Happy reading
Di malam harinya Langit terserang demam, Jagad yang duduk di kursi samping ranjang terus menggenggam tangan Langit dengan erat, memandang wajah anak itu yang terlihat sedikit memerah.
Jagad merutuki dirinya sendiri yang terlalu lama mengambil selimut, membuat Langit menunggu dan berujung melihat pasien henti jantung yang sedang ditangani oleh Dokter Cahya tadi sore.
Pasien itu kembali, tepat setelah menerima kejut jantung yang ke dua, dan tepat ketika Langit jatuh pingsan di pelukan Jagad. Beruntung, ada Dokter Megan yang datang membantu membawakan infus Langit, sehingga Jagad bisa langsung mengangkatnya, melupakan fungsi kursi roda yang sempat Langit gunakan.
Malam itu hujan turun deras, anginnya cukup kencang dengan gemuruh petir saling bersahutan, membuat Jagad semakin dilanda ketakutan. Mengeratkan genggamannya pada tangan Langit yang terasa hangat, Jagad mengembuskan napas perlahan.
Nenek Dwi yang duduk di tepi ranjang memijat kaki Langit dengan pelan, ikut mengembuskan napas melihat wajah Langit yang merona karena demam.
Tak lama pintu ruang rawat terbuka, menampilkan Dokter Megan dengan wajah lelah, serta jas dokternya yang sudah ditanggalkan, menyisakan baju rajut berwarna merah muda berlengan panjang.
Nenek Dwi yang melihatnya segera berdiri, tersenyum. "Kamu akan pulang, Dokter Mama?" tanya nenek Dwi, mengingat jarum jam sudah menunjukkan angka sembilan lewat lima belas menit.
Dokter Megan balas tersenyum, mengiakan. Hubungan mereka sekarang cukup dekat, sebab semenjak Langit dirawat, Dokter Megan akan datang satu jam sebelum jam kerjanya dimulai—membuatnya sering bertemu dan berada di satu ruangan bersama nenek Dwi, membicarakan banyak hal.
Mendengar perkataan sang mama, Jagad hanya bergeming, masih menatap Langit yang sudah tertidur sejak satu jam lalu.
"Bagaimana keadaannya?" Dokter Megan berjalan mendekati nenek Dwi. Ia baru bisa datang lagi kemari setelah kejadian tadi sore.
"Demamnya sudah lumayan turun."
"Syukurlah," ujar Dokter Megan, menatap Langit yang tertidur dengan mulut sedikit terbuka. Tatapannya beralih pada Jagad yang terlihat begitu khawatir.
Melihat keduanya, nenek Dwi berdeham pelan. "Mama akan ke kantin sebentar. Jagad, kamu menginginkan sesuatu? Nanti Mama belikan."
"Tolong belikan kopi saja, Ma." Jagad menjawab tanpa mengalihkan pandangannya.
Nenek Dwi mengangguk, mengambil dompetnya di atas meja. "Dokter Mama mau menitip juga?"
Dokter Megan menggeleng. "Ngga usah, Bu. Saya juga akan pulang sebentar lagi."
"Ah, begitu. Kalau begitu Mama titip mereka sebentar, ya." Nenek Dwi berjalan keluar. Dokter Megan hanya mengangguk, mengucapkan iya. Sudah terbiasa dengan nenek Dwi yang menyebut dirinya sendiri sebagai Mama di hadapannya.
Begitu mendengar suara pintu tertutup, Dokter Megan semakin mendekatkan diri dan duduk di tepi ranjang kiri Langit. Mengelus tangan yang terpasang jarum infus itu dengan pelan, merasakan hawa hangat menjalari tangannya.
Sedikit mencondongkan tubuhnya, Dokter Megan tersenyum, membuat lesung di kedua pipinya tercetak jelas, dan itu semua tak luput dari pandangan Jagad.
"Hey ... seperti biasa, aku kemari untuk berpamitan. Jam kerjaku sudah selesai, aku akan kemari lagi besok siang. Jaga dirimu baik-baik." Dokter Megan sedikit berbisik, menyibak rambut depan Langit yang mulai menutupi mata, dan lepek karena keringat.
"Kau akan pulang?"
Dokter Megan mengangguk, menatap Jagad.
"Tapi di luar sedang hujan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Bercerita (End)
Teen FictionDicari istri baru untuk ayah saya. Kriteria: -Baik hati dan tidak sombong -Tidak bisa masak pun tak apa, sebab uang ayah saya banyak. -Mau mencintai dan menerima ayah beserta buntutnya (saya) -Tidak perlu cantik, yang penting enak dipandang. -Janda...