"Ahk! Sakit woy!" teriak Nancy kesakitan. Aiba hanya menatapnya dingin dan terus mencengkram tangan kanan Nancy."Lepasin adik gue," pinta Oliver. Ia tidak tahan melihat wajah adiknya kesakitan.
"Salah dia sendiri, bukan?" balas Aiba bertanya.
"Gue tau, tapi salah dia duluan," balas Oliver lagi. Aiba mendengus mendengar ucapan Oliver.
"Lo pikir gue gak tau semuanya?" tanya Aiba menatap Oliver tajam. Oliver terdiam mendengar ucapan Aiba.
"Lo mau dapet bagian juga?" sambung Aiba lagi. Oliver benar-benar tidak bisa berkata-kata.
"Udah cukup! Bubar lo semua!" pinta Zion. Ia sudah menahan diri sejak tadi.
"Gue gak bisa berkutik," balas Ian. Zion menatap Ian bingung.
"Why?" tanya Zion bingung.
"Di satu sisi gue sahabat Aiba dan di sisi lain, gue sahabat lo juga!" jawab Ian.
"Gue paling gak suka, saudara gue disentuh," sambung Ian lagi.
"Oliver!" ucap Zion.
"Zion! Aku minta maaf," balas Oliver. Zion tahu, masalah ini timbul, karena Oliver.
"Jangan sama gue! Lo tau kalau Naisa itu adeknya Jean. Ngapain lo gangguin dia," balas Zion.
"Gak! Gak gitu. Aku gak gangguin dia," balas Oliver.
"Ngapa sih, lo, Kak. Perasaan lo gak dibales, masih aja mau sahabatan sama mereka!" ucap Nancy kesal. Oliver menatap tajam adiknya.
"Ini terakhir kalinya gue peringatan lo, Nancy! Pulang atau gue seret sampai rumah?!" ucap Oliver memberi pilihan dengan tatapan menusuk kepada adiknya. Ia sudah cukup sabar menahan emosinya kepada Nancy.
"Fine! Gue pulang!" balas Nancy keras dan berlalu dari sana.
"Ck! Hidup lo pada gak bakal tenang! Liat aja ke depannya!" tekan Talia dalam dan perlahan berlalu dari sana. Kini hanya tinggal Aiba, Zion, Ian, Jean, Oliver, Naisa dan Irene.
"Masih gak mau damai lo?" tanya Zion ketus kepada Aiba.
"Gue damai? Belum pernah ada yang damai sama gue!" jawab Aiba tak kalah ketus.
"Kalau gitu, gue orang pertama!" balas Zion.
"Oliver, ini peringatan pertama dan terakhir buat adek lo. Kalau sampai berani sentuh adik gue lagi, gue berhenti jadi sahabat lo! Karena adek gue yang utama!" ucap Jean dan berlalu dari sana bersama Naisa.
"Bentar, Kak. Kita harus bawah Kak Aiba juga," pinta Naisa. Jean dan Aiba, tidak seakrab Ian jika bersama Aiba. Karena, Jean lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Zion dan Naisa.
"Ada Ian," balas Jean singkat. Naisa dengan berat hati meninggalkan Aiba yang masih belum tenang.
"Irene pulang juga," pinta Aiba menatap Irene lembut. Irene hanya menganggukkan kepalanya dan berlalu dari sana bersama Ian. Diantara Naisa dan Irene, perhatian Aiba lebih kepada Irene. Tetapi, bukan berarti ia tidak menyayangi Naisa.
"Gue bakal balik lagi," ucap Ian berbalik, setelah beberapa meter dari Aiba. Aiba hanya diam mendengar ucapan Ian.
"Iren, bisa pulang sendirikan, Dek?" tanya Ian, setelah mereka sampai di parkiran.
"Bisa, Kak. Tenang aja yang penting sekarang, Kak Aiba harus pulang!" jawab Irene.
"Yaudah, bawah mobilnya pelan-pelan. Nanti kakak pulang bareng Aiba," balas Ian mengelus pelan kepala adiknya. Setelah mobilnya tidak terlihat lagi, Ian langsung kembali ke taman sekolah, di mana Aiba, Zion dan Oliver berada.
"Lo mau ini berkepanjangan atau gimana?" tanya Zion.
"Gue gak terima Naisa ditindas sama dia. Gue pikir lo sayang sama dia, karena Naisa selalu cerita tentang lo. Tapi nyatanya, lo gak peduli sama sekali!" jawab Aiba. Zion yang mendengar ucapan Aiba, mulai terpancing emosinya.
"Tau apa lo?!" balas Zion.
"Hari ini gue baru tau!" balas Aiba pula.
"Zion udah!" pinta Oliver.
"Oliver, mending lo ngaku aja, Aiba gak bakal berhenti, sebelum lo ngaku salah!" pinta Ian yang datang dengan nafas yang tersenggal-senggal. Ia takut Aiba melakukan sesuatu yang membahayakan seseorang. Jadi, ia berlari dari parkiran hingga, taman sekolah.
"Ian," ucap Zion pelan.
"Sorry, Kha. Tapi, gue bisa!" balas Ian. Ia mengerti apa yang sedang Zion pikiran saat ini. Tetapi, Aiba lebih penting.
"Pilih aja. Lo ngaku salah atau adek lo gak bakal hidup tenang?" ucap Aiba memberi pilihan. Oliver berpikir keras mendengar perkataan Aiba. Bagaimana pun, ia tidak bisa terlihat buruk di depan Zion. Tetapi, nyawa adiknya juga penting.
"Gue hitung sampai 3, kalau lo gak pilih, gue bakal usik hidup adik lo, sampai dia sendiri nyerah!" tekan Aiba.
"Lo apa-apaan, sih? Gangguin ketenangan orang!" balas Zion.
"1!" ucap Aiba mulai menghitung. Ia tidak peduli dengan perkataan Zion.
"Ngaku aja, Li!" pinta Ian pula.
"2!" lanjut Aiba lagi. Sudah cukup, Zion sudah tidak tahan.
"Ti--"
"Lo! Hidup tapi gak nyata! Gak punya pemikiran. Hidup lo penuh akan sepi!" tekan Zion tidak tahan lagi. Aiba menghentikan hitungannya, saat mendengar ucapan Zion. Ian, 'pun ikut terkejut mendengar ucapan Zion.
Bugh!
"Ahk!" jerit Oliver terkejut.
Satu pukulan mendarat dengan sempurna di pipi kanan Zion. Zion yang tidak siap, terkejut bukan main. Ian pun ikut terkejut.
"Tau apa lo tentang gue?!" tanya Aiba dengan suara rendah, serta tatapan dingin yang langsung menatap mata Zion.
"Lo, Lemah!" balas Zion. Ia memasang senyum miringnya dan terus memancing emosi Aiba.
"Zion!" ucap Ian terkejut.
"Gue ngaku salah! Gue salah! Udah!" ucap Oliver cepat. Ia tidak peduli lagi, ia melihat situasi saat ini mulai mencekam. Apalagi melihat tatapan Zion yang perlahan berubah.
"Lo telat!" balas Aiba menekan kata-katanya. Zion hanya tersenyum miring mendengar ucapan Aiba.
"Gue minta maaf!" ucap Oliver lagi.
"Bukan gue yang buat hidup lo susah nantinya, tapi adik gue. Tunggu aja lo!" balas Aiba menatap Oliver dalam.
"Dan buat lo. Hidup lo gak bakal tenang, selama gue masih ada!" sambung Aiba menatap Zion dingin.
"Lo pikir, hidup lo bakal tenang? Gak mungkin!" balas Zion pula.
"Usha Aiba Muller!" sambung Zion menekan nama panjang Aiba.
'Gue gak bakal lepasin lo, liat aja!' batin Zion.
"Oliver, ayok balik!" ucap Zion menarik tangan Oliver untuk pulang.
"Setelah hari ini, gue jamin lo gak bakal berhenti ketemu sama gue!" ucap Zion menekan kata-katanya dan berlalu dari sana bersama Oliver. Ian merasa aman sekarang. Untung saja tadi Oliver mengalihkan perhatian Aiba. Hanya tinggal menenangkannya sedikit lagi.
"Ian, gue kesepian, ya?" tanya Aiba pelan. Matanya menatap lekat langit yang mulai ditutupi awan gelap.
"Enggak dong, 'kan ada Ian, ada Iren, ada Naisa juga. Masa kesepian," jawab Ian hati-hati. Ia tahu betapa rapuh Aiba. Setiap kali ingin menenangkan gadis yang ada di sampingnya ini, ia harus memilih kata-kata dengan tepat.
"Cuman lo yang ngerti gue," ucap Aiba tersenyum getir.
"Syutt! Udah. Ayok pulang," ajak Ian lembut.
"Gue gak mau pulang. Gue mau ke rumah sakit. Ibu akan keluar hari ini," balas Aiba.
***
"Aku memang tidak terlahir dari rahim yang sama dengannya. Tetapi, aku dan dia sudah seperti saudara!"
~ Ian Ash ~
![](https://img.wattpad.com/cover/354667449-288-k939617.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ZION (HIATUS)
Fiksi Remaja"Aku, Usha Aiba bersumpah dengan menetesnya darah ini, jika Ayah menikah lagi! Aku bukan anak Ayah dan semua aset perusahaan dan harta warisan akan berbalik nama menjadi Usha Aiba! Bukan lagi atas nama Donald Muller ataupun Yolanda Quinn!" ucap Aiba...