Chapter 9

36.4K 1.3K 4
                                    

SAAAH!

Kata SAH baru saja terucap dari seluruh keluarga dan tamu undangan yang hadir. Shiena dan Malik akhirnya sudah SAH menjadi suami istri. Setelah banyaknya cobaan yang datang seakan berusaha membatalkan pernikahan keduanya, ternyata bisa mereka lewati bersama. Meski banyak air mata yang harus keluar. Tapi, itu cukup sepadan dengan betapa lancarnya pesta pernikahan keduanya.

Tidak ada yang perlu di sembunyikan dari pernikahan ini. Kata Malik waktu itu ketika Shiena mengutarakan pendapatnya bahwa dia tidak ingin memberitahu teman kuliahnya tentang pernikahannya. Akan tetapi mendapat bantahan tegas dari Malik.

“Satu kebohongan, akan menciptakan kebohongan lain. Teman kuliahmu perlu tahu kamu menikah. Terserah kamu mau undang mereka atau tidak.”

Karena itulah Shiena dengan segenap hati dan jiwa mengirim undangan digital kepada grup kelasnya. Urusan mereka mau datang atau tidak. Yang penting Shiena sudah undang.

Namun tak di sangka teman-temannya ternyata datang. Walau masih dengan pakaian ala anak kuliahan, tetapi kehadiran mereka sukses menjadi pusat perhatian karena mereka datang dengan begitu hebohnya. Sembari membawa kado yang begitu besar, entah apa isinya.

“Shi, ini kadonya, ya. Tolong di pake entar. Kadonya cuma satu, soalnya kita patungan,” sahut Cia, teman kelasnya.

Shiena terkekeh melihat kado yang di bawa Cia. Dari bentuknya sudah cukup membuat Shiena penasaran. Dari tiga puluh orang satu kelas dan yang hadir lima belas orang, sudah sangat Shiena syukuri.

“Repot amat bawa kado segala. Orang gue undang kalian tuh buat dapat makanan gratis. Ini malah bawa kado. Uang jajan kepotong berapa, tuh?”

“Lima belas ribu, Shi. Cukup nguras kantong. Cia gaya-gayaan suruh kumpul lima belas ribu, padahal sepuluh ribu juga dapat kado. Lima belas kali tiga puluh orang, berapa tuh lo itung sendiri,” celetuk Rehan disertai curhatan.

“Yee.. lo pelit amat lima belas ribu doang. Itung-itung lo bisa makan gratis disini. Nombok berapa kali pun nggak bakalan di tagih,” balas Cia tak kalah sengit.

“Ya, iyalah. Harus itu. Rugi dong gue kalo udah patungan, malah nggak dapat makan gratis. Makanya gue bela-belain datang.”

Teman yang lain hanya diam mendengarkan. Sudah biasa melihat pertengakaran keduanya. Yang satu keting dan yang satu tukang tagih uang kas alias bendahara.

“Udah sana turun cari makan kalo gitu. Makasih kadonya,” usir Shiena pada keduanya dan berganti menyalami teman-temannya yang lain.

•••

“Masih kuat berdiri, nggak?” tanya Malik usai menyalami tamu terakhir. Melirik istrinya yang beberapa kali kedapatan menghela napas.

“Capek,” sahut Shiena jujur. “Laper juga.”

“Kamu duduk, biar saya ambilin makan dulu,” ketika hendak turun, Shiena langsung menahan lengan Malik. Seolah mencegahnya turun. “Kenapa?”

“Makannya anter di kamar aja, ya? Sambil istirahat. Perutku agak kenceng.”

“Oke, tapi barengan ke kamar. Kamu tunggu dulu saya ambil makan,” selanjutnya Malik pergi tanpa menunggu balasan sang istri

Shiena memandang punggung tegap Malik lekat lantas mengusap perutnya pelan. Entah lah, pikiran Shiena masih kosong tentang apa yang terjadi hari ini. Raganya hanya menuruti perintah impulsifnya.

“Banyak banget nasinya. Aku mana bisa habisin, Bang!” sungut Shiena ketika melihat piring yang di bawa Malik. Pinggiran piring keramik itu hampir tidak terlihat. Nasi segunung dengan aneka macam lauk pauk di sekelilingnya.

Malik ikut melirik piring di tangannya sekenanya dan membalas, “Kan makannya berdua.”

Malik akhirnya membantu Shiena berdiri dan merangkul pinggang istrinya menyusuri jalan menuju kamar sang istri.

“Kamu pake kemben, ya?” tanya Malik dengan tatapan menyelidik. Sepanjang acara tadi dia tidak terlalu memperhatikan lantaran sibuk menyalami tamu.

“Iya. Biar nggak terlalu keliatan perutnya.”

Helaan napas Malik begitu keras terdengar. Rasa pening di kepala tiba-tiba datang melihat kelakuan istrinya. “Gimana sekarang perutmu? Masih keram?”

“He'em. Masih,” jawab Shiena disertai ringisan kecil.

“Balik badan!”

Meski bingung, Shiena tetap menurut dan membalik tubuhnya menjadi membelakangi Malik. Namun apa yang terjadi berikutnya berhasil membuat tubuhnya menegang. Malik baru saja menurunkan resleting gaun pengantinnya.

“Eh! Abang mau ngapain?”

“Diam, Shiena!” Malik terus berusaha membuka gaun istrinya. “Lepas kembennya sekarang. Apa kamu nggak tau bahayanya menekan janin di perutmu? Tindakanmu sekarang sama aja percobaan pembunuhan?!”

“Siapa juga, sih, Bang yang mau bunuh bayi sendiri. Abang tuh mulutnya kelewatan.”

“Ck! Sekarang kamu lanjutin makan dulu. Nanti saya periksa kandunganmu.”

•••

Sumpah demi apapun Shiena sangat malu atas kondisinya sekarang. Perutnya yang terbuka tengah di sentuh-sentuh oleh suaminya yang bernama Malik. Rasanya berbeda ketika dr. Nilam yang menyentuh perutnya. Telapak tangan kasar Malik mampu menimbulkan gelenyar aneh di perut sampai dada.

“Bang, udah. Shi malu,” ungkap Shiena tanpa menatap sang lawan bicara.

Yang semakin membuat Shiena malu adalah reaksi Malik yang terlampau biasa-biasa saja ketika menyentuh sana-sini perut hamilnya. Agak kecewa juga melihat respon suaminya pada tubuhnya. Apa tubuhnya kurang menarik bagi pria matang seperti Malik?

“Gimana? Udah mendingan belum?” Malik mengabaikan tingkah istrinya yang merona.

Sesi memeriksa kondisi perut istrinya sudah selesai dan kini berganti dengan belaian lembut. Sesekali meremas perut yang sudah terlihat buncit itu dengan gemas.

“Abang, ih! Malu!” Shiena berusaha menurunkan kaos rumahan yang di pakaianya.

Untungnya acara sudah selesai dan pengantin juga tidak perlu lagi kembali ke pelaminan menunggu tamu. Biarlah itu menjadi urusan para orangtua yang menyambut tamu mereka sendiri.

“Malu kenapa? Lambat laun juga saya akan liat semua tubuh kamu, Shiena.”

Saat itu juga Shiena menampar tangan Malik yang bertengger di atas perutnya. “Abang mesum.”

“Lho? Kamu nggak mungkin kan punya pikiran kalau saya nggak bakal perawanin kamu?” tuding Malik memicingkan matanya.

“Shi, laporin ke Ibu lho, ya, kalau Abang ngomong kotor.”

“Yang mana kata-kata saya yang kamu bilang kotor?” Malik bertanya datar tanpa menunjukka emosi apapun.

“Itu yang bilang... bi-bilang mau perawanin,” pungkasnya.

Kini alis tebal Malik menukik tanda tak terima atas tuduhan yang ditujukan padanya. “Itu kamu bilang kata-kata kotor? Perawan itu kata yang sah penggunaan katanya.”

“Ya... tetep aja itu tabu di telinga, Shi!”

“Maka itu kamu harus sering dengar, karena masih banyak kata yang mungkin lebih kotor katamu itu yang akan terucap di mulut saya. Bahkan akan saya praktekkan langsung.”

Ini kok, Shiena merasa merinding mendengarnya. Seolah itu adalah sebuah ancaman baginya.

“Kok, bisa sih Abang reaksinya biasa-biasa aja? Nggak malu apa ngomongin perawan di depan, Shi?” ini Shiena yang polos atau apa? Mendadak lupa ingatan soal profesi suaminya.

“Saya dokter. Kata-kata seperti perawan, vagina dan penis sangat sering diucapkan setiap hari,” tukas Malik secara gamblang tanpa sensor.

“Udah, ah! Aku males ngomong sama Abang. Omongannya mesum melulu,” Shiena kemudian bangkit setelah membenarkan pakaiannya. “Gini amat nikah sama om-om. Mesum!”

•••

•to be continued•

Pregnant Still VirginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang