4

3.5K 343 28
                                    

Happy reading


Bel pertanda pulang sekolah sudah berbunyi sejak lima belas menit lalu, dan sudah hampir dua puluh menit pula Langit terduduk di halte. Meluruskan kaki, menatap ujung sepatu, Langit mengeluh dalam hati. Ia menyesal karena menyuruh mang Asep untuk tidak menjemputnya tadi pagi.

Langit sudah mencoba menghubungi Jagad beberapa kali, tetapi ayahnya itu tak kunjung mengangkat panggilan. Langit juga tidak bisa menghubungi mang Asep karena nomornya tak ada di ponsel barunya. Sepertinya ayah lupa menyimpan nomor mang Asep, dan kabar buruknya Langit juga lupa untuk memintanya tadi pagi. Sehingga yang bisa Langit lakukan saat ini hanyalah diam, menunggu sampai ada seseorang yang berbaik hati menawarkan tumpangan, atau ayah yang tiba-tiba saja menelepon balik. Langit tidak bisa menghentikan taksi, uang jajannya telah habis untuk mentraktir Raihan serta si kembar ketika jam pelajaran terakhir yang kosong tadi, sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantu Langit.

Menyandarkan punggung pada sandaran, Langit mengembuskan napas panjang. Seharusnya tadi ia ikut bersama Yara saat sepupunya itu menawarkan untuk pulang bersama, atau menerima ajakan si kembar yang berkata akan mampir ke restoran milik mamanya. Menggaruk kepala yang terasa gatal karena keringat, Langit menatap jalanan yang sudah mulai ramai, jam pulang kerja hampir saja tiba.

Langit sudah sangat lelah, kepalanya mulai pusing, ia terlalu memforsir tubuhnya hari ini. Merasa matanya mulai memberat karena merasa mengantuk, Langit hendak menutup mata. Namun, urung saat melihat seseorang tiba-tiba saja menghentikan motor di depan, membuka helm full face lalu bertanya, "Langit?"

Langit segera menegakkan tubuh, menyipitkan mata guna memperjelas penglihatan. Itu Mario, teman Yara yang ia temui tadi pagi.

"Kamu ... Langit, kan? Sepupunya Yara?"

Mendengar pertanyaan Mario, Langit hanya mengangguk singkat, membenarkan tas punggungnya.

"Belum dijemput?"

Langit menggeleng pelan sebagai jawaban. Ia tak berniat mengeluarkan suara, tubuhnya sudah sangat lelah. Jadi yang bisa Langit lakukan kembali bersandar, memejamkan mata hendak tidur. Namun, mendengar ajakan Mario, Langit buru-buru membuka mata kembali, sebab kakak kelasnya itu berkata, "Mau gue anterin pulang?"

Tanpa berpikir dua kali lagi Langit segera bangkit dari kursi halte, menghampiri Mario. Mengangguk cepat begitu sampai di sampingnya. Dengan begitu saja, Mario menyerahkan helm yang biasa ia bawa. Namun, ketika Langit hendak mengambil helm tersebut, Mario menariknya kembali sembari berkata, "Tapi ada syaratnya."

Langit mengernyitkan dahi tak mengerti.

"Lo harus buat Yara mau jalan sama gue besok siang. Gimana?"

Mendengar syarat yang dilontarkan, Langit mendengus kesal. Padahal, Langit sudah mati-matian menghindari Jimmy agar tidak menjadi Mak Comblangnya, tetapi kini ia justru harus membantu Mario untuk berdekatan dengan sepupunya. Ini sih seperti meloloskan diri dari cakaran kucing, hanya untuk menerima cakaran dari harimau.

Menatap langit yang semakin sore, tidak ada yang bisa Langit lakukan selain mengangguk setuju. Persetan dengan Jimmy yang akan mengamuk, yang terpenting Langit bisa pulang terlebih dahulu.

Mario yang mendapat jawaban dari Langit menyeringai, kembali menyerahkan helm yang tadi sempat akan ia berikan. Tanpa berlama-lama lagi, Langit segera menerima helm tersebut, memakainya, dan segera menaiki motor. Lalu menepuk pundak Mario, bermaksud memberitahu jika dirinya sudah duduk nyaman dan siap untuk pulang.

***

Jagad melonggarkan dasi yang melekat pada lehernya, menggulung lengan kemeja berwarna biru sampai siku dan membereskan meja kerja. Ia baru saja kembali setelah bertemu dengan investor asing di salah satu restoran dekat kantor.

Langit Bercerita (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang