Happy reading
Langit mengerjapkan mata, tatkala cahaya lampu terasa begitu menyilaukan. Merasakan sedikit nyeri di punggung tangan kanan, Langit mengernyit. Ada jarum infus tertancap di sana, juga Pulse oximeter yang menjepit jari telunjuk kirinya, membuat Langit mengembuskan napas panjang.
Hingga beberapa detik kemudian Langit melotot, kembali menatap punggung tangan kanan. Astaga, sejak kapan ia diinfus? Apa yang terjadi? Langit tak mengingat apa pun saat ini.
Melihat sekitar, Langit baru menyadari jika dirinya saat ini bukan berada di kamarnya, melainkan kamar Raihan. Itu berarti Langit belum pulang? Tunggu, bagaimana dengan belajar bersamanya? Jam berapa sekarang?
Langit terduduk, kembali melihat sekitar hingga tatapannya berhenti pada jam weker di atas nakas. Pukul lima sore, itu berarti Langit sudah melewatkan waktu sekitar lima jam. Akan tetapi, apa yang ia lewatkan? Langit masih tidak mengingatnya.
Memikirkan itu, Langit sampai tidak sadar jika pintu kamar dibuka, menampilkan Raihan bersama Cadey, mengikuti di belakang.
"Kamu sudah bangun, Lang?"
Langit seketika menoleh, menganggukkan kepala.
Melihat raut muka kebingungan Langit Raihan kembali berkata, "Kamu tadi pingsan waktu kita belajar bersama. Aku pikir kamu tidur, tapi begitu ku bangunkan, kamu ngga bangun-bangun. Untung saja papa ada di rumah." Kemudian duduk di tepi ranjang.
Cadey sendiri sudah merangkak di atas ranjang, duduk di samping Langit. Memperhatikan Pulse oximeter. Sepertinya benda yang menjepit jari telunjuk Langit itu lebih menarik perhatian dari pembicaraan kakak dan teman dari kakaknya itu.
"Kamu sudah merasa lebih baik?"
Lagi, Langit mengangguk. "Apa yang terjadi? Bagaimana dengan belajarnya? Apa Jaidan dan Jimmy sudah pulang?"
Raihan mengembuskan napas panjang. "Kamu ngga ingat?"
Langit menggelengkan kepala. Ia hanya mengingat ketika Jaidan dan Jimmy datang dengan wajah kusut. Lantas Jaidan menjelaskan jika alasan Jimmy terlihat seperti itu karena tak sengaja melihat Yara yang berboncengan bersama Mario.
Tak lama setelah mendengarkan cerita Jimmy, mereka mulai membuka buku, belajar. Namun, karena merasakan pusing Langit menenggelamkan wajahnya di lipatan yang ia taruh di atas meja. Setelah itu, Langit tidak mengingat apa pun.
"Waktu belajar kamu mengeluh pusing, lantas memejamkan mata. Sekitar tiga puluh menit kamu masih di posisi yang sama. Aku pikir kamu tidur dan hendak menyuruhmu untuk pindah saja di sofa atau ranjang. Tapi ketika aku membangunkan, kamu tak kunjung bangun, malah terjatuh. Papa yang kebetulan hendak keluar dan melihatmu jatuh langsung memeriksa. Lalu papa mengatakan kalau kamu pingsan."
Langit hanya menganggukkan kepala mendengar penjelasan Raihan.
"Aku khawatir karena kamu tiba-tiba pingsan. Begitu juga Jimmy dan Jaidan. Kamu tadi sempat bangun, tapi papa menyuntikkan sesuatu. Aku ngga tahu itu apa, papa hanya berkata kalau kamu membutuhkan waktu istirahat, jadi aku menyuruh Jimmy dan Jaidan untuk pulang karena hari sudah sore. Ah, iya ... aku sampai lupa," Raihan menepuk dahi, "aku harus menghubungi mereka karena kamu sudah bangun, tunggu sebentar ya, ponselku ada di bawah," sambung Raihan, keluar dari kamar tanpa menunggu jawaban dari Langit.
Melihat Cadey yang masih menatap jari telunjuknya, Langit tersenyum tipis.
"Apa rasanya sakit?" Cadey bertanya, menatap wajah Langit yang tampak pucat.
"Kamu mau mencobanya?"
Cadey menggelengkan kepala cepat. Anak itu hendak membuka mulut dan bertanya lagi. Namun, melihat sang papa yang datang membawa nampan steril serta stetoskop. Cadey memilih untuk bungkam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Bercerita (End)
Teen FictionDicari istri baru untuk ayah saya. Kriteria: -Baik hati dan tidak sombong -Tidak bisa masak pun tak apa, sebab uang ayah saya banyak. -Mau mencintai dan menerima ayah beserta buntutnya (saya) -Tidak perlu cantik, yang penting enak dipandang. -Janda...