7.

5.5K 570 51
                                    

..



Viva menunduk lemas di area dapur. Setelah mendengar ujaran sarkas dari Avey, Dia merasa cukup terluka.

Meski begitu, Dia faham mengapa Pangeran merasa begitu, karna mungkin Beliau iri dan membuatnya bertinkah seperti demikian.

Viva mendengus. Di umurnya yang ke 30 ini, kenapa harus mengurus Anak kecil yang bahkan selalu membuat susah sang Raja.

"Apa tugasmu hanya duduk seperti itu?"

Viva tersentak. Mendongak mendapati kepala dapur menatapnya tajam.

"Jangan mengganggu Orang lain dengan dengusanmu. Pergi."

Viva segera pergi dengan panik dan ketakutan.

Dylan yang melihatnya hanya melirik kesal. Harusnya Dia mencarikan pelayan baru untuk Avey.


..


Alina menatapnya dari kejauhan. Avey yang dulu amat bodoh dan hampir setiap hari melakukan hal buruk itu, kini terlihat menjadi lebih diam.

Meski perkataan konyol yang selalu di keluarkan Anak itu cukup mengganggu.

Aline secara sadar tahu, bahwa ada yang tidak benar dengan perilaku Anak itu semenjak terakhirnya Anak itu kabur.

Namun tetap saja, Dia menolak imaginasinya yang menyeru bahwa Anak itu telah di serupai oleh makhluk lain dan menyingkirkan pemilik aslinya.

"Apa yang Kau lakukan?" Alina berucap saat setelah sekian lama merasa adanya itensitas manusia di belakangnya.

"Dimytri?"

Dimytri, Pangeran kedua setelah Dylan. Berdiri di belakangnya, sama-sama melakukan pengamatan pada si kecil Avey.

Alina tak berbalik dan membiarkan Dimytri berdiri di sampingnya.

"Ternyata bukan Aku saja?"

Alina meliriknya, Dia merasa Dimytri menaruh banyak penasaran pada Avey.

"Kondisikan matamu Dimytri!"

Avey itu, Dia hampir saja terjatuh akibat tatapan menilai Dimytri. Tentang kelihaiannya melumpuhkan siapapun dengan tatapannya.

Tapi, mendengar teguran Alina-pun, Dimytri tak kunjung menurunkan matanya. Dan menjadi alasan Alina.

Menembakkan sihirnya pada Dimytri hingga Remaja itu terpental ke tembok tak jauh dari mereka.

Alina segera berlari menyusul Avey meskipun jarak mereka terbilang jauh.

"Sial, sial. Sial!"

Dia terus berlari. Menghampiri Avey yang sudah luruh dengan lutut sebagai penyangga.

Dia terus berlari hingga tanpa sengaja menabrak sulungnya. Namun tetap saja Alina tak peduli.

Membiarkan kesan wibawa tingginya runtuh begitu saja akibat kekhawatirannya pada si bodoh itu.

"Ayo!" Ujarnya dengan nafas memburu. Menuntun Adiknya untuk di bawanya pergi ke dalam kamar.

"Aku tau ini pasti sakit. Tapi tunggu lah sebentar."

Dia terus membawanya menuju kamar, Alina khawatir setengah mati. Bahkan saat Dia bertanya apakah sangat sakit, Adik bodohnya itu sepertinya sangat kesakitan hingga tak bisa menjawabnya dengan benar.

Di tambah tangan yang terus meremat perut itu, membuat Alina makin merasa buruk.

..

Avey sibuk melamun di depan taman. Bukan apa, hanya saja Dia memang menyukainya.

Lelah sekali sedari tadi berlatih tata krama kerajaan.

"Sejauh ini, gue sadar, pelatih di sini, ngga segalak Ibu, gue dulu salah aja pantatnya di pukul." Ujarnya nelangsa.

Avey lalu menyilangkan kedua tangan dan menatap pohon.

"Lu kalo jadi gue gimana?"

Avey, rupanya sudah gila.

"Pasti lu ngga percaya kan kalo gue transmigrasi?"

Matanya menajam, wajahnya makin mendekat pada pohon di depannya.

"Apa ya ... ya gue tuh kaya ngga percaya aja gitu."

Avey terus mengajak bicara pohon terus menerus. "Gila gue kayanya."

Tapi, tak lama dari itu. Avey memegangi perutnya, dan tanpa sengaja hampir tersandung hingga Ia harus menjaga tubuh dengan kedua lututnya.

"Duh kebelet eek."

Avey mengernyit sebal. "Mang boleh sekebelet eek ini?"

"Ayo!" Alina tiba-tiba mendekatinya. Memapahnya dengan tergesa.

"Aku tau ini pasti sakit. Tapi tunggu lah sebentar."

Avey menggaruk pipi kanannya. 'Loh, tau aja Dia gue lagi kebelet ya.'

Tapi meskipun begitu. Dia tetap mengikuti arahan Alina yang membawanya entah akan kemana.

'Tapi gue kan belom berak seminggu di sini.' Avey merengut sedih.

Saat tubuhnya di tidurkan di kasur, Avey menatap Alina dengan heran.

"Apa sangat sakit?"

"Huh? Eh- apa? ... iya." Avey menjawab pertanyaan Alina dengan bingung.

Dia ini, ingin buang air besar, kenapa malah di rebahkan di atas ranjang? Memangnya ini ranjang sakti yang bisa menyembuhkan rasa mulasnya? Pikir Avey.

Dia masih terus memegangi perutnya.

"Sebentar, Kakak panggilkan perawat!"

Alina berlari meninggalkan Avey yang sibuk kebingungan di sana.

"Tapi gue engga sembelit tuh? Ngapain di panggilin Perawat?"

..

Dymitri jujur masih bingung. Dia tidak berniat menyakiti Adiknya.

Dia hanya tanpa sengaja melayangkan tatapannya yang di nilai bisa menyakiti Orang lain. Selain itu juga, Dia tidak berniat membunuh siapapun.

Tapi reaksi yang di dapat Avey, Adiknya itu. Sungguh membuat Dimytri merasa amat buruk sebagai seorang Kakak.

Dimytri memukul kepalanya sedikit kencang.

"Ah sial!"

Netranya menangkap Alina yang tergesa-gesa bersama tabib di belakangnya.

Dia luruh di lantai. Semakin merasa bersalah. Tapi tak selang lama. Anak yang kiranya tengah kesakitan malah berlarian di kejar Alina dan sang tabib.

"Aaaah!!!! Orang di bilang mules!"



..






Bloviate.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang