19

2K 236 26
                                    

Happy reading



Awal Desember, hujan mengguyur ibu kota dengan intensitas sedang, dan seperti pada awal bulan lainnya, Langit akan datang ke rumah sakit untuk memeriksa keadaan jantungnya.

Merapatkan jaket yang dipakai, Langit duduk diam di sofa ruang tengah, menatap sang ayah yang saat ini sedang memeriksa beberapa berkas kantor di tangannya. Melihat itu, Langit jadi teringat perkataan sang nenek yang mengatakan jika ayahnya adalah orang yang gila kerja.

Langit tak mengelak, sebab ayahnya benar-benar terlihat seperti itu saat ini. Bukannya segera berangkat ke rumah sakit, mereka justru masih berdiam di sini.

Sebenarnya sudah tidak heran bagi Langit melihat ayah yang sibuk seperti ini. Apalagi ini hari Jum'at, bukan hari libur. Jelas pekerjaan ayah sangat menumpuk.

Melihat ayah yang kembali menuju ruang kerja, Langit mengembuskan napas pelan. Ah, ia merindukan Dokter Mamanya.

Berbicara tentang Dokter Mama, sudah lima hari Langit tak bertemu dengannya. Lebih tepatnya tidak bisa menemui Dokter Megan, sebab sepulang dari kafe waktu itu Langit terserang demam dan Jagad tidak mengizinkan keluar. Ketika hari Senin, seperti biasa setelah pulang dari sekolah ia akan ke rumah sakit. Namun, begitu sampai Suster Maria justru memberi kabar jika Dokter Megan masuk kerja di pagi hari, jelas Langit tidak bisa menemui.

Akan tetapi, hey! Jika Dokter Megan masuk shift pagi, itu berarti Langit bisa bertemu dengannya hari ini. Mengingat itu Langit sontak berdiri hendak menghampiri Jagad. Namun, melihat Jagad yang sudah keluar sembari membawa beberapa berkas Langit langsung menyeretnya untuk keluar dari rumah.

"Hey! Kenapa buru-buru sekali?" Jagad bertanya heran, menatap sang anak yang menyeret tangannya, berjalan cepat.

"Kita harus ke rumah sakit, Ayah. Ayah lama sekali!"

Mendengar hal tersebut, Jagad hanya pasrah tangannya ditarik oleh Langit. Begitu tiba di teras dan melihat keadaan luar yang masih hujan, Jagad langsung menarik tangan sang anak hingga langkah Langit mundur dan hendak terjatuh jika saja Jagad tak sigap menahan bahunya.

"Hujan. Tunggu di sini, Ayah ambil payung dulu."

"Jangan lama-lama!"

Jagad hanya bergumam kembali memasuki rumah. Jagad tidak tahu apa yang membuat Langit sangat bersemangat ingin ke rumah sakit. Padahal, biasanya anak itu akan membuat alasan dan berpura-pura tidur agar tidak pergi ke sana.

Tak lama kemudian, Jagad kembali keluar dengan payung hitam berukuran sedang di tangannya. Membuka payung tersebut, Jagad segera mendekap Langit dari samping. Namun, sebelum menuju mobil yang sudah terparkir di halaman depan sedari subuh, Jagad menoleh ke arah gazebo samping. Di mana terdapat mang Asep yang sedang meminum kopi panas ditemani gorengan buatan istrinya—karena kebetulan rumah mang Asep tak jauh dari kediaman Jagad.

"Mang! Nanti gerbangnya langsung tutup, ya!"

"Siap, Pak!" Pria yang usianya mendekati lima puluh tahunan itu mengacungkan jempolnya yang penuh minyak, membuat Langit terkekeh pelan, dan balas memberikan dua jempol untuk mang Asep.

Begitu Jagad berjalan, Langit menyempatkan diri melambaikan tangan kepada mang Asep yang dibalas kepalan tangan ke atas, bermaksud memberikan semangat. Langit hanya tertawa, berjalan cepat mengikuti langkah sang ayah hingga akhirnya ia masuk ke mobil, begitu juga Jagad yang duduk di kursi kemudi.

Melipat payung, menaruhnya di kursi belakang. Jagad segera menjalankan mobilnya keluar dari pekarangan rumah menuju rumah sakit dengan kecepatan sedang.

***

Sedikit membutuhkan waktu lebih lama agar Langit bisa sampai di rumah sakit, sebab Jagad begitu hati-hati dalam mengendarai. Kini Langit sudah terduduk di kursi, menunggu giliran untuk melakukan pemeriksaan.

Langit Bercerita (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang