Bab 10 - Bahagia

17 1 0
                                    

Keesokan harinya, aku kembali ke rumah sakit. Kondisi kakek jauh lebih baik daripada kemarin. Kakek bahkan sudah berselera makan dan minta dibuatkan sup ayam buatanku. Aku menyuapi kakek, dia makan dengan sangat lahap.

"Sup ayam buatkan kamu sangat mirip dengan buatan nenekmu."

Aku tersenyum, "aku membaca resep yang ditulis nenek."

Kakek mengangguk sambil menelan makanannya, "ibumu dan tante-tantemu pun membuat sup ini sesuai resep nenek, tapi tidak ada yang seenak buatanmu."

"Kakek jangan memujiku terus, nanti aku terbang." Kataku yang membuat kakek tertawa.

Kakek menghela napasnya samar, tangannya mengelus rambutku dan menatapku teduh. "Bagaimana dengan pernikahanmu."

Rasanya petir menyambar hatiku saat kakek membahas pernikahanku. Namun aku berusaha memaksakan senyum seolah semua baik-baik saja. "Aku baru menikah sehari kek. Belum banyak hal berarti yang terjadi."

"Kamu anak yang baik, Michie. Kamu berhati lembut. Melihatmu menikah dengan Sena membuat kakek tenang, akhirnya kakek bisa meninggalkanmu."

Aku mendengus kesal, "kakek jangan bahas itu. Aku tak suka."

Kakek malah terkekeh melihat wajahku yang merengut, "Michie, Michie... kamu memang tidak berubah. Kamu selalu saja mengkhawatirkan kakek. Bila kakek pergi, kamu jangan sedih berlarut-larut ya. Kakek akan bertemu nenek di sana, kakek tidak akan sendiri."

Aku menunduk, kurasakan air mataku mulai turun. Kakek yang mengetahui itu pun menggenggam tanganku erat.

"Michie, satu pesan kakek untukmu. Jadilah istri yang baik untuk Sena. Pertengkaran kecil adalah bumbu dalam pernikahan kalian agar tak terasa hambar. Sena adalah rumahmu sekarang, tempatmu untuk pulang. Dan kamu, jadilah rumah ternyaman untuk Sena."

Aku tak bisa menjawab, aku hanya mengangguk dengan air mata yang terus turun tak terkira. Aku menangis karena kalimat kakek yang menjadi pertanda bahwa hidupnya tak akan lama lagi. Aku juga menangis karena pernikahanku dengan Sena yang kutahui tak akan berakhir bahagia.

***

Aku keluar dari kamar kakek satu jam kemudian setelah membantu kakek minum obat dan menemaninya sampai tertidur. Saat aku menutup pintu kamar kakek, terdengar suara berat yang begitu familiar di telingaku.

"Michie," aku terdiam bersamaan dengan jantungku yang berdebar kencang. Aku tak mampu menoleh, tak mampu menatapnya. Aku harap aku hilang ditelan lubang hitam saat ini juga.

"Kita perlu bicara." Lanjutnya. Aku melepas tanganku yang memegang gagang pintu kamar kakek, berniat mengabaikannya aku pun langsung pergi tanpa berbalik menatapnya. Namun aku kalah cepat dengan tangannya yang menahanku. Dia berdiri di hadapanku yang menunduk dan berkata, "kita perlu bicara, Michie."

Dan kami berakhir di mobilnya, hanya berdua. Sedari tadi aku tak mampu menatapnya. Aku hanya bisa diam dan menunduk tak berdaya. Hening menyelimuti kita, atmosfer di antara kami menjadi semakin dingin dan mencekam.

"Selamat atas pernikahanmu." Kata itulah yang keluar dari mulutnya setelah kami berdiam untuk waktu yang lama. Dan mendengar hal itu membuat tangisku kembali pecah.

"Aku tak tahu kau akan menikah dengan adikku secepat ini. Andai aku tahu, mungkin aku tak akan kembali ke Jakarta dalam waktu yang dekat." Katanya. "Mungkin seharusnya aku tak pernah kembali."

Aku hanya mampu mendengarkannya tanpa bisa membalas, hatiku terlalu sakit bahkan dadaku rasanya amat sesak walau hanya untuk bernapas.

"Aku terluka. Mungkin bila malam itu aku tak mengajakmu ke Bali, bila malam itu aku tak menyatakan perasaanku, mungkin rasanya tak akan sesakit ini."

Tangisku semakin kencang, aku tak bisa menahan ini sendiri lagi. Meski begitu, aku belum berani menatap kak Seno. Hatiku bak teriris tiap kali menatapnya, teringat kenangan manis kami yang hanya berlangsung beberapa jam.

"Tapi aku tak mau egois. Aku tak bisa menutup mata bahwa di sini kau juga terluka. Setelah akad nikahmu kemarin, hubungan yang kita jalani sekarang adalah hubungan yang salah. Meski kita masih menyimpan rasa untuk satu sama lain, tapi lebih baik hubungan ini kita akhiri. Aku tak mau ada masalah ke depannya karena hubungan terlarang kita. Biar bagaimanapun, Sena adalah adikku. Sangat tidak etis bila aku memacari istrinya." Jelasnya panjang lebar.

Bahuku bergetar dengan isak tangis yang masih kentara. Aku coba untuk menenangkan diri, aku coba untuk berhenti menangis meski air mataku terus turun tanpa permisi.

"Meski kau menikah hanya karena permintaan terakhir kakekmu, tapi aku harap pernikahanmu dan Sena untuk selamanya. Aku akan berusaha untuk melupakan perasaanku padamu. Dan aku mohon, lupakanlah perasaanmu padaku. Lupakanlah semua janji-janji dan kenangan kita yang singkat itu. Mulailah mencintai adikku."

Jantungku bak dihujam tombak panjang berujung runcing, sakit. Ini sungguh menyiksa saat semua orang hanya menyuruhku untuk melakukan sesuatu yang mereka mau tanpa menanyakan apa mauku. Mereka selalu memintaku untuk mengerti tanpa mengerti hatiku.

"Aku pergi." Kataku dengan suara bergetar. Aku pun langsung membuka pintu mobil dan keluar, pergi meninggalkan kak Seno setelah menutup pintu mobilnya kasar. Kukira kak Seno adalah orang yang paling mengerti, tapi nyatanya dia sama saja seperti yang lain.

Aku keluar dari parkiran rumah sakit dan memberhentikan taksi, setelah memberitahu tujuanku, aku kembali menangis. Aku merasa bahwa aku sendiri di dunia yang kejam ini. Aku selalu melakukan apa yang mereka mau, tak peduli bila aku terluka. Rumahku tak terasa seperti rumah. Aku hampa, aku hilang arah.

Aku pulang ke rumah, aku ingin tidur di kamarku. Namun begitu aku sampai, ternyata rumahku sudah ramai dengan keluarga besar yandaku. Mereka menghampiriku dan mengucapkan selamat atas pernikahanku dengan Sena. Meski lelah, aku berusaha untuk menanggapi mereka sambil tersenyum.

Ternyata tak hanya keluargaku, keluarga Sena pun datang. Mereka menyuruhku duduk bersama dengan yanda dan bundaku.

"Pernikahannya akan diadakan minggu depan, kamu ga perlu khawatir karena kami sudah menyiapkan pesta pernikahan megah untuk kalian berdua. Setelah menikah nanti, kamu dan Sena akan tinggal di rumah yang sudah kami siapkan untuk kalian berdua." Ucap tante Shany.

Aku tersenyum tipis dan mengangguk, "terima kasih, tante."

"Jangan panggil tante, dong. Sekarang kan kamu udah jadi istri Sena, panggil mama ya?" Kata tante Shany. Lagi-lagi aku hanya mengangguk pelan.

"Oh ya, dimana Sena?" Tanya Om Mada.

Sebenarnya aku juga tak tahu dimana Sena berada karena sejak aku bangun, Sena sudah tidak ada.

"Mungkin dia sedang mengurus sesuatu." Jawab yanda. "Michie, kamu bisa istirahat di kamarmu dulu. Nanti yanda telepon Sena untuk menjemputmu di sini." Kata yanda yang kubalas anggukan. Setelah pamit undur diri, aku pun masuk ke kamarku.

Aku mengunci rapat pintu kamarku dan kembali menangis. Aku bersandar di balik pintu dan duduk sambil memeluk lututku, menyembunyikan wajahku di sana. Belakangan ini aku lebih banyak menangis daripada tertawa. Dan ketika tertawa lepas pun, keesokan harinya aku akan menangis lebih parah.

Dadaku sesak tiap kali aku menangis, kadang aku sampai kesulitan untuk bernapas. Aku ingin memiliki tempat bersandar, aku ingin memiliki tempat berlindung, aku ingin memiliki seseorang yang dapat mengerti. Saat aku merasa sudah memilikinya, orang itu malah pergi meninggalkanku sendiri tanpa mau mengerti dan menunggu hingga semuanya reda. Dia meninggalkanku sendirian di tengah hujan lebat tanpa payung yang melindungi tubuhku dari rintik deras air hujan yang menghujam.

Kepalaku sakit, berkedut ngilu bak dipukul palu godam, mungkin karena aku terlalu banyak menangis belakangan ini. Penglihatanku pun mulai kabur sampai akhirnya semuanya gelap dan aku pun pingsan, tak sadarkan diri.

Beautifully Bittersweet - OH SEHUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang