Kecemburuan Naisa

12 6 0
                                    


"Yaudah sini," balas Ian. Tidak heran lagi jika mereka melihat tingkah Natan dan Ian. Keduanya bagaikan lem dan kertas. Di mana-mana Ian pergi, di situ ada Natan. Namun, ia memastikan adiknya tetap dalam jarak aman terlebih dahulu. Seperti saat ini, Lara tengah berada di samping Jean, lagi pula tidak akan ada yang terjadi jika berada di dalam lingkungan sekolah, itulah yang Natan pikirkan.

"Gabung, ya," pinta Ian kepada Aiba. Aiba hanya menganggukkan kepalanya.

"Hai!" sapa Natan bersemangat. Sifat Natan dan Ian juga jauh berbeda. Natan yang selalu bercanda dan heboh, lalu Ian yang penyayang dan tidak bisa membiarkan orang di sekitarnya terluka. Irene dan Aiba hanya menganggukkan kepalanya, untuk membalas sapaan Natan. Sedangkan Naisa, ia hanya diam saja. Bukannya ia tidak kenal, tetapi ia selalu mengingat tingkah Natan yang usil kepadanya.

"Nih, minum dulu," ucap Ian kepada Irene sambil memberikan obat yang ia bawa tadi.

"Iren! Tadi pagi gak minum obat?" tanya Aiba yang melihat Ian memberikan obat kepada Irene.

"Hehe! Lupa tadi," jawab Irene terkekeh.

"Besok minum dulu, jangan sampai lupa lagi. Ntar lo sakit lagi, gimana?" tanya Aiba khawatir.

"Iya, maaf," jawab Irene. Natan yang sejak tadi diam, kini menatap Naisa yang menatapnya dengan tatapan musuh. Natan terkekeh sejenak dan ide jahil muncul dalam benaknya.

"Jangan kelewatan Tan, ntar pawangnya ngamuk, mampus lo," ucap Ian memperingati. Natan tahu itu, Zion dan Jean, tidak mungkin membiarkan adik kesayangan mereka itu menangis apalagi terluka. Apalagi gadis yang tengah duduk di samping Naisa saat ini.

"Nai," panggil Natan. Ia tidak membalas ucapan Ian dan meluncurkan aksinya.

"Naisa, Jean panggil, tuh," sela Aiba cepat. Ia tidak ingin kesal hari ini. Ia juga tahu betapa jahilnya Natan. Naisa yang menatap Natan kesal, langsung mengalihkan pandangannya ke arah Jean. Tetapi, yang mengalihkan perhatiannya adalah, Zion dan Bianca. Naisa dengan cepat berdiri dan mendekat ke arah meja Zion.

"Syukur, deh," balas Irene bernafas lega. Ia juga tahu sifat Natan, karena melihatnya beberapa kali.

"Jadi, gimana ntar?" tanya Natan mulai serius. Ian, Irene dan Aiba juga mulai serius.

"Gue emang suruh rapat, tapi gak sampai lo pindah sekolah juga," ucap Aiba kepada Natan.

"Ya, mau gimana lagi. Udah terlanjur," balas Natan. Aiba hanya menghembuskan nafasnya lelah.

"Udah, kita balik ke topik kita tempo hari," ucap Ian serius. Dua minggu yang lalu, mereka sudah bertemu sebelumnya.

"Kita rapat di markas Vodafone. Mulai dari jam tiga sampai selesai. Inti rapat kita nanti cuman satu, Black Wolf!" ucap Aiba. Ketiganya menganggukkan kepala mereka mengerti.

"An, gak tabrakan,'kan?" tanya Aiba.

"Tenang aja. Untuk satu minggu ke depan itu masih kosong. Karena, sebelumnya Phentra Hitam udah rapat sebelumnya!" jawab Natan. Ian menganggukkan kepalanya, membetulkan ucapan Natan. Zion tidak tahu, jika Ian, Natan dan Lara juga memiliki markas bersama Aiba. Namun sebaliknya, Aiba malah tahu, jika mereka bertiga juga memiliki markas lain, selain Vodafone yang ia dirikan bersama Ian.

"Bagus, deh," balas Aiba.

Kembali kepada Naisa, ia menatap kesal Bianca yang masih duduk di samping Zion. Ia menatap kesal, wajah Bianca yang tampak polos yang tengah menikmati makanannya. Jean yang melihat ekspresi adiknya, hanya mandengus. Sedangkan Lara, ia terus menatap Bianca yang tidak sadar, di mana seharusnya ia berada.

"Mau gue buat sadar, Nai?" tanya Lara kepada Naisa. Naisa yang melihat Lara, langsung terkejut. Sakin kesalnya ia kepada Bianca, ia tidak sadar jika ada Lara yang duduk di samping Jean.

ZION  (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang