Bab 29 - Pengakuan Dosa

31 2 0
                                    

"Minum itu!"

Bukannya mengucap salam, Sena yang datang entah darimana langsung menaruh sebotol obat berbentuk pil itu di atas meja tempat aku sarapan. Pagi-pagi sekali, Sena pergi entah kemana dan datang di saat aku hampir menyelesaikan sarapanku yang dibawakan pelayan ke kamar hotel.

Aku mengambil obat itu sedangkan Sena duduk di sampingku dan mulai sarapan. Sena menepati kata-katanya. Obat yang kupegang sekarang adalah obat penunda kehamilan yang harus diminum rutin.

"Kok segelnya udah kebuka?" Tanyaku.

Sena yang baru makan pun tersedak, segera aku memberikannya air putih yang diteguknya sampai tandas. "Aku ingin melihat isinya, jadi aku membukanya." Jawabnya yang hanya kubalas dengan anggukan.

"Minum secara teratur, jangan sampai lupa!" Ujar Sena.

"Iya."

"Sore nanti kita berangkat."

"Pulang ke rumah maksudmu?" Aku memastikan.

Dia menggeleng, "kita ke Maldives. Kau suka pantai kan?"

Aku membeku dengan mata yang terbelalak, "Ma- Maldives?!" Pekikku. "Kau bercanda?!"

Sena yang sedang mengunyah French Toastnya pun memutar bola mata malas, "kau mau tidak?!"

Aku langsung tersadar dan mengangguk cepat, "MAUUU!!!!"

Pria itu mendecih, "ya sudah. Sekarang bereskan bajumu, kita pulang untuk mengemasi barang-barang. Setelah itu kita ke bandara."

Mataku berbinar, entah kapan Sena memesan tiket ke Maldives untuk kami tapi aku sangat berterima kasih padanya karena membawaku berlibur ke tempat yang sudah lama ku impikan. "Terima kasih Sena!" Seruku yang langsung bangkit dari bangku. Saat aku akan bergegas mebereskan bajuku dan baju Sena, Sena menahan tanganku.

"Cium aku, baru aku akan melepaskanmu." Kata Sena yang sempat membuatku mengernyit. Tapi kemudian aku pun menurutinya, toh hal yang diminta Sena bukan hal yang sulit.

Aku mencium pipinya lama dan hal itu membuat Sena mematung. Saat aku melepaskan bibirku dari pipinya, wajahnya berubah memerah seperti kepiting rebus. Aku terkekeh melihatnya. Kemudian, aku mengecupnya singkat tepat di bibirnya dan sukses membuatnya terbelalak.

"Terima kasih sudah mengajakku ke tempat yang impikan, suamiku!"

***

Kami berangkat pukul 6 sore, aku tak bisa menyembunyikan raut bahagiaku. Pesawat pun mulai lepas landas tanpa turbulensi berarti dan senyumku tak kunjung pudar selama penerbangan kami berlangsung. Sejak pulang dari hotel, Sena tak melepaskan genggaman tangannya bahkan sampai kami duduk di kursi pesawat. Saat aku antusias menatap awan melalui jendelaku, tiba-tiba Sena mengecup pipiku dan membuatku menoleh.

"Kau bahagia?"

Aku tersenyum cerah dan mengangguk semangat, "sangat bahagia!"

Pria itu terkekeh sambil mengheyakkan kepalanya di kursi pesawat yang nyaman. "Lebih baik daripada kak Seno yang mengajakmu ke Bali kan?"

Aku mengernyit, "kau tahu?"

Sena mendenguskan napas samar, "tahu. Saat pernikahan kita di rumah sakit, kau baru pulang dari Bali bersama kak Seno kan?"

Aku mengangguk. "Iya."

"Aku melihat poto-poto kalian di kamera kak Seno, kau tampak bahagia sekali."

"Jadi, apa maksudmu mengajakku ke Maldives hanya untuk menyaingi kak Seno?"

Seno tertawa pelan dengan nada remeh, "untuk apa aku bersaing? Sudah jelas aku juaranya, aku yang jadi suamimu."

Aku memutar bola mata malas, tingkah menyebalkan Sena kumat lagi.

"Aku mengajakmu ke Maldives ya untuk bulan madu. Aku tak ingin ada yang mengganggu saat kau melayaniku sampai pagi. Dan sebagai bayaran karena kau sudah melayaniku, maka aku memberikan pemandangan indah Maldives kepadamu."

Aku meringis dan menoyor pelan kepalanya, "dasar mesum!" Ujarku yang membuat dia tertawa. Aku memalingkan pandanganku darinya, aku tak mau moodku yang sedang bagus ini rusak karena pikiran kotor Sena.

Setelah lama hening, aku mendengar helaan napas dari Sena. Aku tak menoleh, masih terpaku menatap gumpalan awan yang memanjakan mataku dari balik jendela. Hingga akhirnya aku dengar Sena mulai bercerita.

"Kau ingat saat mengerjakan tugas di kamarku dan tiba-tiba tugasmu menghilang dari laptopmu?"

Aku menoleh, kini pembicaraan Sena lebih menarik daripada gumpalan awan yang terbentuk seperti bola kapas itu. Aku tak menjawab, menunggu dia menjelaskan.

Sena menghela napas berat, "sebenarnya aku yang menghapusnya."

Aku terbelalak, menyadari air mukaku yang berubah marah, Sena langsung terkekeh mencairkan suasana. "Maaf." Cicitnya.

"Tapi kenapa?!"

Dia mengangkat bahunya asal, "entahlah. Hari itu aku jengkel karena kau tidak cemburu melihatku dengan Ayrin. Terlebih lagi kau tampak akrab dengan kak Seno di meja makan. Jadi, aku hapus saja tugasmu." Ucapnya enteng yang langsung kuhadiahi cubitan di pahanya yang membuat dia meringis.

"Maaf Michie..." ucapnya sambil mengusap pahanya yang sakit. "Aku bermaksud untuk menahanmu lebih lama di dalam kamar agar gak keluar dan ketemu kak Seno. Tapi yang kudapat malah sebaliknya."

"Dan saat bersama Parama, aku juga minta maaf." Ujarnya saat beberapa lama bungkam.

"Aku tahu aku keterlaluan, aku melakukan itu agar Parama tak dekat-dekat lagi denganmu. Aku tak suka. Aku tak suka melihat kau dengan yang lain, aku benci."

Aku mengerutkan keningku, teringat dengan pertanyaan Kayden saat itu.

"Kenapa kau mengaku menghamiliku di depan Parama?" Tanyaku, seakan tak puas dengan pernyataannya. "Kau benci aku kan? Kau ingin menjelekkanku di depan orang lain kan?"

Dia menghembuskan napas berat, "maaf telah membuatmu berpikir kalau aku membencimu." Kemudian dia menatapku lamat, "aku sadar bahwa selama ini aku hanya menyakitimu. Aku merasa aku tidak pantas ada di posisi ini."

"Sena? Kenapa kau tiba-tiba mengatakan hal seperti itu? Kau membuatku semakin tidak mengerti dengan semua ini."

Pria itu terdiam sejenak dan tiba-tiba dia menempelkan bibirnya di atas bibirku. Cukup lama, hingga akhirnya aku melepaskan tautan kami. "Sena?"

Dia menatapku lamat dan entah kenapa tiba-tiba matanya berkaca-kaca yang membuatku semakin tidak mengerti.

"Kalau aku mengatakan bahwa aku mulai mencintaimu, apa kau percaya itu?"

Beautifully Bittersweet - OH SEHUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang