23

2.1K 236 43
                                    

Happy reading



Pukul setengah sebelas siang, itulah yang Dokter Megan lihat tatkala menyalakan ponselnya. Melirik Dimas yang sedari tadi sibuk memperhatikan buah-buahan di hadapannya, Dokter Megan menaruh ponsel ke dalam tas selempang.

Saat ini mereka sedang berada di salah satu supermarket yang terletak di ibu kota. Dokter Megan sengaja datang kemari untuk membeli beberapa buah, terlebih buah beri kesukaan Langit. Sementara Dimas hanya mengantarnya saja.

"Sebenarnya ini menyebalkan, Megan. Kamu baru mengenalnya selama satu bulan, tapi sudah memberikan ini itu. Sementara aku?" Dimas menunjuk dirinya sendiri. "Teman sekaligus sepupu kamu, ngga pernah dapat apa pun. Menyebalkan!" Dimas bersungut-sungut, meletakkan keranjang yang sedari tadi ia pegang di lantai.

Ya, Dimas sebenarnya bukan hanya teman Dokter Megan, melainkan juga sepupunya. Lalu untuk perkenalan waktu itu, Dimas sengaja melakukannya. Mengaku-ngaku sebagai calon suami Dokter Megan sudah sering ia lakukan. Hitung-hitung untuk mengukur keseriusan pria yang mendekati Dokter Megan, katanya.

"Jangan kekanak-kanakan, Dimas!" Dokter Megan berseru tertahan, mengambil keranjang di lantai, lantas menatap Dimas yang sudah berjalan entah ke mana, "ah, seperti kata Langit, pria tua itu benar-benar menyebalkan," sambung dokter Megan, tersenyum tipis mengingat perkataan Langit sekitar satu Minggu kemarin.

Setelah memasukkan beberapa apel ke dalam keranjang, Dokter Megan beralih ke tempat lain untuk mengambil beberapa cup buah beri. Dokter Megan berinsiatif membuatkan jus buah untuk Langit hari ini. Mengingat Jagad—ayah Langit mengatakan bahwa dia akan mengajak Langit ke rumah sakit hari ini, sepulang sekolah.

Beberapa menit kemudian Dokter Megan selesai. Begitu juga Dimas yang sudah kembali membawa keranjang berisi beberapa buah.

"Tumben kamu membeli buah, Dimas? Siapa yang menyuruhmu?" Dokter Megan bertanya seraya meletakkan keranjang buah di atas meja kasir. Dimas sedari tadi berdiri di sampingnya.

Bukan tanpa alasan Dokter Megan bertanya demikian, sebab sedari kecil mengenal Dimas, Dokter Megan hafal betul jika sepupunya itu tak pernah mau disuruh-suruh untuk belanja. Jangankan buah, membeli perlengkapan untuk dirinya saja terkadang dia malas, dan baru akan membeli jika produk yang dipakai sudah benar-benar habis.

Dimas berdeham sejenak. "Diam-lah, memangnya hanya kamu saja yang sedang mencoba menarik perhatian duda anak satu itu. Aku juga sedang berusaha menarik perhatian seseorang, Megan."

Dokter Megan hanya merotasikan bola matanya. Merasa jengah dengan perkataan Dimas. Padahal, sudah berkali-kali Dokter Megan mengatakan jika ia sedang tidak menarik perhatian siapa pun. Akan tetapi, sepupunya itu terus-menerus mengatakan demikian. Berkata jika Dokter megan sedang menarik perhatian Langit agar ayahnya tertarik padanya-lah, inilah, itulah, Dokter Megan jadi kesal sendiri.

"Kalau ada masalah dengan yang ini, aku ngga mau membantu. Apalagi berpura-pura menjadi kekasihmu hanya untuk membuat alasan agar kalian putus." Dokter Megan berkata kesal, seraya memberikan kartu kredit kepada kasir perempuan di hadapannya.

"Tenang saja, yang ini berbeda. Dia ngga seperti perempuan-perempuan yang aku kencani selama ini." Dimas meletakkan keranjang buah di atas meja kasir.

"Ya, ya, ya. Yang terakhir juga kamu mengatakan seperti itu. Tapi ternyata apa? Sama saja. Aku bahkan disumpahi oleh dia." Dokter Megan melirik sinis Dimas, mengambil kantung plastik berisi buah setelah memasukkan kembali kartu kreditnya ke dalam tas.

"Mba, minta satu plastik yang kecil, ya. Nanti tagihannya taruh ke situ saja." Dokter Megan menunjuk barang belanjaan milik Dimas.

"Katanya mau menarik perhatian, tapi alih-alih bunga, dia malah membeli buah. Ada-ada saja." Dokter Megan mencibir pelan, menggelengkan kepala sembari berjalan keluar setelah mengambil plastik kecil dari kasir.

Langit Bercerita (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang