Happy reading
Tiga hari berlalu, keadaan Langit semakin membaik. Nasal kanul sudah terlepas begitu juga beberapa alat medis yang lain, menyisakan jarum infus di punggung tangan kirinya. Namun, seperti biasa ia akan mendapatkan perawatan secara maksimal setidaknya tiga hari ke depan, dan seperti biasa pula sang ayah akan berbohong kalau Langit bisa pulang pagi ini juga.
Pagi ini cuaca cukup cerah, cahaya matahari pagi yang hangat membuat Langit bersemangat untuk bertemu seseorang. Pukul enam lewat lima puluh menit, itu berarti sekitar sepuluh menit lagi—dia akan datang kemari.
Mengambil sebuah cermin berukuran kecil di atas nakas samping ranjang, Langit menatap wajahnya yang terlihat sedikit bengkak karena baru saja bangun tidur. Membenarkan tatanan rambut hitamnya, Langit mengecek setiap sudut mata, apakah ada mutiara di sana atau tidak? Dirasa cukup, Langit mengembalikan cermin itu kembali ke tempat semula.
Menatap ke penjuru ruangan, Langit mengusap rambutnya yang baru saja ia tata. Sepi, tidak ada orang lain di sini. Neneknya belum datang dan sang ayah sedang pergi entah ke mana karena sejak Langit bangun tadi, ayahnya itu sudah menghilang.
Melirik jam yang tertempel di dinding, Langit menguap, hingga ketika melihat pintu tiba-tiba saja dibuka, ia buru-buru menutup mulutnya menggunakan telapak tangan. Inilah yang ia tunggu-tunggu sedari bangun tadi, bertemu dokter cantik. Dokter yang mengeceknya setiap malam hingga pagi, sebab jika sudah menjelang siang, dokter yang datang beda lagi.
Langit sedari tadi sudah tersenyum, hendak menyapa. Namun, begitu orang itu masuk ia melunturkan senyumannya.
"Ayah, ngapain?"
Benar, yang baru saja masuk bukanlah dokter cantik melainkan Jagad dengan tangan kanan memegang satu paper cup yang Langit yakini berisi susu.
Jagad yang mendapat pertanyaan tiba-tiba mengernyit, menutup pintu sembari menjawab, "Masuk ruangan?" Yang mana itu membuat Langit mendengus kesal.
Langit juga tahu ayahnya itu sedang memasuki ruangan, tetapi bukan itu yang ingin ia dengar. Sementara Jagad yang melihat ekspresi kesal Langit mengusap leher belakang, apa ia salah lagi pikirnya.
Berjalan pelan, meletakkan paper cup berisi susu di atas meja, Jagad kembali melangkah mendekati sang anak.
"Gimana? Ada yang sakit lagi?" Jagad duduk di kursi samping ranjang.
Langit menggeleng pelan, menatap jam dinding. Sudah lewat jam tujuh, seharusnya dokter itu sudah datang memeriksanya. Namun, kenapa belum juga? Apa dokter itu tidak mau datang kemari lagi menemuinya? Karena setiap dokter itu datang, Langit pasti akan menanyakan banyak hal. Apa dokter itu merasa risih?
Jagad yang melihat wajah Langit seperti sedang memikirkan sesuatu segera menepuk pipinya pelan. "Jangan berpikir terlalu keras." Membuat Langit mengerjapkan mata, menatap Jagad.
Melirik sang ayah yang tengah membuka ponselnya, Langit mengubah posisi duduk menyamping—menghadap Jagad. Sedikit melongok, menyipitkan mata untuk mencaritahu siapa yang tengah dihubungi oleh ayahnya. Begitu melihat nama yang tertera di sana, Langit menganggukkan kepala. Ayahnya ini tengah menghubungi Donita, seperti biasa untuk pekerjaan.
Menggaruk kepalanya yang gatal karena belum mandi selama tiga hari lebih, Langit menatap Jagad lekat. "Ayah," panggilnya, membuat Jagad mendongak.
"Kenapa? Mau sesuatu? Kamu lapar?"
Langit menggeleng pelan dan memilih bertanya, "Bagaimana dengan Dokter Megan?"
Jagad mengernyit, menatap jam di dinding. "Mungkin sedang ada pasien darurat, jadi dia belum ke sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Bercerita (End)
Teen FictionDicari istri baru untuk ayah saya. Kriteria: -Baik hati dan tidak sombong -Tidak bisa masak pun tak apa, sebab uang ayah saya banyak. -Mau mencintai dan menerima ayah beserta buntutnya (saya) -Tidak perlu cantik, yang penting enak dipandang. -Janda...