Ian Ash

6 4 0
                                    


"Ya, gitu. Hati mereka terlalu keras, mereka gak pernah mau dengerin gue sekali aja," ucap Zion menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan.

"Usaha lo belum cukup!" ucap seseorang dari arah belakang. Jean dan Zion langsung mengalihkan pandangannya ke arah Ian.

"Lah, lo denger dari tadi?" tanya Zion.

"Kalian berdua yang gak liat gue di sini lebih dulu," jawab Ian.

"Seharusnya lo gak cuman bagi ke Jean aja, Kha atau lo gak nganggap gue sebagai sahabat lo, sampai lo tutupin dari gue, atau karena gue selalu ada dipihak Aiba?" tanya Ian yang merasa tidak berguna.

"Heh! Ngomong apa lo, kuda Nil!" bantah Zion. Zion menggelengkan kepalanya tidak percaya dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Ian.

"Woy! Gue juga mikir tentang lo, makanya gue gak cerita. Gue gak mau beban lo nambah, Dodol!" sambung Zion.

"Tapi, gak gitu caranya!" balas Ian yang merasa tidak berguna.

"Udah-udah, masa kita ribut, sih!" sela Jean.

"Pikiran lo udah terlalu banyak, An. Gue gak bisa kasih tau karena itu, gue gak mau lo sakit karena banyak pikiran!" ucap Zion meyakinkan Ian.

"Gue udah biasa makanya, gue mau sahabat-sahabat gue gak rasain apa yang gue rasain. Gue gak mau, sahabat gue jadi kayak gue! Gue gak mau sahabat gue menderita kayak gue! Gue mau lo semua bebas, cukup gue aja yang rasain!" ucap Ian.

"Gue paham maksud lo, tapi gue juga gak bisa biarin lo terus rasain sakit!" balas Zion menepuk pundak Ian.

"Lagi pula, gue tau semuanya. Gue cuman mau lo yang cerita langsung!" ucap Ian. Zion terkekeh mendengar ucapan Ian. Diantara mereka semua, Ian 'lah yang paling dewasa.

"Whaha! Itu lo udah tau," balas Zion sambil terkekeh. Jean hanya menggelengkan kepalanya tidak percaya.

"Menurut gue, usaha lo belum cukup," ucap Ian.

"Usaha apa lagi yang belum gue lakuin? Gue udah kasih tau ke mereka semuanya, tapi tetap aja gak berubah!" balas Zion mulai serius.

"Buktiin dengan lo sukses dengan jalan dan tangan lo sendiri!" balas Ian.

"Dan jangan pernah keluar dari rumah itu, sampai lo berhasil!" sambung Jean.

"Gue harus usaha lagi, ya," ucap Zion pelan.

"Gak papa, kita semua ada dipihak lo!" ucap Jean dan Ian bersamaan.

"Satu lagi, coba damai sama adik lo!" sambung Jean.

"Lo tau, Jean. Gue gak bisa! Setiap kali liat dia, gue jadi inget sama ucapan Papa gue!" balas Zion.

"Coba aja dari pelan-pelan, nanti lo juga bisa," ucap Ian.

"Hah! Gue gak taulah," balas Zion. Jean dan Ian pun terdiam.

"Kha, dari mana lo tau tentang Aiba, sebanyak itu?" tanya Ian yang beberapa saat terdiam. Zion langsung menetap Ian sejenak.

"Rahasia," jawab Zion sambil terkekeh.

"Jean, lo tau?" tanya Ian kepada Jean.

"Gue? Kagak. Yang gue tau juga Inara dan keluarganya aja," jawab Jean menutup semua yang ia ketahui. Zion dapat dari mana tentang Aiba itu, hanya Zion yang tahu.

"Hmm," balas Ian sambil menatap Gedung IPS yang berhadapan dengan Gedung IPA.

"Lo ada apa sama, Ais?" tanya Jean penasaran.

"Heh! Apaan?" tanya Ian terkejut.

"Gak usah bohong, gue tau lo selalu di sini," jawab Jean.

"Lah, terus lo sama Lara apa kabar? Lo gantungin anak orang terus!" balas Ian.

"Mampus, makanya sadar Jean, saingan lo nambah satu lho," ucap Zion.

"Maksudnya?" tanya Jean tidak paham.

"Siswa baru yang ada di kelas lo, bego. Dia itu incar Lara, masa lo gak perhatiin, sih," jawab Zion.

"Gue bener-bener heran sama lo, dari mana lo tau informasi sebanyak itu, Kha!" ucap Ian. Ia benar-benar bingung, dari mana Zion mendapatkan banyak informasi.

"Hehe! Rahasia," jawab Zion sambil terkekeh.

Di saat ketiga pria itu masih berada di atap Gedung IPA, Irene dan Aiba tengah berjalan berdua setelah dari kantin. Aiba melanjutkan langkahnya menuju kelasnya, setelah Irene sudah sampai di kelasnya.

"Dari mana?" tanya seseorang kepada Irene yang baru saja masuk ke dalam kelasnya. Ia berbalik lalu menatap Jackie yang baru saja sampai dan berdiri tepat di depan kelasnya.

"Kantin," jawab Irene sambil tersenyum.

"Hmm, tetap hati-hati, ya Ren," pinta Jackie sambil tersenyum.

"Iya," balas Irene.

"Yaudah, gue ke kelas dulu. Tetap inget taruhan kita," ucap Jackie dan berlalu setelahnya.

"Hehe! Gue pasti menang!" balas Irene sambil tersenyum.

"Jackie buat gue, ya!" pinta seseorang dari arah belakang Irene. Irene berbalik dan menatap Sabrina.

"Coba aja, kalau dia mau, ya," balas Irene sambil tersenyum manis ke arah Sabrina.

"Gak usah sok manis, dasar munafik!" sarkas Sabrina.

"Owh! Lo berani sama gue?" tanya Irene berjalan mendekat ke arah Sabrina.

"Sama lo doang, lo pikir gue takut? Kagak!" jawab Sabrina.

"Ahk! Masa, sih!" balas Irene menatap Sabrina dalam. Sabrina hanya diam dan membalas tatapan Irene, dengan tatapan tajam.

"Tenang ae, gue pasti jagain Jackie buat lo," ucap Sabrina. Karena Jackie dan Sabrina satu kelas.

"Heh! Dia bisa jaga diri sendiri dan lagi, gue bingung. Kok lo bisa ada di kelas gue?!" tanya Irene bingung. Jika berhadapan dengan Sabrina, maka sifat kalem pada dirinya akan menghilang. Dia benar-benar tidak suka dengan Sabrina. Mungkin dengan Jean dan Naisa dia masih bisa, tetapi jika berhadapan dengan Sabrina. Ia tidak bisa untuk tetap bersikap baik kepadanya.

"Kepo aja lo," balas Sabrina dan berlalu dari kelas Irene. Irene hanya menghembuskan nafasnya lelah dan duduk di tempatnya.

Kembali kepada ketiga pria tadi, kini mereka turun dari atap Gedung IPA. Saat ini, mereka masuk ke dalam kelas masing-masing.

"Ehk! Iya, lo siswa baru juga, ya?" tanya Eric yang ada di kelas Zion. Eric mempunyai seorang sahabat di kelas Zion, dia adalah ketua kelas, di kelas Zion.

Jean, Ian dan Zion yang baru saja masuk ke dalam kelas Zion, langsung melihat ke arah Eric dan Lara. Natan juga sejak tadi diam, ingin melihat seberani apa Eric kepada adiknya.

"Emm, iya," jawab Lara.

"Owh, kenalin gue, Eric," ucap Eric mengulurkan tangannya, sambil memperkenalkan dirinya.

"G--"

"Lara!" bukan Lara yang menjawab, melainkan Jean. Ia juga yang membalas uluran tangan Eric, sebelum Lara membalasnya.

"Whaha!" tawa Zion pecah melihat reaksi Jean. Ia tidak bisa menahan tawanya, dengan sikap Jean yang tidak ingin mengakui perasaannya. Natan dan Ian juga menahan tawanya, melihat reaksi Jean. Sedangkan Lara, ia menatap Jean bingung sekaligus senang. Melihat tingkah Jean baru saja, Natan akhirnya mengerti apa maksud dari ucapan adiknya tadi. Ternyata Jean hanya tidak ingin mengakui perasaannya.

***

"Cukup aku. Cukup aku yang merasakan semuanya. Kalian hanya perlu menikmati dan hidup bahagia. Dan satu lagi, jaga adikku selayaknya aku yang berusaha memahami kalian dan menenangkan rasa sakit kalian!"

~ Ian Ash ~

"Aku tidak pernah membiarkan adikku sekalipun bersedih. Jadi, aku berharap besar padamu. Jaga perasaan adikku dengan baik. Jika tidak, maka pertumpahan darah yang akan terjadi di antara kita, Jean Allison!"

~ Natan Houston ~

ZION  (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang