Ini Menyakitkan!

15 6 1
                                    

"Naisa, gue bener-bener gak kuat! Ini kedua kalinya buat gue! Gue gak sanggup!" tangis Irene di dalam pelukan Naisa. Naisa juga hanya diam, dengan air mata yang terus ngalir di pipinya.

'Irene saja tidak sanggup, gimana sama Kak Aiba?' batin Naisa yang terus memikirkan Aiba.

"Ibu gak pergi, An," ucap Aiba dengan tatapan kosong, sambil menggelengkan kepalanya pelan. Saat ini, Ian hanya berusaha menahan tangisnya, sambil menenangkan Aiba.

"Aiba, lo kuat, oke!" balas Ian menyemangati Aiba.

Saat ini, mereka tengah berkumpul di rumah Aiba. Setelah pertengkaran yang terjadi sore tadi, Yolanda meninggal dunia. Penyebab utama Yolanda meninggal adalah, karena penyakit Kanker hati yang ia derita.

"Ibu gak mungkin ninggalin, gue," ucap Aiba lagi. Ian hanya memeluk Aiba dan terus menenangkannya.

Donald? Ia hanya menatap kosong ke arah mayat istrinya. Matanya tidak pernah teralihkan sedikit pun. Rasa bersalah benar-benar memenuhi pikiran dan hatinya.

Sejak tadi, kediaman Muller terus bertambah ramai dengan keluarga mereka yang berdatangan.

"Usha!" teriak seorang pria dari arah pintu rumah. Aiba yang mendengar suara Mahen, langsung tersadar dan langsung melepaskan pelukan Ian. Yah, pria itu adalah Mahen. Mahen adalah anak dari saudara Ibunya.

"Kak Mahen," tangis Aiba benar-benar pecah, apalagi saat melihat mayat Ibunya lagi.

"Gak papa sayang, gak papa. Usha kuat, oke," ucap Mahen menenangkan Aiba. Kali ini, tangis Ian pun ikut pecah. Jean yang datang bersama Naisa, mendekat ke arah Ian.

"Gue tau semuanya, tapi gak tau kalau lo sedekat ini sama mereka. Lo kuat," ucap Jean menepuk pundak Ian pelan.

"Lo gak tau aja. Orang tua Aiba itu, udah kayak orang tua gue sendiri!" balas Ian mengusap air matanya yang terus mengalir. Jean menganggukkan kepalanya mengerti dan ikut duduk di samping Ian.

"Kak Mahen! Ibu gimana? Gak mungkinkan ninggalin, Sha," ucap Aiba. Jika ada yang memanggil Aiba dengan sebutan Usha, maka mereka hanya orang-orang yang sangat dekat dengan Aiba. Ian juga memanggilnya demikian. Namun, jika berada di luar, Ian tetap memanggilnya Aiba.

"Sha, sabar. Masih ada Bunda, masih ada Mahen, masih ada Ian, ada Iren juga," balas Mahen menenangkan Aiba lagi.

"Ini semua karena, Ayah!" teriak Aiba tanpa sadar. Ia melepaskan pelukan Mahen dan mendekat ke arah Donald.

"Ini semua karena, Ayah!" tekan Aiba dalam tepat di depan Ayahnya. Donald tersadar dan menatap mata putrinya yang kesakitan. Donald hanya tersenyum kecut dan menarik Aiba ke dalam pelukannya.

"Ayah, minta maaf, sayang," ucap Donald sambil mengelus lembut kepala Aiba. Mahen, Ian dan Irene hanya menatap perih ke arah Donald dan Aiba.

"Aku tidak akan pernah memaafkan, Ayah," ucap Aiba di dalam pelukan Donald.

"Dan sampai kapanpun, Ayah akan tetap berusaha untuk mendapatkan maafmu," balas Donald. Sampai kapan pun, ia harus mendapatkan maaf dari putrinya. Tidak peduli, berapa lama putrinya baru akan memaafkannya.

Keesokan harinya, semuanya sudah berkumpul di sebuah pemakaman. Sangat banyak orang yang mengantarkan Yolanda, untuk pergi ke tempat peristirahatan terakhirnya. Mulai dari rekan bisnis dan keluarga besarnya. Sejak malam tadi, Aiba tidak pernah berhenti menangis. Air mata itu terus luruh, tanpa ingin berhenti.

"Gimana gue nanti? Gak ada Ibu? Gue sama siapa?" tanya Aiba kepada dirinya sendiri. Tatapannya kembali kosong, pikirannya semakin kacau.

"Tenang, Sha. Masih ada gue yang selalu jagain lo," ucap Ian terus berada di samping Aiba.

"Gue gak bisa, An. Gue gak kuat!" tangis Aiba lagi. Mahen juga tidak pernah jauh dari Aiba.

Saat peti Ibunya perlahan di turunkan ke bawah tanah, Aiba kembali terisak keras.

"Pak! Ibu saya tuh, gak bisa sendirian!" ucap Aiba sambil menangis. Donald kembali memeluk putrinya dan menutup matanya dengan tangannya.

"Ayah! Ibu gak bisa sendirian!" jerit Aiba di dalam pelukan Ayahnya.

"Usha, tenang sayang!" ucap Donald menenangkan Aiba.

"Please, Ayah! Ibu gak suka sendirian!" balas Aiba lagi. Mahen yang tidak bisa mendengar raungan Aiba, juga ikut memeluk Aiba erat. Ian pun tidak bisa apa-apa. Ia hanya berusaha meredam tangisnya, sambil memeluk adiknya yang terus terisak juga.

Setelah Yolanda benar-benar terkubur, barulah Donald membuka mata putrinya. Namun, saat itu juga kesadaran Aiba hilang. Setelah melihat makam Ibunya sudah tertutup dengan rapi. Ian yang melihat itu, langsung terkejut bukan main.

"Aiba," ucap Irene pelan.

"Kak Aiba," ucap Naisa terisak.

"Syutt! Udah, Naisa kuat juga," ucap Jean menenangkan adiknya.

Donald dan Mahen, hanya bisa memeluk Aiba yang kehilangan kesadarannya. Setelah berdoa dan menaburkan bunga di atas makam Yolanda, perlahan satu-persatu tamu yang ikut mengantar pulang. Hingga akhirnya, hanya tersisa Donald, Aiba, Mahen, Ian, Irene, Jean dan Naisa. Aiba kembali tersadar dari pingsannya setelah beberapa menit kemudian. Ia menatap sekelilingnya dengan bingung dan terakhir, pandangannya jatuh kepada gundukan tanah merah yang ada di depannya. Air matanya kembali mengalir, setelah sadar apa yang telah terjadi.

"Ayo kita, pulang," ajak Mahen pelan.

"Gak mau," balas Aiba mengusap kasar air matanya.

"Sha, ayo pulang," ajak Ian pula. Aiba hanya menggelengkan kepalanya dan terus meneteskan air matanya. Wajah pucat itu, benar-benar tampak lelah.

"Usha, ayo pulang, Sayang," ajak Donald pula.

"Aku tidak akan pernah memaafkan, Ayah! Tidak akan pernah!" oceh Aiba.

"Tidak papa, tidak usah maafkan, Ayah. Tapi, ayo pulang," ajak Donald lagi.

"Ibumu paling tidak suka melihatmu menangis, Sayang. Jadi, berhenti menangis dan ayo pulang," ajak Donald untuk yang ketiga kalinya.

"Ayah tau, tapi kenapa membuatku menangis?!" isak Aiba sambil memukul pelan dada Donald.

"Ayah minta maaf," balas Donald pelan.

"Ayo pulang," ajak Jean kepada adiknya pula. Naisa hanya menganggukkan kepalanya pelan dan pamit untuk pulang terlebih dahulu.

"Sha, ayo pulang!" ajak Ian lembut. Aiba hanya menganggukkan kepalanya dan mendekat ke arah Ian. Ian hanya berusaha memasang senyumnya dan mengusap kepala Aiba pelan. Irene pun sama, Ia menggenggam tangan Aiba yang satunya dan ketiganya pun pergi terlebih dahulu.

"Ayah, tidak papa?" tanya Mahen kepada Donald.

"Bagaimana bisa aku tidak papa, di saat seperti ini, Mahen," jawab Donald.

"Kupikir, Ayah kuat," balas Mahen pula.

"Setiap orang punya kelemahan, begitupun aku, Mahen," ucap Donald. Ia menatap lekat makam istrinya untuk yang terakhir, sebelum ia melangkahkan kakinya untuk pulang bersama Mahen.

"Sha, harus kuat, ya," pinta Ian kepada Aiba.

"Bener, Kak Sha, harus kuat," ucap Irene menimpali.

"Usha gak tau," balas Aiba.

"Aku beruntung, mempunyai putri yang amat sangat menyayangiku. Aku juga beruntung, mempunyai suami yang begitu mengerti. Namun, aku bersedih, karena tidak bisa lebih lama menghabiskan waktuku dengan mereka. Aku juga bersedih, karena belum menemukan putriku yang hilang." Aiba terus teringat akan kata-kata yang Ibunya ucapkan terakhir kali.

***

"Kita memang tidak sedarah, tetapi kita saudara!"

~ Usha Aiba Muller ~

"Maaf karena telah menghancurkan cinta pertamamu, putriku. Walaupun begitu, aku akan tetap berusaha untuk kebahagiaanmu."

~ Donald Muller ~

ZION  (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang