada apa sayang????" Bunda tergesa-gesa menghampiri.

"Kamarku bunda apakan????" Tanyaku masih tak percaya, bunda malah mengulum senyum.

"Kaliankan pengantin baru, jadi bunda pikir bunda harus mendekorasi kamarmu. Kamarmu terlalu monoton."

Aku menghela napas berat, "astaga bundaaaa... aku sudah hampir dua minggu menikah dengan Sena, kami bukan pengantin baru lagi."

"Eh, itu masih termasuk pangantin baru loh."

"Astaga, bundaa..." aku tak tahu lagi harus berkata apa. Bunda malah menepuk-nepuk pelan bahuku.

"Sudah sana, istirahat. Kasihan Sena nampaknya lelah. Bunda tinggal ke dapur dulu ya?" Kata bunda lalu pergi begitu saja meninggalkanku dan Sena berdua.

"Sudahlah, mau diapain lagi. Nasi sudah menjadi bubur." Kata Sena lalu masuk membawa kopernya ke dalam kamarku. Aku pun mengikutinya dengan langkah gontai. Tanpa membereskan baju-baju di kopernya, Sena pun langsung melompat ke kasurku, membuat kelopak bunganya bertebaran.

"Aahhhh~~~ lelahnya." Desahnya lalu berguling-guling di atas kelopak mawar yang disebar di kasurku.

Aku tak membawa tas, tante Shany memintaku meninggalkan sebagian bajuku di sana agar tidak ribet lagi kalau aku menginap di sana. Aku pun meraih koper Sena, memasukkan bajunya ke lemari bajuku.

"Wah, wah, kamu lagi berperan menjadi istri yang baik ya?" Kata Sena berdecak kagum mengamatiku.

Aku tak menjawab, melanjutkan tugasku. Namun nampaknya ada yang kurang bila Sena tak menjahiliku. Maka dari itu, saat aku sibuk melipat bajunya dan menaruhnya ke lemari, tiba-tiba Sena ada di belakangku dan memelukku erat dari belakang. Wajahnya ditenggelamkan dalam helaian rambutku, mengendus aroma vanila yang menguar dari parfum yang kupakai.

"Sena, berat!" Omelku, bahuku rasanya miring sebelah karena beban itu. Tapi Sena tak bergeming, dia tetap saja pada posisinya dan terus mengendus-endus leherku sampai membuat aku geli.

"Geli Sena!"

Bukannya berhenti, dia malah terus memperdalam endusannya. Aku menggelinjang, mencoba melepaskan diri dari Sena yang kerasukan.

"SENA!" Tetap saja dia tak berhenti, justru dia malah tertawa-tawa tidak jelas. Sampai dering ponselnya berbunyi, menyelamatkanku dari kejahilannya yang menyebalkan. Dia pun melepaskan pelukannya dan mengangkat telepon yang ternyata dari Ayrin.

"Halo Ayrin?"

Entah apa yang mereka bicarakan, tapi sepertinya seru sekali sampai Sena meninggalkanku dan kembali tidur-tiduran di kasurku. Itu lebih baik daripada dia mengangguku mengerjakan tugasku. Saat semua pakaian Sena sudah tersusun rapih di samping tumpukan bajuku, Sena pun nampaknya sudah selesai menelepon dengan kekasihnya.

"Ayo turun, bunda udah nunggu." Kataku bergegas keluar dari kamar disusul Sena.

"Oh ya, Ayrin mengajakku bertemu. Habis makan nanti, aku pergi ya." Katanya.

"Iya."

"Kau mau nitip apa?"

"Gak usah repot-repot, aku ga mau ganggu waktumu dengan Ayrin."

Mendengar itu senyum Sena mengembang, tiba-tiba dia mencium singkat pipiku. "Kau memang istri yang pengertian."

Aku terkejut dengan tindakan tiba-tibanya itu, lantas aku segera menghapus kecupan singkatnya itu di wajahku. "Ayo cepat, bunda udah nunggu." Kataku lalu berlalu.

"Istriku! Tunggu aku!!!!" Seru Sena yang mengejarku.

***

Agar bunda dan yanda tak curiga, aku ikut dengan Sena sampai kafe dekat kampus. Setelah bertemu dengan Ayrin nanti, Sena akan menjemputku lagi di sini. Bukan masalah bagiku, aku terbiasa nongkrong di kafe sendiri sambil mengerjakan tugas.

Saat sedang fokus mengerjakan tugas, kak Seno meneleponku. Aku lupa mengatakan padanya bahwa hari ini aku dan Sena tak lagi tinggal di rumahnya, pasti dia ingin menanyakan hal itu.

"Halo kak?"

"Michie? Kamu dimana? Kok gak ada di rumah?"

"Aku lupa kasih tahu kakak, sekarang aku dan Sena menginap di rumahku. Kata yanda, kakek akan pulang dan menginap di rumah kami jadi aku dan Sena pindah ke sana."

Terdengar helaan napas di sana, "syukurlah, aku kira kau kemana. Apa sekarang kau masih di rumah?"

"Tidak. Aku di kafe biasa."

"Sama siapa?"

"Sendiri."

"Aku ke sana ya?"

"Boleh."

"Okeey, tunggu aku."

Tak lama panggilan pun terputus. Kurang lebih sepuluh menit kemudian kak Seno datang dan langsung duduk di sampingku. Dia memesan minuman yang sama denganku dan menemaniku mengerjakan tugas.

"Jadi Sena menurunkanmu di sini sedangkan dia bertemu Ayrin?" Tanyanya, aku mengangguk. Dia tampak menghela napas kasar, "anak itu memang benar-benar!" Geramnya.

"Sudahlah kak, jangan salahkan Sena. Lagi pula kan kakak tahu kami tidak saling mencintai dan menikah karena terpaksa, jadi ya biarkan saja."

Kak Sena mengangguk, "iya juga. By the way, tugasmu masih banyak?"

"Nggak, dikit lagi selesai." Jawabku tanpa menoleh ke arahnya dan masih fokus pada layar laptopku.

"Bagaimana kalau setelah kau mengerjakan tugasmu, kita pergi nonton?"

"Boleh aja."

"Yes! Kalau gitu aku pesan tiket onlinenya dulu." Seru kak Seno semangat.

Dan kami pun ke bioskop setelah aku mengerjakan tugasku. Kak Seno sudah siap dengan popcorn ukuran besarnya dan dua minuman untuk kita berdua, jadilah kita menonton bioskop bersama.

Kak Seno memilih film bertajuk komedi romantis untuk kita tonton. Filmnya menyenangkan, banyak unsur humor juga kisah romantisnya yang membuat baper. Aku terlalu fokus pada film sampai tak menyadari bahwa sedari tadi kak Seno memerhatikanku. Dan tanpa aba-aba, tiba-tiba kak Seno mendaratkan bibirnya di pipi kananku, membuatku diam dan membeku.

Hanya sebuah kecupan hangat yang lama, namun mampu membuat tubuhku seperti disengat listrik beraliran tinggi. Entah kebetulan atau tidak, tapi kak Seno menciumku tepat di tempat dimana Sena menciumku tadi. Saat kak Seno mulai melepaskan bibirnya dari pipiku, dia menatapku. Tapi demi Tuhan, aku tak berani untuk membalas tatapannya karena jantungku yang berisik dan perutku yang rasanya seperti digelitik ratusan kupu-kupu terbang di dalamnya.

"Aku mencintaimu, Michie."

Ungkapan yang sederhana namun mampu membuat diriku gila.

Beautifully Bittersweet - OH SEHUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang