Malam harinya, Jean benar-benar pergi ke apertemen adiknya. William Allison dan Betty Jean, merupakan orang tua Jean, Sabrina dan Naisa. William berkerja sebagai Pilot dan Ibunya mempunyai sebuah butik yang terkenal di New York. Karena Omanya adalah orang asli dari New York, otomatis Ibunya sering bolak balik dari negara satu ke negara yang satunya."Sabrina!" panggil Jean saat sudah masuk ke dalam apartemen adiknya. Apartment milik Sabrina adalah, Apartemen pemberian Omanya, saat ulang tahunnya yang ke 17 tahun. Jean tidak dapat melihat apa pun, karena apertemen adiknya saat ini sangat gelap. Hanya terdengar suara air dari wastafel yang dinyalakan.
Karena khawatir, Jean lansung menyalakan lampu dan menjadi keberadaan adiknya. Karena apartment Sabrina cukup besar, ia sedikit berlari dan mengecek seluruh ruangan. Jean menghembuskan nafasnya lega, saat menemukan adiknya tengah berdiri di depan balkon kamarnya.
"Ngapain? Udah malem, masuk," ucap Jean sambil mendekat ke arah Sabrina. Sabrina hanya diam dan menikmati angin malam yang berhembus.
"Sabrina," panggil Jean sambil menepuk pundak adiknya itu.
"Hmm, apa, Kak?" tanya Sabrina membuka matanya.
"Masuk, udah malem," jawab Jean.
"Gak mau," balas Sabrina.
"Dengerin Kakak, masuk," ajak Jean lagi.
"Apa sih, Kak! Rina gak mau, ya gak mau!" balas Sabrina. Jean menghembuskan nafasnyan pelan dan kemudian memeluk adiknya itu. Sabrina yang merasakan pelukan kakaknya itu, tiba-tiba menitihkan air matanya.
"Mommy yang buat Rina kayak gini!" ucap Sabrina terisak di dalam pelukan Jean. Jean hanya tersenyum kecut dan mengusap lembut kepala adiknya.
"Mommy yang buat Rina jadi jahat!" sambung Sabrina lagi.
"Iya, sabar, ya," ucap Jean lembut sambil terus mengusap kepala adiknya.
"Maafin Mommy, ya," sambung Jean.
"Gak mau! Rina gak mau!" balas Sabrina.
"Terus, Rina mau apa?" tanya Jean melepaskan pelukannya dan menatap adiknya.
"Sabrina pengen, Mommy juga sayang sama Rina, gak cuman Naisa sama Kak Jean, aja," jawab Sabrina.
"Kalau gitu, yaudah balik ke rumah, ya," ajak Jean. Sabrina yang mendengar itu, langsung menggelengkam kepalanya cepat. Lebih baik ia hidup sendiri di apartmentnya, dari pada harus kembali ke rumahnya. Sabrina akan kembali ke rumahnya, jika Daddynya, William pulang.
"Yaudah, kalau Daddy pulang, gimana?" tanya Jean. Jean tahu, Sabrina akan kembali, jika Daddynya sudah berada di rumah. Jika hanya ada Mommynya, Sabrina tidak akan pernah menginjakkan kakinya di rumah.
Di tempat yang berbeda, Zion dan Oliver pergi menuju apertemen Ian terlebih dahulu. Sesuai yang dikatakan Oliver tadi.
Zion menekan bel di samping pintu apartment Ian. Tidak lama setelahnya, Ian membukakan pintu apartmentnya. Untung saja hari ini Ian pulang ke apartmentnya. Jika tidak, maka kedatangan Zion dan Oliver hanya sia-sia.
"Lo gak papa 'kan?" tanya Zion setelah mereka bertiga duduk di ruang tengah.
"Gue udah baikan. Cuman Iren belum, gue gak bisa tinggalin dia, apalagi Aiba," jawab Ian. Zion tahu, jika Ian dan Aiba adalah sahabat. Zion juga dekat dengan Irene, tetapi tidak sedekat Naisa dan Zion.
"Owh gitu, bagus deh kalau udah baikan. Tetap jaga kesehatan lo, cafe lo sementara gue yang urus," balas Zion.
"Ahk iya, makasih," ucap Ian. Ian tidak hidup muda seperti sahabat-sahabatnya. Ia berpisah dengan orang tuanya serta satu adiknya yang lain, karena perbuatan orang tuanya. Adik bungsunya terpaksa harus ikut bersama orang tuanya. Ia mendirikan cafenya sendiri, dari hasil tabungannya selama ini. Karena sejak kecil ia dan Irene suka menabung. Lagi pula dari kecil juga mereka hidup layak. Namun, semuanya berubah, ketika Ian mengetahui perbuatan Ayah dan Ibunya.
"Gak masalah," jawab Zion.
"Kalau lo butuh teman cerita, gue bisa kok. Dari pada semuanya lo pendam sendiri," ucap Oliver. Ian hanya tersenyum membalas ucapan Oliver. Teman cerita? Ia sudah tidak percaya lagi tentang seperti itu. Tidak ada yang benar-benar bisa menjadi tempatnya bercerita kecuali orang yang ia percaya.
"Yaudah, kapan lo bisa masuk sekolah?" tanya Zion. Karena, menurut Zion ada yang kurang jika salah satu sahabatnya tidak ada di dekatnya.
"Gue udah bisa masuk besok," jawab Ian.
"Syukur, dah," balas Zion.
"Btw, Jean mana?" tanya Ian. Ia bingung, karena Jean tidak ada bersama Zion dan Oliver. Oliver yang sejak tadi terdiam pun angkat bicara. "Jean katanya gak bisa ikut. Dia ada urusan."
"Owh gitu," balas Ian.
Ketiganya pun berbincang dengan santai, hingga dering ponsel Ian berbunyi dan mengalihkan pandangan mereka bertiga. Ia bangkit dari duduknya dan mengangkat teleponnya.
"Halo!"
...
"Ehk! Sekarang? Yaudah gue ke sana sekarang!"
...
"Oke, pasti!" balas Ian dan sambungan teleponnya pun terputus. Zion dan Oliver menatap Ian yang buru-buru mengambil kunci mobilnya.
"Lo mau ke mana?" tanya Oliver bingung. Ia dan Zion juga bangkit dari duduknya.
"Gue harus pergi sekarang. Sorry, ya," ucap Ian buru-buru.
"Owh gitu, yaudah, hati-hati lo," balas Zion. Zion dan Oliver pun keluar dari apertment Ian terlebih dahulu. Setelah itu, disusul oleh Ian. Ketiganya pun berpisah di parkiran. Ian yang langsung pergi menuju kediaman Muller, lalu Zion yang mengantarkan Oliver pulang.
Setelah beberapa menit menempuh perjalanan, akhirnya Ian sampai di rumah Aiba. Di ruang tengah, sudah ada Donald, Aiba, Mahen dan Irene. Mereka berkumpul di ruang tengah, sebelum Mahen kembali ke Inggris.
"Udah semuanya? Ayo berangkat!" ajak Donald. Semuanya pun berdiri dan langsung menuju halaman depan rumah. Di mana dua mobil sudah siap untuk mengantar mereka pergi.
Sejak siang tadi, Aiba tidak pernah jauh dari Mahen. Mahen pun tidak masalah, justru ia merasa tidak enak, karena meninggalkan Aiba.
"Aiba, libur nanti ke Inggris, ya," ucap Mahen kepada Aiba yang bersandar padanya. Mahen, Irene dan Aiba berada di satu mobil, lalu Donald dan Ian juga berada di satu mobil yang lain.
"Pasti, kangen sama Oma juga," balas Aiba.
"Kak Mahen, kalau udah lulus kuliah, tinggal di sini aja, ya," pinta Irene pula. Mahen terkekeh mendengar ucapan Irene. Ian, Aiba dan Irene, tidak ada bedanya baginya. Walaupun Ian dan Irene hanya sahabat Aiba, tetapi ia juga menganggapnya sebagai adiknya, layaknya Aiba.
"Doain aja, ya," balas Mahen sambil mengusap lembut kepala Irene. Aiba hanya menutup matanya dan terus bersandar pada Mahen. Dalam hati, Mahen tidak tega meninggalkan ketiganya. Namun, cutinya sudah habis dan ia harus masuk dua hari lagi.
Setelah beberapa menit, akhirnya mereka sampai di bandara. Semuanya mengantar Mahen sampai pesawatnya lepas landas. Aiba hanya menatap dalam pewasat yang perlahan menjauh itu. Beberapa menit sebelum Mahen pergi, ia sempat berbicara dengan Ian. Ia juga memeluk Aiba dan Irene, serta pamit kepada Donald.
***
"Saat ini memang sulit. Tetapi, ke depannya akan lebih sulit lagi. Jadi, kalian harus bisa, adik-adikku!"
~ Mahen ~

KAMU SEDANG MEMBACA
ZION (HIATUS)
Jugendliteratur"Aku, Usha Aiba bersumpah dengan menetesnya darah ini, jika Ayah menikah lagi! Aku bukan anak Ayah dan semua aset perusahaan dan harta warisan akan berbalik nama menjadi Usha Aiba! Bukan lagi atas nama Donald Muller ataupun Yolanda Quinn!" ucap Aiba...