Pukul 12 malam acara pun selesai. Badanku remuk rasanya. Untuk malam ini, aku dan Sena tidur di hotel tempat pernikahan kami berlangsung. Aku sudah mewanti-wanti bunda dan mama untuk tidak lagi mendekorasi kamar kami dengan dekor yang aneh-aneh dan untungnya, mereka mengerti.
Setelah membuka tuxedonya, Sena langsung merebahkan diri di kasur. "Aaahh... akhirnya. Ternyata capek juga jadi pengantin."
Aku mendengus, "kamu enak tinggal buka begitu, nih liat aku! Gaunku panjang, susah juga dibukanya!" Aku yang kesusahan membuka resleting di belakang gaunku pun akhirnya menyerah dan bangkit dari dudukku. Aku mau ke kamar bunda, memintanya membukakan gaunku.
"Kamu mau kemana?" Tanya Sena yang kini sudah duduk di tepi kasur saat melihat aku memegang knop pintu.
"Ke kamar bunda, mau minta bukain gaun."
Sena mendengus dan melangkah menghampiriku. "Kan ada aku."
Aku mengernyit, "maksudmu?"
Dia memutar bola matanya malas, "aku aja yang bukain."
"K- kamu?" Tanyaku dengan mata yang terbelalak tak percaya. Sena mengangguk.
Tiba-tiba dia menarik tanganku, membawaku ke kamar mandi. Saat kami hendak melangkah ke kamar mandi, aku menghentikan langkahku yang sontak membuatnya juga terhenti.
"Ak- aku malu."
"Kenapa malu? Aku kan suamimu."
Aku melepas kasar tangannya, memalingkan wajahku yang memerah. "Tetap aja! Aku malu!"
"Ayolah, sampai kapan kamu malu? Kamu punya kewajiban melayani suami loh, kamu lupa?"
Aku menghela napas samar, meskipun pernikahanku dan Sena akan berakhir tetap saja Sena adalah suami sahku dan aku memiliki kewajiban seperti itu. Tapi tetap saja, aku belum siap.
"Ayok, nunggu apa lagi? Kamu emangnya gak gerah pakai gaun itu seharian?"
Aku mendengus pelan, "iya-iya, yaudah. Ayok."
Dan kami pun masuk ke dalam kamar mandi. Aku berdiri di depan cermin wastafel yang besar dengan Sena di belakangku. Dia perlahan membuka resleting gaunku, akhirnya aku bisa bernapas lega setelah seharian terikat dengan gaun itu.
"Makasih Sena, sekarang kau boleh keluar." Kataku, tapi Sena malah mengerucutkan bibirnya.
"Tunggu apa lagi?" Tanyaku.
"Uhm... gak mau mandi bareng gitu?"
Mendengar itu, aku langsung terbelalak dan spontan melempar Sena dengan sisirku yang ada di meja wastafel.
"SENA MESUM!" Pekikku. Sena malah tertawa terbahak-bahak sambil berlari keluar menghindari timpukanku, memang menyebalkan.
Singkat cerita aku sudah bersih dan sudah memakai piyamaku yang nyaman. Sena sedang mandi, namun tak lama kemudian dia keluar dengan handuk yang melilit pinggangnya dengan dada telanjang. Rambut basahnya disisir asal ke belakang. Sadar sedang diperhatikan, Sena pun mengerling ke arahku.
"Kenapa? Terpukau ya sama tubuh atletis suamimu ini? Lebih keren kan daripada tubuh kak Seno?"
"Aku belum pernah liat kak Seno shirtless." Jawabku santai dan lanjut memainkan ponselku, mengabaikannya. Namun tiba-tiba kurasakan kasur yang bergerak, seperti ada yang naik ke atasnya dan ternyata,
"SENA!"
Sena berada di atas tubuhku dengan kedua tangan dan kakinya yang menjadi tumpuan agar tidak menibanku. Dia merampas ponselku dan membuangnya asal, membuatku terbelalak.
"SENA!"
"Michie," panggil Sena dengan suara rendahnya dan deru napas hangatnya yang menerpa wajahku. Dia menatapku tepat di kedua mataku dengan dada bidangnya yang naik turun dengan teratur.
Aku merasakan benda asing panjang yang menegang dan begitu keras menyentuh perutku. Aku tidak bodoh, aku mengetahui benda apa itu. Jantungku berdegup kencang menatap tatapan Sena yang mengabu penuh nafsu, menatapku seakan aku adalah mangsanya malam ini.
"Kalau aku minta jatahku sebagai suami, boleh?" Bisiknya tepat di samping telingaku dengan sensual, membuat gelinyar aneh menjalar ke seluruh tubuhku.
Aku menelan salivaku, mengangguk patah-patah dengan ragu. Dia menyeringai saat mendapatkan izinku. Ketika wajahnya mendekat hendak menciumku, aku menahannya. Menimbulkan gurat tanya di wajah aristokratnya yang malam ini tampak bak pahatan Dewa Yunani yang menggoda.
"Ta— tapi ada syaratnya," cicitku dengan terbata.
Alis tebalnya yang tergambar indah itu bertemu mengurai gurat bingung, "apa syaratnya?" Tanyanya.
"A–aku gak mau hamil. Kau boleh melakukan hal itu tapi jangan sampai aku hamil!" Ucapku cepat.
Dia menatapku masih dengan gurat bingungnya yang entah mengapa malam ini terlihat 'sedikit' tampan. "Kenapa?"
Aku meneguk salivaku, agak ragu dengan apa yang akan kukatakan. "Aku gak mau mengandung anak kamu." Ucapku yang langsung membuat air mukanya berubah.
Dia kemudian bangkit dari atas tubuhku dan memilih duduk di tepi kasur. Aku pun mengubah posisiku menjadi duduk dengan tubuh bersandar pada kepala kasur yang empuk.
Dia mendengus kesal, menghunusku dengan tatapan tajamnya. "Kenapa? Kamu benci aku sampai ga mau mengandung anakku?"
Aku menghela napas berat, "Sena, cepat atau lambat kita akan berpisah. Aku ga mau mengingkari janji kita dulu dan aku gak mau bertahan denganmu hanya demi anak."
Pria itu memunggungiku dengan bahunya yang lebar dan tampak sangat atletis. Dia mendengus kesal untuk kedua kalinya dan bangkit dari duduknya meninggalkanku ke kamar mandi. Namun sebelum dia masuk ke kamar mandi, dia menghentikan langkahnya.
"Baik kalau memang itu maumu. Besok aku akan bawakan kau obat penunda kehamilan dan kau harus minum itu. Setelah itu, layani aku sampai puas. Jangan lupakan kewajibanmu sebagai seorang istri." Ucapnya tanpa membalikkan wajahnya menatapku, kemudian dia masuk ke kamar mandi untuk waktu yang lama.
Aku sedikit menyesal mengatakan hal itu. Sena tak pernah terlihat semarah ini sebelumnya, bahkan aku dapat menangkap gurat kecewa di wajahnya. Namun penyesalan hari ini tak ada apa-apanya dengan penyesalan di kemudian hari. Aku kembali memasang batasanku dengan Sena setinggi mungkin karena cepat atau lambat, semua ini akan berakhir.
Aku belum yakin Sena mencintaiku seperti apa yang Kayden katakan beberapa waktu lalu. Biar bagaimanapun, Sena tetaplah pria normal yang harus memenuhi kebutuhan biologisnya. Dan sebagai istri, memang sudah menjadi tugasku untuk melayani Sena. Tapi untuk memiliki buah hati bersamanya, aku tidak mau.
Bukan aku tidak ingin memiliki keturunan, bukan aku tidak ingin memiliki anak-anak yang lucu. Aku ingin, ingin sekali menjadi seorang ibu. Tapi aku memikirkan hal itu lebih jauh.
Pernikahanku dan Sena terjadi bukanlah karena cinta. Cepat atau lambat, pernikahan ini akan berakhir. Aku tidak mau mengingkari janjiku. Aku tidak mau memperumit atau mempersulit perpisahan kita karena kehadiran bayi mungil yang tak berdosa.
Dan aku juga tak mau anak itu menderita karena perpisahan orang tuanya. Tidak ada satu anak pun yang bisa memilih siapa orang tua mereka dan aku tidak mau anakku menyesal karena memiliki orang tua sepertiku.
Aku mau punya anak dan pasti akan punya anak, tapi dengan pria yang aku cintai dan juga mencintaiku. Mungkin memang ini takdir yang aku alami dan aku menerimanya dengan ikhlas. Aku akan sabar menunggu saat bahagiaku,
... dan saat bahagia itu bukanlah bersama Sena.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautifully Bittersweet - OH SEHUN
Romance"Setelah kakek meninggal, aku akan menceraikanmu." Setidaknya itu yang dikatakan Sena pada Misel sebelum mereka menikah. Sena membenci Misel dan Misel terima itu. Namun ketika Sena mengetahui bahwa selama ini Misel tak pernah mencintainya, entah men...