25

2K 223 54
                                    

Happy reading

Langit menunduk memainkan jari-jemarinya, tak berani mengangkat kepala sebab sang ayah saat ini tengah berdiri di hadapan ranjang dengan tiang infus yang berada di sampingnya.

Tadi, setelah Dokter Megan pamit keluar sebab jam hampir menunjukkan pukul dua siang, Jagad tiba-tiba saja berdiri, menghampirinya dengan tatapan kesal. Lantas memarahi, berkata jika Langit tidak boleh berkata seperti itu lagi, atau Jagad nanti tidak akan mengizinkan Langit untuk datang ke rumah sakit ini—menemui Dokter Megan setiap hari.

Langit yang hendak protes hanya bisa menunduk begitu melihat tatapan tajam sang ayah, pun dengan wajahnya yang memerah. Ayah tampak kesal sekali, Langit tidak berani.

"Aku kan hanya berusaha, barangkali Dokter Mama mau sama duda lapuk." Langit bergumam pelan.

Jagad mendelik kesal. "Apa? Duda lapuk? Kamu anggap Ayah duda lapuk? Astaga!" Jagad menengadah. "Bisa-bisa aku mati muda," gumamnya.

Melihat ayahnya tampak frustasi, Langit berdeham pelan. "Ayolah Ayah ... coba sekali saja dengan Dokter Mama. Ayah pasti akan suka. Coba, ya?" Langit menatap penuh harap.

"Ngga! Sudah Ayah katakan sebelumnya, Ayah ngga akan menikah lagi." Jagad berjalan kembali ke arah ranjang, mendorong tiang infus.

"Ayah selalu seperti itu, padahal Ayah juga yang butuh."

"Ayah ngga butuh."

"Ayah butuh! Kalau tiba-tiba saja jantung aku berhenti berdetak, Ayah butuh seseorang untuk selalu bersama Ayah!"

Langkah Jagad seketika terhenti dengan tangan mencengkeram tiang infus, membuat otot-otot di lengannya timbul. Langit yang melihat punggung sang ayah terdiam. Ia tahu ayahnya marah, tetapi ia tidak mau mengalah. Ayahnya harus sadar jika dirinya membutuhkan seseorang yang sehat. Seseorang yang bisa menjadi tempat bersandar dan seseorang untuk bertukar pikiran.

"Ayah ngga akan membiarkan itu."

"Ayah memang ngga akan membiarkan, tapi bagaimana jika Tuhan yang menginginkan?"

Suara Langit terdengar bergetar, membuat Jagad terdiam.

"Sebelum itu terjadi, Ayah akan memberikan jantung Ayah kepadamu, dengan begitu kamu akan tetap hidup."

"Lalu Ayah akan meninggalkanku? Itu pemikiran gila. Aku akan sangat membenci Ayah ... jika Ayah melakukan hal itu." Langit menyeka pipi, menatap punggung lebar sang ayah yang membelakanginya.

"Berjanjilah untuk tidak memberikan apa pun." Langit kembali menyeka pipi, mengatur pernapasan yang tiba-tiba saja terasa sesak. "Berjanjilah kalau Ayah ngga akan memberikan satu organ pun kepadaku. Berjanjilah kalau Ayah ngga akan memberikan izin kepada orang-orang terdekat ku untuk menjadi pendonor."

Jagad menunduk, membiarkan air matanya mengalir di kedua pipi. Ini adalah pembahasan yang tidak pernah ada akhir. Semuanya tampak salah. Sekarang ia tidak tahu harus bagaimana. Mendengarkan Langit? Mengikuti semua keinginannya? Jagad bisa melakukan semua itu, tetapi tidak untuk menikah lagi dan menjadi pendonor. Jagad bahkan secara diam-diam telah melakukan berbagai tes kecocokan. Hanya saja, jika Jagad ingin mendonorkan jantungnya, ia harus dalam keadaan—

"Ayah ... napas ku sesak."

Demi mendengar itu, Jagad seketika menoleh dan mendapati Langit yang berusaha mengatur napas. Tak membuang-buang waktu lagi, Jagad segera menekan tombol, memanggil perawat.

"Bernapas pelan-pelan." Jagad mendekati ranjang, hendak membantu Langit untuk duduk. Namun, karena tangannya ter-infus pergerakan Jagad terbatas.

Merasa kesal, Jagad pelan-pelan membuka transparent film dressing di punggung tangan. Meringis tatkala tangan yang satunya mulai melepaskan jarum infus. Begitu selesai, ia langsung menaruh jarum tersebut di atas nakas. Lantas menggapai Langit, mendudukkan anak itu, bersandar pada dadanya.

Langit Bercerita (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang