22

2.1K 219 41
                                    

Happy reading



Pagi itu udara terasa lebih dingin. Gerimis mengguyur kota sejak subuh tadi, membuat jalanan basah dan para pengendara harus berhati-hati dalam mengendarai kendaraan masing-masing.

Sudah satu Minggu lebih sejak insiden Langit terjatuh karena memikirkan dia yang Jagad maksud, itu berarti sudah satu minggu pula Langit menjalankan ujian akhir semester. Dan ini adalah hari terakhir di mana Langit bertemu dengan soal-soal yang memusingkan kepala itu.

Mengembuskan napas perlahan, Langit menatap jendela samping mobil, di mana banyak pengendara yang berlalu-lalang untuk pergi ke tujuan masing-masing. Seperti dirinya saat ini, duduk di mobil dengan sang ayah yang mengemudi dengan tujuan ke sekolah.

Menyandarkan kepala pada jendela mobil, Langit menutup mata perlahan. Selama hampir satu minggu ini Langit tidak hanya dipusingkan oleh soal ujian, tetapi juga dipusingkan tentang dia, dan hubungan Dokter Megan bersama pria bernama Dimas.

Langit ingin bertanya kepada sang ayah, tetapi ia takut dengan fakta jika memang dirinya bukanlah anak kandung dari sang ayah. Langit juga belum bertanya kepada Dokter Megan, sebab ia terlalu takut untuk mengetahui fakta jika yang menyimpan perasaan lebih dari seorang teman adalah Dokter Megan. Jika itu terjadi, maka Langit tidak memiliki kesempatan lagi. Bukan hanya itu, Langit juga akan merasakan patah hati untuk yang pertama kali.

Kembali mengembuskan napas, Langit membuka mata begitu merasakan mobil yang dikendarai Jagad berhenti. Ah, mereka sudah sampai, Langit sampai tidak menyadari.

"Aku masuk ya, Ayah." Langit berkata pelan, membuka mobil, dan menutupnya tanpa menunggu jawaban dari sang ayah.

Jagad yang melihat Langit berjalan pelan dengan kepala menunduk, tertutupi oleh tudung jaket hanya mampu mengembuskan napas panjang. Sudah seminggu ini Langit terlihat lesu, tidak bersemangat seperti biasanya. Entah apa yang sedang anak itu pikirkan, sebab setiap kali Jagad bertanya Langit hanya akan mengatakan jika dia sedang pusing dengan soal-soal ujian.

Melihat wajah Langit yang semakin tampak pucat dari hari ke harinya, Jagad merasa khawatir dengan kondisinya. Ia bahkan merasa takut jika harus melepaskan Langit untuk pergi ke sekolah. Seperti pagi ini, mereka bahkan berdebat lebih dulu sebelum berangkat. Namun, mengingat ini adalah ujian terakhir, Jagad setidaknya bisa bernapas sedikit lega.

Jagad sudah memutuskan, tepat setelah bel sekolah berbunyi Jagad akan memaksa anak itu untuk pergi ke rumah sakit, melakukan pemeriksaan. Menghela napas, Jagad mulai melajukan mobilnya, meninggalkan area sekolah.

Sementara yang dipikirkan Jagad saat ini sedang berjalan pelan di lorong lantai dua, melepaskan tudung jaket yang menutupi kepala.

Begitu langkah Langit tiba di depan kelas, bertepatan dengan Jimmy yang hendak keluar. Langit sedikit tersentak, begitu juga Jimmy yang berteriak membuat beberapa teman yang sudah berada di kelas segera menoleh ke arahnya.

"Astaga, Lang! Kamu mengagetkanku!" Jimmy berseru tertahan, menatap Langit yang hanya diam dan melewatinya.

Hey, jangan salahkan Jimmy jika ia berteriak kencang. Siapa pula yang tidak akan kaget ketika cuaca mendung dan tiba-tiba saja berdiri manusia berwajah pucat di hadapannya. Jimmy yakin seratus persen orang-orang yang mengalaminya juga akan melakukan hal yang sama.

Melihat Langit duduk di kursi, Jimmy memutuskan untuk kembali dan duduk di kursi yang berada di hadapan Langit, menatap temannya yang kini sudah menenggelamkan wajah di atas lipatan tangan.

"Tumben kamu datang lebih siang. Kamu baik-baik saja, Lang?" Raihan yang memang sudah di kelas memutuskan untuk mendekat.

Langit hanya bergumam pelan. "Aku baik-baik saja."

Langit Bercerita (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang