14

2.3K 246 42
                                    

Happy reading


Ada yang berbeda pagi ini. Jika biasanya Langit hanya akan sarapan bersama sang ayah, tetapi hari ini ia sarapan bersama seluruh keluarga. Senang? Tentu saja. Langit bahkan tak henti-hentinya tersenyum sedari tadi, membuat Yara yang baru saja duduk di kursi sampingnya mengernyit heran. Menempelkan punggung tangan di dahi Langit, memeriksa suhu tubuh anak itu. Namun, begitu merasakan suhu tubuh sepupunya normal, Yara menggeleng pelan.

Sementara yang mendapat perlakuan hanya menepis tangan Yara pelan, menatap sang nenek yang tengah membawa sepiring roti gandum utuh serta nasi goreng yang diletakkan di hadapan Langit serta Yara.

Melihat roti di hadapannya, Langit mengembuskan napas panjang setelah melirik nasi goreng yang ada di piring Yara.

"Kenapa, Langit?"

Mendapat pertanyaan dari sang ayah yang tengah memakan roti sepertinya, Langit tersenyum, menggeleng pelan, mulai memakan roti gandum di piringnya dengan cepat.

"Nanti Langit berangkat sama Papa, ayah kamu ada meeting pagi ini," ujar Kaindra, setelah menelan nasi goreng yang dimakannya.

Langit hanya mengangguk-angguk dengan mulut penuh roti. Matanya menatap ke arah sang nenek dan mama Titi yang juga mulai sarapan di hadapannya.

Diam-diam Langit tersenyum kembali. Ia mulai berpikir, andai saja ada mama dan sang kakek, mungkin akan lebih ramai lagi. Tak ingin memikirkan hal yang tidak mungkin akan terjadi, Langit menggeleng pelan. Memakan sarapannya dengan cepat.

Tak butuh waktu lama untuk menghabiskan potongan roti gandum serta nasi goreng, kini Yara serta Langit sudah berada di dalam mobil, menunggu Kaindra yang masih berada di dalam rumah.

Jagad sudah lebih dulu berangkat beberapa menit lalu, dan seperti biasa ia akan memberikan banyak pesan kepada Langit yang hanya akan diangguki oleh anak itu.

Lima menit berlalu, Kaindra akhirnya datang. Memasuki mobil, meletakkan tas kantor di samping kursi yang Langit duduki sebab Yara duduk di depan.

Tanpa berlama-lama lagi, Kaindra segera melajukan mobilnya meninggalkan pekarangan rumah. Langit yang melihat mang Asep di pinggir gerbang setelah membukanya, melambaikan tangan, tersenyum. Yang dibalas lambaikan tangan juga, tak lupa tangan mengepal mang Asep memberikan gestur semangat. Langit tertawa kecil melihatnya.

"Obatnya sudah kamu bawa, Langit?" Kaindra bertanya, membuat Langit yang sedari tadi melihat keluar jendela mobil segera menatapnya, bergumam pelan.

"Kakak ngga ada yang ketinggalan?" tanya Kaindra kepada Yara, yang dibalas gelengan.

"Ngga ada, Pa."

Setelahnya, tidak ada percakapan penting. Mereka mengisi perjalanan menuju sekolah dengan topik pembicaraan lebih santai, disertai keributan yang Langit serta Yara ciptakan tentunya. Kaindra sesekali menimpali. Melerai. Takut-takut jika yang kecil akan merasa kesal dan emosi, itu tidak baik untuk kesehatannya.

Sekitar lima belas menit mereka akhirnya sampai di sekolah. Yara segera turun setelah menyalami Kaindra, sementara Langit masih berada di dalam, melihat sekitar. Kaindra yang menoleh dan hendak menyuruh Langit bersalaman, mengernyit heran.

"Langit, ayo!"

Yara yang sudah berada di luar mobil berseru, menatap Langit yang justru melihat ke sana-kemari dari jendela mobil. Menatap jam di pergelangan tangan, Yara memutuskan untuk pergi lebih dulu setelah melihat salah satu temannya berjalan memasuki area sekolah.

"Apa yang kamu cari, Langit?" tanya Kaindra setelah melihat putri satu-satunya sudah lebih dulu pergi.

Langit seketika menoleh, tersenyum kikuk. "Ngga ada. Langit sekolah dulu, Papa." Anak itu menyalami Kaindra, kemudian keluar dari mobil setelah memastikan semuanya aman.

Langit Bercerita (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang