Gedung IPA

10 7 0
                                    

Keesokan harinya, Aiba, Irene dan Ian sudah berangkat ke sekolah. Aiba kembali memulai dari bawah. Dimulai dari menata hatinya, pikiran dan perasaannya. Sejak kembali dari apertemennya, ia tidak pernah berbicara kepada Ayahnya, kecuali ia ditanya, barulah ia menjawab.

"Huwa! Kak Aiba! Akhirnya ke sekolah juga," heboh Naisa dan langsung berlari ke arah Aiba dan memeluknya erat. Aiba yang baru saja sampai dan memarkirkan mobilnya, langsung terkejut mendengar suara Naisa. Hampir saja ia terjatuh saat Naisa langsung memeluknya.

"Nai! Pelan-pelan," ucap Irene memperingati. Ia juga terkejut, saat melihat Aiba yang hampir saja terjatuh.

"Gak papa kok, Ren," balas Aiba.

"Ehk! Iya maaf, Kak," balas Naisa. Ia terlalu senang saat melihat Aiba. Jadi, ia reflex berlari dan langsung memeluknya.

"Gak papa kok, gak papa," jawab Aiba mengusap pelan kepala Naisa.

"Ehk! Iya, Iren!" panggil Naisa. Karena sudah terlalu akrab, Naisa tidak memanggil Irene dengan sebutan Kakak di depan.

"Why?" tanya Irene yang belum bersemangat. Ia sebenarnya masih butuh waktu untuk keluar. Namun, ia juga tidak bisa terpuruk untuk waktu yang lama. Aiba saja sudah memutuskan untuk maju, masa ia masih berdiri di langkah yang sama. Ia tidak ingin tertinggal, jadi ia juga melangkah maju.

"Ada siswi baru di kelas lo," jawab Naisa.

"Serius? Siapa?" tanya Irene yang perlahan bersemangat.

"Iya serius, namanya gue gak tau. Tapi, Kak Zion tau," jawab Naisa.

"Karena, kemarin Kak zion nolongin dia," sambung Naisa. Nada suaranya berubah saat mengingat kejadian kemarin. Ia cemburu melihat Zion yang cepat akrab dengan siswi baru kemarin. Walaupun Zion sudah menenangkannya kemarin.

"Idih! Ada yang cemburu," ledek Irene. Aiba hanya diam menyaksikan mereka berdua. Naisa sudah melepaskan pelukannya dari tadi. Tetapi, tangannya terus merangkul salah satu tangan Aiba.

"Idih! Lagian," balas Naisa. Irene tahu, seberapa berharganya Naisa diantara Zion dan sahabatnya. Ia tidak iri, karena ia memiliki tempat tersendiri di antara mereka. Apalagi ia istimewa bagi Aiba dan Ian.

"Jangan cemburu muluh lo! Ntar calon lo lari, gimana? Lo juga harus pikirin perasaan dia 'kan? Lo gak mungkin ama Kak Zion terus," ucap Irene.

"Iya, sih," balas Naisa.

"Lo juga harus sadar dong. Masa dari dulu gak maju-maju, padahal calonnya udah ada di depan mata!" sambung Naisa yang melihat sosok pria yang selalu Irene ceritakan. Aiba menatap sekelilingnya dan menemukan pria itu. Irene pun sama, ia mengalihkan pandangannya dan menemukan sosok yang ia kagumi sejak masuk ke SMA Central.

"Shutt! Ihk! Gak usah berisik!" pinta Irene. Naisa tertawa kecil melihat tingkah Irene.

"Sampai kapan kita mau di sini?" tanya Aiba yang sejak tadi terdiam.

"Ehk! Iya juga," balas Naisa. Naisa Allison, adalah gadis yang sangat imut dan banyak bicara. Ia tidak seperti Irene yang memiliki sifat kalem. Naisa duduk di kelas X IPA 1. Entah mengapa, mereka semua masuk di jurusan IPA.

Ketiganya pun berjalan bersama menuju kelas mereka. Kelas Naisa agak jauh dari kelas Irene dan Aiba. Kelasnya berada di lantai pertama, lalu kelas Irene berada di lantai dua paling ujung dan kelas Aiba yang berada di lantai tiga. Gedung kelas IPA berbeda dengan Gedung kelas IPS, serta Perpustakaan, Ruang Lab, UKS dan lainnya. Di sekolahnya terdapat tiga taman. Taman yang tepat berada di tengah-tengah Gedung IPA dan IPS, lalu taman yang berada di dekat Perpustakaan dan Taman yang paling jarang siswa kunjungi, yaitu taman yang tidak terlalu besar yang ada di belakang Gedung IPA.

Setelah Naisa masuk ke dalam kelasnya, Irene dan Aiba melanjutkan langkah mereka ke lantai dua.

"Iren, jangan mudah percaya sama orang. Kalau memang suka, cari tahu seluk beluknya dulu. Dia orangnya seperti apa. Bukannya gue larang, tapi gue gak mau lo terluka," ucap Aiba tiba-tiba saat mereka sedang menaiki anak tangga. Irene sangat senang mendengar ucapan Aiba.

"Iya, gue pasti cari tau dulu. Makasih udah selalu ada buat gue," balas Irene. Layaknya Naisa kepada Irene. Irene juga berbicara pada umumnya dengan Aiba. Aiba juga tidak masalah, malahan itu akan membuat keduanya lebih mudah memahami satu sama lain dan semakin akrab.

"Kalau bukan gue sama Ian, siapa lagi. Lo itu istimewa buat gue," balas Aiba pula. Irene terkekeh mendengar ucapan Aiba. Keduanya pun sampai di depan kelas Irene. Setelah Irene masuk ke dalam kelasnya, barulah Aiba melanjutkan langkahnya dan naik ke lantai atas.

Bukannya masuk ke dalam kelas, Aiba malah terus melangkahkan kakinya setelah sampai di lantai tiga. Ia melangkahkan kakinya menuju atap Gedung IPA. Setelah sampai di atap Gedung IPA, Aiba mendekat ke arah pembatas dan menatap ke arah langit.

"Hari ini cerah," ucap Aiba kepada dirinya sendiri. Sangat cerah, tetapi tidak dengan hati dan perasaannya. Seberapa besar pun ia berusaha melupakan Ibunya walau sedetik, ia tetap tidak bisa. Apalagi saat melihat wajah Ayahnya, ia pasti akan terus teringat Ibunya.

"Gue harus bisa, gue harus bisa maju," ucap Aiba lagi. Ia terus menyemangati dirinya sendiri.

"Ehk! Ada orang ternyata," ucap seseorang dari arah pintu masuk atap Gedung IPA. Aiba berbalik dan seketika wajahnya berubah dingin.

"Lo," ucap Aiba dingin.

"Iya, ini gue," balas Zion.

"Ngapain lo di sini?" tanya Aiba dingin.

"Lah, kan bebas. Ngapain nanya lagi," jawab Zion.

"Terserah lo," balas Aiba dan berlalu dari sana. Ia tidak suka ketenangannya di usik.

"Lo udah mendingan?" tanya Zion saat Aiba akan turun ke lantai bawah.

"Mendingan?" tanya Aiba balik. Ia berbalik dan menatap Zion.

"Iya, mendingan?" balas Zion pula. Seingat Aiba, Zion tidak tahu apa-apa tentangnya. Apalagi soalnya Ibunya yang sudah tiada.

"Lah, gue gak papa," ucap Aiba.

"Tatapan itu gak bisa bohong, Sha. Jadi, mending lo gak usah bohong," balas Zion. Lagi-lagi Zion memanggilnya Sha.

"Udah dua kali lo manggil gue, Sha. Denger dari siapa lo?" tanya Aiba.

"Nama lo kan, Usha Aiba Muller, salahnya di mana?" tanya Zion balik. Ia menatap Aiba bingung. Aiba terdiam mendengar ucapan Zion.

"Tau nama asli gue dari mana? Padahal gue ketemu sama lo baru beberapa hari yang lalu," tanya Aiba lagi.

"Yah, gak tau juga, sih. Gua cuman pernah denger waktu kelas lo absen," jawab Zion seadanya. Aiba menghembuskan nafasnya lelah dan kembali berbalik. Zion hanya menatapnya bingung. Aiba pun melangkahkan kakinya dan pergi ke kelasnya.

"Sebenarnya gue tau semua tentang lo," ucap Zion setelah hanya tersisa dirinya saja. Ia tersenyum kecil, sambil melihat ke arah bawah  yang sudah ramai dengan siswa.

***

"Bukannya menunda, tetapi kita butuh memastikan sebelum bertindak!"

~ Irene Ash ~

ZION  (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang