Happy reading
"Kita benar-benar pergi sekarang, Jimmy?" Langit mengikuti langkah ketiga temannya menuju gerbang sekolah.
Pertandingan bola basket sudah selesai beberapa jam lalu, kelas mereka kalah di dua pertandingan terakhir dan gagal mendapatkan posisi ketiga. Itu tak masalah, lagi pula mereka bermain hanya untuk bersenang-senang.
"Aku enggak mau ikut beres-beres, Lang. Itu melelahkan. Kalau kamu mau ikut mengelap kaca-kaca kelas sih silakan saja, aku enggak mau." Jimmy berjalan di depan bersama Raihan, sementara Langit di belakang dengan Jaidan.
Tadi, setelah semua pertandingan selesai, tiba-tiba saja terdengar dari pengeras suara. Memberitahu para murid sekolah untuk membersihkan kelas masing-masing sebab besok adalah hari terakhir masuk dan orang tua akan datang untuk pengambilan raport.
Langit yang sedang memakan bekal makan siangnya di kantin sontak menoleh ke arah Jimmy yang mendesah kesal. Kemudian menyuruh Langit untuk mempercepat makannya agar mereka bisa pergi dengan cepat dari sekolah.
Lalu di sinilah mereka sekarang, berdiri di depan gerbang sekolah, menunggu taksi online yang mereka pesan datang.
"Kita sudah membayar sekolah setiap bulan dengan uang yang tak bisa dikatakan kecil, jadi untuk apa kita membereskan kelas lagi? Bukankah itu sudah menjadi tugas petugas bersih-bersih sekolah?" Jimmy berdiri di samping Langit, mengusap rambutnya.
"Anggap saja kita membantu mereka, kelas di sekolah kita kan ada banyak. Jika kita membersihkan kelas, bukankah itu membantu pekerjaan mereka?"
"Kita sudah membantu, Lang. Dengan membayar uang setiap bulan ke sekolah, secara enggak langsung kita sudah membantu. Mereka mendapatkan uang setelah bersih-bersih, tapi kita enggak."
"Kita memang enggak dapat uang, tapi kita mendapatkan ilmu yang mereka enggak dapat. Lagi pula jika seperti itu, kenapa kita tetap mengerjakan piket setiap hari? Kenapa hanya di hari ini kita kabur dari tugas membersihkan kelas?"
"Astaga, kenapa kamu jadi banyak tanya, apakah kepribadian kita tertukar?"
"Hey, berhenti beradu argumen. Taksinya sudah datang." Raihan melerai Langit dan Jimmy, kemudian memasuki taksi.
Jaidan mengambil duduk di depan, sementara ketiganya di belakang.
"Bagaimana dengan makan-makan di kafenya? Bukankah kita akan makan-makan bersama teman-teman yang lain?" Langit kembali bertanya. Ia memang tidak akan makan di kafe seperti teman-temannya, karena itu ia memakan bekal di kantin tadi. Sebab sudah waktunya jam makan siang dan ia tidak boleh menundanya. Jadi ketika mereka memesan makanan nanti, seperti biasa Langit akan memakan buah beri yang sudah mama Titi siapkan.
Bukannya menjawab pertanyaan Langit, Raihan justru berkata, "Sepertinya kepribadian kamu memang tertukar dengan Jimmy, Lang." Lalu terkekeh pelan.
"Aku sudah menghubungi ketua kelas kalau kita pergi duluan. Aku mengatakan kalau Langit enggak boleh telat makan karena harus meminum obat. Ketua kelas langsung mengatakan iya, karena dia tahu kantin hari ini tutup sampai liburan sekolah berakhir." Jaidan yang duduk di depan menoleh, tersenyum menatap Langit.
"Kamu menjadikanku sebagai alasan!" Langit menunjuk kesal Jaidan yang masih tersenyum sampai matanya menyipit.
"Itu alasan masuk akal, Lang. Maaf, ya," ucap Jaidan kembali menatap ke depan.
Langit mengembuskan napas kesal, menatap keluar jendela. Namun, kekesalan itu tak berlangsung lama, sebab seperti biasa Jimmy akan mulai bertanya dan yang lain akan menjawab.
Tak ada jeda dari percakapan mereka, semuanya ikut berbicara, membuat supir taksi berdeham berkali-kali untuk tetap fokus ke jalanan dan tak memarahi keempat bocah itu agar tidak berbicara terlalu keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Bercerita (End)
Teen FictionDicari istri baru untuk ayah saya. Kriteria: -Baik hati dan tidak sombong -Tidak bisa masak pun tak apa, sebab uang ayah saya banyak. -Mau mencintai dan menerima ayah beserta buntutnya (saya) -Tidak perlu cantik, yang penting enak dipandang. -Janda...