3

4K 319 38
                                    

Happy reading


Langit membuka mata perlahan, mengerjap-ngerjap karena merasa buram. Dirasa penglihatan mulai jelas, ia Langit menatap sekitar. Ah, ia sudah berada di kamar sekarang. Entah apa yang terjadi ketika pulang tadi, yang jelas Langit pasti mendadak pingsan lagi. Itu sudah biasa terjadi ketika Langit kelelahan atau setelah melakukan kegiatan fisik secara berlebih. Padahal seingatnya tadi ia hanya berlari, tetapi kenapa sampai pingsan begini?

Mengembuskan napas perlahan, Langit melirik jam weker di atas nakas. Pukul enam sore, itu berarti ayah sudah pulang. Atau mungkin ayahlah yang membawanya ke kamar? Entahlah, Langit tidak ingin memikirkan. Kepalanya selalu merasa pusing setiap kali berpikir hal macam-macam.

Meraba tubuhnya menggunakan tangan, Langit baru menyadari jika seragam sekolah masih ia pakai lengkap dengan rompinya. Merasa malas untuk berjalan, Langit memilih memejamkan mata, hendak tertidur kembali. Namun, baru saja terpejam pintu kamar tiba-tiba saja dibuka, menampilkan Jagad yang membawa nampan berisi makan malam serta obat.

Merasakan kehadiran Jagad yang berjalan pelan dan berdiri di samping ranjang, Langit bergeming, tetap memejamkan mata. Hingga merasakan kasur yang ia tiduri bergerak karena Jagad duduk di sampingnya.

"Bangun ... kamu belum makan."

Suara berat Jagad langsung menyapa, tetapi Langit masih di posisi sama. Hingga ia merasakan tangannya ditarik pelan sampai akhirnya terduduk sempurna.

"Bangun, Langit."

Melihat mata Langit yang terus terpejam, Jagad mengembuskan napas panjang. Mengambil piring yang ia letakkan di atas nakas, menyendok sayur berwarna hijau, berkata A agar Langit membuka mulut, lalu menyuapinya sedikit demi sedikit.

Butuh waktu kurang dari tiga puluh menit sampai Langit menghabiskan makan malamnya. Kini, Langit juga sudah membuka mata. Menerima gelas yang diberikan Jagad, Langit meminum airnya hingga tersisa setengah gelas.

"Ada yang sakit?"

Mendengar pertanyaan sang ayah, Langit hanya menggeleng pelan, meletakkan gelas di atas nakas.

"Kamu ngga bohong?"

Lagi-lagi Langit menggeleng, mendengus. Ia tidak suka jika ayah sudah cerewet seperti ini. Langit bukannya tidak suka diperhatikan, hanya saja melihat wajah khawatir ayah, ia sangat tidak menyukainya.

Bersandar pada kepala ranjang, Langit menatap Jagad yang masih melihatnya dengan tatapan khawatir.

"Kita ke rumah sakit, ya?"

Langit kembali menggeleng ribut. "Aku baik-baik saja, Ayah. Sungguh ... lagi pula kita sudah ke rumah sakit Minggu lalu, kenapa harus ke sana lagi?"

Kenapa ayahnya ini tidak percaya sekali? Padahal Langit sudah berkata tidak apa-apa. Ia tidak mau ke rumah sakit, tempat itu menyebalkan, Langit tidak menyukainya. Belum lagi, besok ada misi yang harus dituntaskan bersama teman-temannya, dan Langit tidak mau menunda hanya karena harus berdiam diri di rumah sakit seperti biasa.

Di saat Langit sedang memikirkan cara agar sang ayah percaya bahwa dirinya baik-baik saja, Jagad justru kembali mengembuskan napas panjang, mengangkat tangan, meletakkannya tepat di dada kiri sang anak.

Langit yang mendapat perlakuan tersebut seketika tersentak, mengerjap pelan. Begitu merasakan elusan tangan sang ayah, Langit tersenyum kecil, memegang tangan besar milik ayahnya.

"Aku baik-baik saja ...."

Kali ini Jagad mengangguk pelan, berusaha mempercayai ucapan sang anak. "Kalau merasakan sesuatu yang aneh langsung kasih tahu, Ayah. Mengerti?"

Langit Bercerita (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang