17

1.9K 241 26
                                    

Happy reading

Sudah hampir satu Minggu Langit selalu ke rumah sakit setelah pulang dari sekolah dan sudah selama itu pula hubungannya dengan Dokter Megan semakin dekat. Tidak ada lagi kecanggungan di antara keduanya, mereka seolah-olah sudah mengenal begitu lama. Mungkin benar apa yang Dokter Cahya katakan, Dokter Megan cocok dengan Langit, dalam artian menjadi ibu sambungnya.

Hari ini—hari Sabtu, sekolah libur. Namun, alih-alih berada di rumah Langit justru berada di sekolah. Duduk di kursi yang berada di pinggir lapangan, menonton ketiga temannya yang sedang latihan basket bersama beberapa siswa.

Kalau saja Dokter Megan ada di rumah sakit pagi ini, Langit lebih memilih untuk pergi ke sana. Duduk di kursi tunggu, menunggu Dokter Megan selesai memeriksa pasiennya, atau pergi ke kantin—mengajak penjaga kantin untuk berbicara mengenai hal-hal mistis di rumah sakit. Akan tetapi, karena Dokter Megan masuk di shift siang, tidak ada gunanya juga Langit ke sana.

Langit bisa saja menunggu di rumah, tetapi karena nenek hari ini pulang, rumah menjadi sangat sepi, dan Langit tidak menyukainya.

Nenek mempunyai penginapan di luar kota, berdekatan dengan rumah, dan malam tadi nenek mendapatkan kabar kalau ada masalah di penginapannya. Mau tak mau nenek harus pulang meninggalkan cucu tersayang. Bahkan, tadi Langit datang ke sekolah bersama nenek serta mang Asep yang harus mengantarnya ke stasiun kereta.

Menatap Raihan yang tiba-tiba saja berbalik, tersenyum seraya melambaikan tangan, Langit terkekeh pelan, ikut melambai. Hingga lambaiannya harus terhenti sebab ada Mario yang tiba-tiba saja duduk di sampingnya.

"Lo ngga mau ikut basket juga, Lang?" tanya Mario setelah menenggak air mineral yang ia bawa.

Namun, alih-alih menjawab, Langit justru bertanya, "Ka Mario mau melihat jantung aku meledak?" Dengan wajah kesal.

Mario sontak terkekeh pelan. Ia tahu sepupu dari Yara ini memiliki jantung yang lemah dan itu baru diketahuinya ketika akan menjenguk Langit di rumah sakit waktu itu.

Setelahnya lengang. Cukup lama hingga akhirnya Mario kembali berkata, "Sorry dan makasih."

Langit mengernyit mendengarnya.

"Sorry karena waktu itu gue nahan lo pas mau ke UKS, dan makasih karena lo udah buat Yara mau jalan sama gue minggu ini ...," Langit mengangguk-angguk pelan, "walaupun jauh dari waktu yang disepakati," sambung Mario membuat Langit melirik sinis.

"Itu sulit, ya! Seharusnya Ka Mario bersyukur karena aku bisa bujuk ka Yara. Belum lagi harus berhadapan dengan papa. Memangnya Ka Mario mau minta izin langsung ke papa? Asal Ka Mario tahu, ya. Papa itu orang paling galak se-galaksi bima sakti." Langit bersungut-sungut.

Kakak kelasnya ini menyebalkan sekali. Langit sudah susah payah meminta izin kepada Kaindra agar mengizinkan Yara pergi bersama pemuda ini. Akan tetapi, lihatlah sekarang. Pemuda di sampingnya ini justru mengkritik Langit dengan alasan ketepatan waktu. Persetan dengan kesesuaian waktu yang disepakati, yang terpenting Langit tidak punya hutang lagi.

Mario yang melihat wajah kesal Langit terkekeh pelan. "Pokonya thanks buat usaha, lo," ucapnya. Berjalan ke tengah lapangan untuk bergabung bersama lainnya.

Langit yang melihat punggung Mario hanya bisa menatap kesal, lantas mengalihkan pandangan pada jam di pergelangan tangan yang hampir menunjukkan pukul setengah dua belas siang.

Menatap ke atas, Langit menghela napas melihat gulungan awan kelabu di sana. Tidak mengherankan sebenarnya, karena ini memang sudah memasuki musim hujan. Matahari siang tak sepanas biasanya sebab tertutup oleh awan hitam. Ini juga yang menjadi salah satu alasan kenapa latihan basket diadakan pada pagi hari, karena jika sore hujan akan turun secara tiba-tiba.

Langit Bercerita (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang