"Gak bisa, Ren. Kalau kamu juga turun langsung, siapa yang jaga markas? Lagi pula, aku gak mau salah satu alasan aku tetap berjuang, terluka!" balas Ian cepat. Ia sangat tidak bisa jika melihat adiknya terluka.
"Bener banget, Ren. Lagi pula, yang jaga markas kali ini bukan cuma kamu doang. Lara juga tinggal kok!" ucap Natan pula.
"Huft! Yaudah, deh," balas Irene. Lara tersenyum mendengar balasan Irene. Irene bagi Lara adalah teman untuk bercerita. Irene selalu memberi kesan yang baik, jika bercerita padanya.
"Jadi, siap-siap untuk tiga hari lagi!" tegas Aiba. Semuanya bersorak dan mengangkat tangan mereka. Setelah rapat, mereka bersantai sejenak di aula Markas Vodafone. Markas Vodafone cukup besar. Anggota Aiba juga tidak hanya 50 orang, tetapi ada 150 orang yang bisa berkumpul di Markasnya langsung. Belum lagi anggotanya yang berada di luar kota, bahkan di luar negeri.
Kebanyakan anggota Aiba adalah orang-orang yang diselamatkan oleh Aiba dan Ian. Entah itu gelandangan di jalanan, atau pun pengangguran. Tetapi jangan salah, setelah mereka bergabung, mereka berkumpul dan membuat salah satu cafe. Di sana mereka membagi tugas mereka masing-masing. Ada juga anggotanya yang sudah tamat sekolah, lalu ada juga yang saat ini masih kuliah. Setelah terjun ke jalanan, nama yang mereka gunakan, bukanlah nama asli, tetapi nama yang telah mereka buat sendiri. Mereka membuat nama palsu, agar identitas mereka tidak mudah ditemukan.
"Beliin cemilan dulu, dong," pinta Natan.
"Bener juga euy! Sebat juga, ya," sambung Rian, salah satu anggota Aiba.
"Yaudah, gue aja yang keluar," ucap Erin mengajukan diri.
"Ehk! Jangan pergi sendiri!" ucap Kara memperingati.
"Bener. Kara temenin Erin," pinta Aiba.
"Nih, kartu gue. Beli apa aja," sambung Aiba mengeluarkan kartu ATM-nya.
"Huft! Untung bukan Black Card yang dia keluarin! Kalau gak, mungkin mereka langsung lari," ucap Ian menghembuskan nafasnya lelah.
"Bener banget," balas Lara sambil terkekeh.
"Iren, Aiba, cerita bentar, yuk!" ajak Lara. Aiba dan Irene menganggukkan kepala mereka dan berkumpul di salah satu sofa yang ada di dekat ruangan rapat tadi.
"Mau cerita apa?" tanya Aiba.
"Btw, gak capek kejar, Jean?" sambung Aiba bertanya. Saat ada mereka bertiga, sifat Aiba akan berbeda dari biasanya.
"Hehe! Enggak. Gak tau juga kenapa, tapi gue gak bisa," jawab Lara sambil tersenyum manis.
"Terus lo mau terus bertepuk sebelah tangan, gitu?" tanya Irene pula.
"Ya, enggak juga. Gue mau dia balas perasaan gue. Tapi, kalau emang dia gak mau. Ya, mau gimana lagi," balas Lara.
"Iya, sih," balas Aiba.
"Terus, Iren gimana?" tanya Lara.
"Gimana, ya? Dia masih belum sadar mungkin," jawab Irene. Aiba terdiam mendengar Irene dan Lara bercerita. Ia tersenyum miris mendengarkan mereka berdua. Di saat orang-orang di sekitarnya mulai membahas tentang perasaan dan pasangan mereka, Aiba masih tetap di langkah yang sama.
Bagaimana mungkin ia bisa menyiapkan hati lagi untuk seseorang, sedangkan perasaannya sudah dihancurkan langsung oleh perbuatan Ayahnya. Bagaimana lagi ia menata hatinya kembali? Luka yang ada di dalam sana, mungkin akan terus terukir.
Di saat semuanya tengah serius dengan kegiatan mereka. Kara datang bersama Erin. Semuanya terkejut, saat melihat Erin yang terluka. Aiba yang saat itu masih belum sadar, langsung mengalihkan pandangannya, karena anggotanya yang lain sudah mengerumuni Kara dan Erin. Irene dan Lara juga terkejut dan langsung mendekat ke arah mereka.
"Ahk!" jerit Irene yang melihat Erin dengan darah yang terus mengalir dari pelipis serta mulutnya. Aiba mengepalkan tangannya erat dengan wajah yang perlahan memerah karena amarah.
"Kara! Siapa?" tanya Aiba singkat. Kara yang tengah terluka juga hanya mengkhawatikan Erin. Luka yang didapatkan Kara, tidak separah Kara.
"Mereka cuman bertiga, tapi bawah senjata tajam. Raga, Arfan, ama Hansyah!" jawab Kara.
"Owh, mau mati mereka!" tekan Aiba dan menjauh dari kerumunan para anggotanya. Ia mengambil salah satu belatihnya yang ia simpan di lemari senjata yang mereka siapkan. Ian yang melihat Aiba ingin pergi sendiri, langsung menahannya.
"Lo gak boleh pergi sendiri! Gue ikut!" tahan Ian.
"Oke! Natan, Lara, Irene jaga markas dan obatin luka mereka. Kalau gak bisa, bawa ke rumah sakit. Kartu gue ada di dalam tas, Ren. Pakek aja itu buat administrasi!" ucap Aiba sebelum pergi. Irene menganggukkan kepalanya dan dengan cepat meraih tas Aiba yang berada di atas meja.
Aiba dan Ian pun berlalu. Mereka pergi di mana tempat Kara dan Erin diserang. Ketiga serangkai tadi adalah anggota kepercayaan ketua Black Wolf. Entah dari mana mereka tahu, kalau hari ini mereka sedang mengadakan pertemuan. Padahal, markas Vodafone sangat tersembunyi. Hanya anggota-anggota Vodafone saja yang tahu lokasinya.
"Pasti ada pengkhianat diantara mereka! Gue tangkap lo setelah gue pulang! Tunggu aja!" tekan Aiba yang sedang mengendarai motornya dengan cepat. Ia memimpin jalan di depan dengan laju motor yang tidak main-main.
Di saat Aiba dan Ian pergi membereskan ketiga orang tersebut. Irene, Lara, Ais, dan Zanzika tengah mengobati luka Kara dan Erin.
"Bawa Erin ke rumah sakit! Darahnya gak berhenti ngalir!" pinta Lara cepat. Suaranya memenuhi Aula Vodafone karena panik. Higra dan Grillo langsung bangkit dari duduk mereka yang tengah menunggu kedatangan Aiba dan Ian. Padahal keduanya baru saja pergi beberapa menit yang lalu.
"Cepat angkat Erin ke mobil gue!" pinta Higra. Grillo yang sudah bangkit lebih dulu, langsung mengambil alih tubuh Erin dan mengangkatkanya dan membawanya ke mobil Higra.
"Lara, Irene kalian ikut ke rumah sakit!" pinta Natan mengambil alih markas Vodafone.
"Sepertiga dari kalian kawal dari belakang. Jangan terlalu mencolok, karena bisa bahaya!" sambung Natan lagi. Ia tidak ingin terjadi sesuatu kepada Lara dan Irene. Jadi, ia memutuskan untuk membiarkan sepertiga pasukan Vodafone untuk pergi bersama mereka.
"Lo mau ke mana?" tanya Ais kepada Zanzika yang tengah mengambil tasnya.
"Gue juga mau ikut sama mereka," jawab Zanzika.
"Gak usah. Udah ada Lara ama Iren. Lo tetap di sini!" balas Ais menatap Zanzika dingin. Irene adalah salah satu siswa dari SMA Central, sayangnya ia ada di Jurusan IPS. Ia juga sudah duduk di kelas XII. Natan hanya menatap sekelilingnya dan memperhatikan semuanya.
Selain memiliki sifat yang humoris dan suka bercanda, Natan juga cukup cerdas dan teliti. Ia tahu, bahwa markas Vodafone tersembunyi. Tidak mungkin Kara dan Erin sampai terluka, jika tidak ada yang membocorkan, bahwa hari ini mereka akan berkumpul. Kara yang tidak ikut bersama Erin ke rumah sakit, mendekat ke arah Natan tengah duduk.
"Lo pasti ngerti, 'kan?" tanya Kara menahan rasa sakit yang ada di sudut bibir dan pelipisnya.
"Iya, tenang aja!" jawab Natan.
"Dia gak mungkin bisa kabur dari sini," sambung Natan lagi.
Di tempat yang berbeda, Aiba dan Ian sudah sampai di lokasi, di mana Kara dan Erin di serang. Keduanya menghentikan motornya di tepi jalan yang sangat sepi.
"Keluar lo!" pinta Aiba langsung.
"Gue hitung satu sampai tiga. Kalau lo gak keluar, lo tau akibatnya!" sambung Aiba menahan emosinya sejak tadi.
"Ya, ketahuan, deh!" ucap seseorang keluar dari balik pohon besar yang ada di seberang jalan. Ia keluar di susul oleh kedua temannya.
"Bisa-bisanya lo serang anggota gue!" kesal Aiba.
"Lah, emang gak boleh?" tanya Raga balik. Emosi Aiba benar-benar terpancing mendengar pertanyaan Raga.
"Lo dah bosan hidup, ya?" tanya Ian yang juga ikut emosi.
"**
"Tidak ada siapapun yang boleh menyakiti teman-temanku!"
~ Vodefone ~
KAMU SEDANG MEMBACA
ZION (HIATUS)
Jugendliteratur"Aku, Usha Aiba bersumpah dengan menetesnya darah ini, jika Ayah menikah lagi! Aku bukan anak Ayah dan semua aset perusahaan dan harta warisan akan berbalik nama menjadi Usha Aiba! Bukan lagi atas nama Donald Muller ataupun Yolanda Quinn!" ucap Aiba...