11.

6.2K 709 50
                                    



..


Genap satu minggu di sini. Membuat Avey merasa sedikit lelah.

Di setiap langkah kakinya. Para siswa mulai menatapnya dengan sinis. Di manapun dia berada. Di situ juga ada gunjingan.

Beberapa dari mereka bahkan mulai mencemoohnya. Mengatakan rumor-rumor menyebalkan yang membuat semua Orang menjauhinya. Jujur saja, itu cukup menguntungkannya.

Apa lagi Dia malas berinteraksi dengan siapapun di sini.

Apalagi Orlo yang tengah menatapnya dengan pandangan mengejek. Duduk di bangku yang sedikit jauh darinya.

Bergerombol bersama beberapa perempuan dan laki-laki seumurannya.

Bahkan saat makan pun. Banyak yang menggunjingnya. Seolah potongan daging itu sangat sulit di telan di dalam tenggorokan.

"Bagaimana rasanya mendapat gunjingan?"

Orlo bersama para pengikutnya berdiri di depannya dengan berani. Mengangkat dagu seolah mereka amat begitu di segani.

"Jadi ... Kamu sumber dari segala omong kosong ini?" Avey mengangkat alisnya sembari bertanya.

Melihat tingkah laku Orlo yang tiada malu, tentu membuatnya sedikit terhibur. Ini adalah karnaval badut baginya.

"Bagaimana, kamu bisa mengatakan ini sebagai omong kosong, jika semua orang percaya omonganku."

Avey merasa daging bekas makannya terselip di sela gigi. Dia memasukkan jari telunjuknya untuk membersihkannya.

"Kamu sangat tidak cocok menjadi pangeran!" Ketus salah satu pengikut Orlo.

Tentu saja itu tak menyinggung Avey. Dia hanya menatap perempuan itu payaknya kotoran.

"Lalu siapa? Anak dari selir itu?"

Wajah Orlo memerah. Hendak maju dan menghajar Avey yang sudah tak peduli lagi padanya.

"Jaga mulutmu!"

Avey menempatkan tangannya pada kedua sisi sudut bibir, bergerak seolah akan bersorak.

"Sudah ku jaga."

Perkataan Avey. Makin membuat suasana memanas. Para pengikut Orlo yang makin memprovokasi dan mendorong Orlo supaya segera mendapatkannya.

"Kau tak akan sanggup melawanku!" Teriak Orlo.

Avey berdecak. Mempertahankan posisi yang sama seperti menjaga area mulutnya.

"Akan ku sebarkan rumor lebih gila lagi. Dan kamu tidak akan betah di sini!"

Avey mengernyit. Merotasikan bola matanya malas. "Apasi jamet."

Dengan begitu. Api yang menyala hanya milik Orlo. Avey santai dan tak merasa terbebani. Sayang sekali.

"Akan ku pastikan! Kamu mendapat gunjingan yang setimpal!"

Orlo segera membalikkan tubuhnya, meninggalkan Avey, bersama teman-temannya Ia pergi sembari merencanakan hal buruk untuk Avey.

Avey meminum air putih di gelasnya. Berjalan pelan mengikuti arah mereka. Hingga saat mereka mulai memasuki taman. Avey berjalan lebih cepat.

Melompat sedikit tinggi dan menendang punggung Orlo hingga terjungkal.

"Gunjang-gunjing. Gunjang-ganjing. Lama-lama, palamu tak genjreng, mau?"

Orlo di bantu para temannya bangkit. Wajahnya kotor dan dedaunan penuh tanah basah menempel di rambut ikalnya.

"Aku jujur. Jangan salahkan Aku, jika Kamu tidak terlahir menjadi Pangeran."

Avey mendekat dan mencengkram bahu Orlo dengan keras. Orlo paling tidak harusnya merasa tulang bahunya patah.

"Salahkan Ibumu, mengapa Dia mengajukan diri sebagai selir."

Avey segera pergi dari sana. Sesaat setelah menpuk bahu yang di cengkramnya seolah membersihkan debu.

"Kamu tidak perlu menjadi pecundang. Jadilah sampah."

"Untung ngga tak tempeleng mukamu."


..


Avey berjalan dengan santai di pinggiran taman. Dengan rekrutan teman baru sebagai pengikutnya.

Siapa lagi, kalau bukan tikus yang Ia temukan di kolong kamar asramanya.

Itu menjijikan. Tapi Avey memang memberikannya untuk Orang yang Ia hormati di sini.

Ketika matanya menangkap objek yang sedang Ia cari, Dia mendekat dengan cepat. Dan menemuinya.

Tikus itu di angkat ekornya. Melemparkannya pada siapa? Yang tengah duduk di sana.

Jeritan dan pekikan keluar dari kelompok yang di sebutnya pecundang. Avey terbahak-bahak di tempat.

Si pecundang yang di sebut Avey, berdiri dan mencari pelakunya. "Mave!" Teriaknya tak terima.

Avey tertawa menanggapinya. Membiarkan Dia, mendekat ke arahnya. Bahkan saat Dia akan meraih tubuhnya. Avey lebih dulu melemparkan kaus kaki bau miliknya.

Orlo terjatuh. Perutnya mual dan isi perutnya ingin keluar. Cengiran Avey Ia dapatkan saat Ia mendongak menatapnya.

"Apa? ... enak kan, baunya?"

Para pengikut Orlo memiliki keraguan untuk membantu Orlo, atau melawannya. Mereka mungkin memikirkan resiko terburuk untuk hal-hal seperti ini.

"Ku tandai muka kalian semua, yang sudah membuatku seperti ini."

Ujaran dengan nada keras khas milik Avey membuat mereka ragu. Apa mereka akan membiarkan Orlo seperti itu.

"Apa! Kamu bahkan tak bisa berbuat apa-apa! Jangan bergaya menjadi paling kuat di sini!" Teriak Orlo.

Para pengajar harusnya mendekat jeritan Anak itu, 'ya ... kalo mereka ngga budek juga, mereka kan udah tua.'

Avey menaruh kedua tangannya di saku. Menatap mereka semua hina.

"Akan ku katakan pada Ayah. Bahwa kalian telah merundungku dengan begitu buruk." Kata Avey.

Dia menatap Anak para Bangsawan satu persatu. Benar-benar menandai mereka sesuai apa yang Ia katakan.

"Woy tompel! Sini lo!"

Remaja laki-laki dengan tanda lahir hitam besar di lehernya di panggil Avey. Dengan tubuh besar dan tingginya itu, tak cukup membuatnya berani pada Avey.

Terima kasih atas pertunjukannya di hadapan Orlo.

"Minta."

Tangan Avey meraih roti isi kacang merah. Tidak ... dari pada meminta, Dia lebih seperti merampok.

Semua yang ada di tangan Anak itu, Sudah beralih di tangan Avey dengan nyaman.

"Siapa kamu sebenarnya hah!?" Orlo berdiri dan menodongnya dengan jari telunjuk.

Avey menunjuk dirinya sendiri.

"Aku?"

Orlo dan semua orang mengangguk. Avey meregangkan lehernya. Menaruh roti di sakunya hingga penuh.

Dia memposisikan tangannya di depan tubuhnya. Seolah ingin mencakar mereka.

"Aingggg mauuuunggg!"

Mengaum layaknya Orang kerasukan. Meninggalkan mereka semua dengan wajah pucat dan trauma yang mendalam bagi jiwa orang masing-masing.






..








Bloviate.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang