Sebuah Rencana

16 6 1
                                        


Dua hari telah berlalu, Aiba masih sama. Masih dihantui oleh bayang-bayang Ibunya. Mahen memutuskan untuk tinggal di rumah Donald untuk beberapa hari, setelah melihat keadaan Aiba. Ia tidak mungkin meninggalkan Aiba dalam keadaan saat ini. Ian dan Irene juga, tidak pernah kembali ke Apertemen mereka, setelah hari itu. Mereka tetap di rumah Donald dan menemani Aiba.

"Sha, makan ya," bujuk Ian. Aiba hanya menggelengkan kepalanya pelan dan terus menatap kosong ke arah luar jendelah kamarnya.

"Dari kemarin kamu gak makan, Sha," bujuk Ian lagi. Aiba tetap diam.

Beberapa saat kemudian, Aiba bangkit dari duduknya dan membuat Ian terkejut. Aiba mengambil kunci mobilnya dan keluar dari kamarnya. Ian yang melihat itu, langsung bangkit dan mengikuti langkah Aiba.

"Sha, mau ke mana?" tanya Ian yang terus mengikuti Aiba. Donald yang saat itu berada di ruang tamu bersama Mahen, langsung mengalihkan pandangannya ke arah Aiba dan Ian.

"Usha, mau ke mana, Nak?" tanya Donald.

"Bukan urusan, Ayah! Jangan ada yang ikutin aku! Awas aja!" jawab Aiba memberi penekanan. Ian menghentikan langkahnya dan menatap punggung Aiba yang perlahan menghilang dari pandangannya.

"Udah, dia butuh waktu sendiri," ucap Mahen. Donald dan Ian hanya menghembuskan nafasnya lelah. Ian ikut bergabung dengan Donald dan Mahen.

"Iren, mana?" tanya Mahen. Sudah lama tahu, jika Ian dan Irene dekat dengan Aiba, bahkan sudah seperti saudara.

"Dia lagi istirahat. Dari semalam juga gak mau makan," jawab Ian memijat keningnya pelan.

"Maafkan Ayah, semuanya karena kejadian tempo hari" ucap Donald.

Di saat Donald dan lainnya tengah berbincang, Aiba melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Air matanya kembali luruh, setelah mengingat Ibunya. Setelah hampir dua jam mengendarai mobilnya, Aiba menghentikan mobilnya di sebuah tepi jalan yang langsung mengarah ke permukaan laut. Ini adalah salah satu tempatnya untuk melepaskan beban pikirannya. Aiba berdiri di pembatas jalan dan menatap ke arah permukaan laut.

"Jika bisa memilih, lebih baik aku saja yang mati," ucap Aiba dengan senyum kecutnya, 'tak lupa dengan air mata yang senantiasa menetes.

"Ahk! Aku merindukanmu, Ibu," sambung Aiba lagi. Ia terus mengeluarkan semua unek-uneknya, hingga di dalam pikirannya hanya tersisa senyuman Ibunya yang tidak akan pernah pudar.

"Aku akan menemukan adikku, tunggu saja, Bu," ucap Aiba mulai tersenyum pelan. Karena tempat yang saat ini Aiba kunjungi agak jauh dari kota, maka keadaannya agak sepi. Lebih tepatnya, jarang kendaraan yang berlalu lalang.

"Aku akan menemukannya dan membawanya pulang," sambung Aiba lagi.

"Mau gue bantu?" tanya seseorang tiba-tiba. Aiba terkejut dan lebih terkejut lagi, saat orang itu sudah berdiri di sampingnya, sambil menatap betapa indahnya permukaan laut saat ini.

"Hah?! Lo?" ucap Aiba terkejut, saat sadar orang itu, adalah pria yang beberapa hari yang lalu memancing emosinya.

"Lo terlalu sedih ya, sampai gak sadar kalau gue udah ada di sini sebelum lo datang?" tanya Zion menatap Aiba.

"Heh! Sejak kapan lo di sini?" tanya Aiba balik.

"Lo gak liat motor gue parkir di sekitar sini atau gimana?" tanya Zion pula. Aiba menatap sekelilingnya dan benar saja, ada sebuah motor yang terparkir dengan indah di sebrang jalan, tepat di bawah pohon.

"Lo denger semuanya?" tanya Aiba. Ia kembali menatap permukaan laut.

"Gue gak ada niat buat dengerin, tapi suara lo itu terlalu keras. Jadi, gue denger semuanya," jawab Zion.

"Hmm, lupain aja," balas Aiba.

"Sorry," ucap Zion. Aiba mengalihkan pandangannya kepada Zion. Ia menatap pria itu dengan tatapan bingung.

"Sorry, gue asal ngomong," sambung Zion yang melihat wajah bingung Aiba.

"Owh, oke," balas Aiba singkat.

"Gitu doang? Lo maafin, kagak?" tanya Zion cengoh.

"Dimaafin," jawab Aiba.

"Lo inget gak?" tanya Zion lagi.

"Kagak," jawab Aiba ketus. Zion benar-benar cengoh melihat sikap Aiba.

"Gue belum kelar ngomong, hadeh!" ucap Zion menghembuskan nafasnya pelan.

"Apaan emang?" tanya Aiba balik.

"Kata-kata gue," jawab Zion. Aiba kembali mengingat kejadian beberapa hari yang lalu, di mana ia pertama kali bertemu dengan Zion. Setelah beberapa saat, akhirnya Aiba mengingatnya.

"Owh, gue gak percaya, sih," balas Aiba.

"Kita liat aja nanti, Sha," balas Zion pula. Aiba terkejut mendengar Zion menyebutnya Sha. Usha atau Sha, hanya orang-orang paling dekat yang memanggilnya seperti itu. Ia baru bertemu Zion beberapa hari yang lalu, tidak mungkin ia langsung tahu. Tetapi, bagaimana bisa? Inilah pertanyaan yang terus muncul dalam benak Aiba.

"Heh! Apa-apaan lo?" tanya Aiba tidak terima.

"Whaha! Terserah gue dong. Bye!" jawab Zion dan pergi menuju motornya.

"Hati-hati lo, udah mau malam. Mending lo balik!" sambung Zion sebelum benar-benar pergi.

"Hah! Apaan coba? Gak jelas banget jadi orang!" ucap Aiba menahan kesalnya. Ia kembali menatap permukaan laut. Setelah beberap menit, ia teringat akan sesuatu. Ia dengan cepat masuk ke dalam mobilnya dan melajukan mobilnya dengan cepat.

Setelah dua jam lebih, akhirnya ia kembali sampai di kota dan berhenti di sebuah gedung bertingkat tinggi. Aiba tiba di kota sekitar pukul tujuh malam. Aiba langsung memarkirkan mobilnya di parkiran dan langsung menuju lift. Setelah beberapa saat naik lift, akhirnya Aiba tiba di lantai tujuh dan langsung menuju Apertemennya. Tidak ada yang tahu, jika Aiba memiliki Apertemen pribadi.

Ia menekan pin Apartemennya dan langsung masuk ke dalam. Ia melepaskan hodie yang ia kenakan dan menyalakan AC. Setelah itu, ia mengambil laptop yang ada di mejanya dan langsung mengecek sesuatu.

"Liat aja, gue bakal balas dendam! Gak bakal gue biarin hidup dia tenang!" tekan Aiba menyusun rencananya.

"Maria Arfanah!" ucap Aiba sambil tersenyum miring.

"Gue bakal buat hidup lo hancur! Gak peduli lo siapa! Lo harus rasain, apa yang udah gue rasain!" sambung Aiba lagi.

Di tempat yang berbeda, Zion sudah sampai di rumahnya. Sebenarnya ia tiba lebih cepat di kota. Namun, ia lebih memilih berkumpul dengan teman-temannya terlebih dahulu, sebelum kembali ke penjara. Yah, rumah adalah penjara baginya. Untuk mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya ia harus seperti pengemis, itupun jika ia mendapatkannya.

"Dari mana kamu?" tanya Wil. Wil Beckham, ia adalah Ayah dari Zion, sekaligus pemilik perusahaan Beckham.

"Kumpul sama teman, Pa," jawab Zion.

"Bohong! Ada yang liat kamu di luar kota, Kha!" ucap Floria. Floria Raine, ia adalah Ibu dari Zion.

"Kha, ke sana cuma sebentar, Ma," balas Zion.

"Biarin aja, ngapain khawatir!" ucap Wil ketus. Zion hanya diam mendengar kata-kata Wil. Ia sudah terbiasa, bahkan ada yang lebih parah lagi.

"Sampai di alam berbeda pun, Inara tidak akan pernah memaafkanmu! Apalagi aku!" sambung Wil. Zion yang tengah berjalan menuju kamarnya, langsung berhenti saat mendengar ucapan Wil.

"Inara! Inara! Inara! Pernah gak, sekali aja Papa mikir perasan Kha, gimana?" tanya Zion kesal. Selalu hanya Inara dan Jackie yang keluar dari mulut Papanya itu.

***

"Hanya untuk mendapatkan kasih sayang, aku harus menjadi seperti pengemis di depan kalian. Setidaknya, jangan pernah menganggap aku tidak ada!"

~ Zion Beckham ~

ZION  (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang