1

6.8K 435 37
                                    

Happy reading

Menjadi orang tua bukanlah perkara mudah, apalagi bagi Jagadya Marva yang harus mengurus semuanya seorang diri, sebab ketika si buah hati lahir, Dita—sang istri justru memilih pergi. Dita, meninggal setelah lima menit melahirkan Langit.

Sakit? Jelas, Jagad bahkan merasa jika dunianya telah runtuh saat itu juga. Akan tetapi, begitu mendengar tangis bayi yang ia damba selama lebih dari dua tahun, rasa hangat mulai menjalari hati. Jagad merasakan sakit dan bahagia di waktu yang bersamaan. Apalagi ketika jari-jemari bayi itu menggenggam jari telunjuk besarnya, Jagad langsung menitikkan air mata, berbisik di telinga sang anak sembari berkata, "Selamat datang Langit Jagadita Marva. Selamat datang jagoan, Ayah ...." Dengan suara  bergetar. Dan di waktu yang bersamaan, ia juga harus mengucapkan, "Selamat jalan, sayang ... aku akan menjaga anak kita, aku janji." Di telinga kanan istri tercinta, melepas kepergiannya.

Tangisan malam itu bukan hanya sebuah tangis haru, tetapi juga tangis pilu. Rasa takut dan hancur begitu mendominasi di relung hati, sebuah perasaan yang tidak akan mungkin bisa Jagad lupakan, dan tidak akan pernah mau kembali ia rasakan. Namun, seiring berjalannya waktu perasaan takut itu mulai memudar, hanya karena tawa Langit seorang.

Kesibukannya menjadi orang tua tunggal yang harus pergi ke kantor dan memastikan anak semata wayangnya baik-baik saja, membuat Jagad perlahan-lahan mulai melupakan ketakutannya. Dulu, ia takut jika akan menyakiti buah hatinya, takut kalau dirinya tidak bisa menjaga Langit dengan baik.

Namun, berkat bantuan sang mama (ibu dari Jagad) Langit tumbuh dengan sangat baik. Melihat Langit yang sekarang rasanya Jagad tidak percaya. Bayi mungil itu kini telah tumbuh menjadi remaja tampan, ceria, dan sangat mirip dengan istrinya—suka bertindak seenaknya. Contohnya saja kemarin sore, ketika anak itu berkata jika baru saja mengunggah foto Jagad yang telanjang dada di salah satu aplikasi biro jodoh, rasanya Jagad ingin mengirim Langit ke rumah orangtuanya saat itu juga. Akan tetapi, itu tidaklah mungkin. Sebab sehari tidak bertemu dengan Langit saja, Jagad rasanya sudah sangat rindu setengah mati.

Melihat tumbuh kembang Langit yang sangat baik, Jagad berpikir jika Tuhan tidak akan mengujinya lagi. Namun, siapa yang menduga jika rasa itu harus ia rasakan kembali. Rasa takut akan kehilangan itu kembali singgah di relung hati setelah belasan tahun lamanya.

Hari itu, dua hari setelah perayaan ulang tahun yang ke 12, Langit harus dilarikan ke rumah sakit. Dan tepat saat itu pula, Jagad mengetahui fakta menyakitkan bahwa dirinya bisa kehilangan Langit kapan saja.

Memikirkan kejadian itu, selalu berhasil membuat Jagad ketakutan hingga melamun tanpa sadar. Sampai suara benda jatuh dari samping meja, berhasil menyadarkannya.

Prakk

Jagad seketika menoleh, mendapati sang anak yang tersenyum, menampilkan gigi rapi. Salah satu ciri khas Langit setiap kali telah melakukan satu kesalahan.

Melihat Langit berjongkok, mengambil ponsel yang sudah berada di lantai, Jagad hanya mampu menghela napas panjang, melepaskan apron, mencuci tangan.

"Layarnya pecah ...."

Mendengar gumaman Langit, Jagad tersenyum tipis. Apalagi ketika ia melirik ke arah meja makan, ia mendapati Langit sudah terduduk di kursi, memukul-mukul ponsel menggunakan tangan, berusaha menyalakan. Senyumnya semakin mengembang, ketika melihat dengan jelas wajah lucu Langit dengan alis tertekuk. Yah, mau sebesar apa pun Langit, Jagad akan selalu melihatnya sebagai anak kecil yang harus dilindungi dan dibahagiakan.

Melihat Langit masih sibuk mencoba menyalakan ponselnya, Jagad kembali menghela napas. Langit memang seperti itu, selalu merasa tidak enak dan takut melakukan kesalahan. Padahal, Jagad tidak akan marah jika Langit berkata jujur padanya—lebih tepatnya Jagad tidak akan pernah bisa marah jika itu menyangkut Langit Jagadita Marva.

Langit Bercerita (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang