25.

1.8K 159 8
                                    

..

Sebongkah potongan tangan berada di hadapannya. Mave yang baru saja sampai di akademi bergumam tak percaya.

Dia tidak berada di kerajaan sampai berbulan-bulan. Satu minggu pun sepertinya kurang. Namun ada apa dengan semua ini?

"Apa yang sebenarnya terjadi?"

Kepala akademi yang berada di sampingnya bernafas dengan gusar. Gurat wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan, beserta ketidak percaya diri an yang membuat Avey cukup paham akan perasaan itu.

Dia tetap berdiri di tempatnya. Lalu ketika beberapa siswa senior mendekat ke arah Kepala Akademi, Mavey mundur selangkah, memberi mereka ruang.

Namun, punggungnya di tahan, "Tidak apa-apa, bergabunglah." Kata senior yang bahkan tak menatap wajahnya.

"Jadi, Di mana kita akan berkumpul, Pak?"

..

Lalu, mereka semua di sini. Di ruangan besar milik Kepala Akademi. Cukup untuk mudah di pahami, tujuan apa yang tengah berusaha mereka sampaikan. Namun, mengapa dirinya di sini?

Mavey jadi merasa sedikit skeptis. Apakah dia akan di jadikan tumbal? Tidak. Mengapa juga dia harus di jadikan tumbal?

Ya kan? Tidak mungkin.

"Bagaimana?"

Kepala Akademi. Pada akhirnya membuka suara setelah sekian lama. "Robert, bagaimana menurutmu?"

Mavey ikut meluruskan pandangannya seperti Kepala Akademi yang tengah menatap Siswa senior yang di panggil Robert. Sedangkan Siswa itu hanya menatap balik Kepala Akademi dengan pandangan yang -Mavey sendiri cukup tahu- Itu menggeltik.

"Sejujurnya, Kepala Akademi, Kau seolah-olah terus menerus mengandalkan kita, benar?"

Dengan tampilan manisnya, ujaran sarkas itu cukup mengejutkan Mavey yang sedari awal hanya terdiam. Mungkin harusnya Siswa itu menjawabnya dengan senyum dan hangat, namun dia tidak.

Kepala Akademi hanya tertawa, mydah di ketahui jika keduanya cukup memahami satu sama lain dengan respon keduanya.

Mavey terbatuk kecil. Dia melirik Kepala Akademi dan perlahan bangkit dengan membungkuk. "Pak, saya boleh keluar sekarang-"

"Tidak."

Bukan, bukan Kepala Akademi yang menjawab, melainkan siswa di samping Robert. Entahlah, dia bahkan tidak tahu namanya.

"Oh- janganlah kamu agresif seperti itu."

Maka dengan itu, Mave sadar. Mereka semua menatap dirinya. Oh? apa ada yang salah dengannya?

"Davon, sebaiknya jangan terlalu keras."

Mave menyipitkan kelopak matanya. Seolah dia familiar dengan Davon, cukup baginya mengingat sebenarnya, namun entah mengapa ingatannya tumpul kali ini.

"Kamu." Davon menunjuk Mavey.

"Kembali duduk." Perintah itu terdengar tegas. Mavey sendiri heran, mengapa seolah-olah dia tengah di perlakukan seperti pesuruh kali ini.

"Mavery, silahkan duduk kembali."

Namun sulit juga menolak, ah wewenang kerajaan sialan, dia bahkan tidak cukup kekanakan untuk dengan mudah melakukan hal-hal seperti itu.

Jadi yang hanya bisa ia lakukan hanyalah menurut. Dia duduk dengan perasaan muak, melirik sinis Davon yang kini tak mau melihatnya sedikitpun.

"Seperti yang di ketahui, itu jelas-jelas teror, pembantaian yang sangat keji, tak ada lagi yang bisa di perbaiki." Kata Kepala Akademi.

Mave merotasikan bola matanya. 'Gue juga tau kocak.' Batinnya mengolok.

Tangannya terangkat pelan, mengambil kue kering, hidangan. Dengan upaya lebihnya supaya tidak di sadari.

Namun saat gigitan pertama terjadi, suara renyah makanan tersebut segera membuat Mavey menunduk, tentu saja, mereka harusnya tahu apa yang tengah di lakukan bocah kecil itu di ujung sana.

Kepala sekolah mengerjap. "Mavery?" Panggilnya.

Yang di panggil bergumam. Oh, rupanya anak itu sudah memasukkan semua makanan ke dalam mulutnya.

"Mavery, apa yang sedang kamu lakukan?" Tanya Kepala Akademi mengulang.

Dengan perlahan, Mavey mengangkat kepalanya, memperlihatkan pipi penuhnya. "Astaga, apa kamu babi?"

Semua orang menganga atas pernyataan Davon. "Kurang ajar ni bajingan atu ya."

Tangan Mavey terangkat hendak memukul Davon jika saja, Riana tak mencegahnya.

"Mau aku babi atau bukan, itu bukan urusanmu. Dasar kuda."

Kuda?

Davon menyipitkan kelopak matanya, sialan. apa dia baru saja di panggil kuda?

"Kuda? ___apa kau baru saja memanggilku kuda? babi?"

oh, Mavey sudah tidak tahan lagi. Dia bangun dan menggebrak meja.

"Kelahi kah?! sini maju!"

Keduanya pada akhirnya terlibat perkelahian, meskipun mereka di tahan oleh beberapa dari mereka.

Mavey yang tidak terima di panggil babi, dan Davon yang tidak terima di panggil kuda.

Suasana ruangan sudah jauh dari kata kondusif, keduanya sulit di tenangkan. Sedangkan Kepala Akademi sendiri pun sudah cukup lelah dengan mereka.

Hingga terdengar suara pintu di banting.

"Berhenti!"

Dalam sekejap, suara ramai itu tenggelem. Menimbulkan keheningan yang di inginkan.

Mavery yang melihat Florence tepat di ambang pintu pun, maju mendekat, sebelum ternyata sudah di dahului Davon.

"Sayang, ___lihatlah dia." Tunjuknya pada Mavey.

Yang di tunjuk tengah berjaga-jaga. Sial, ada apa ini. Sayang? yang benar saja?!

Florence mengernyit. Melepas pegangan Davon pada kedua bahunya. Dia mendekat pada Mavery yang kini tengah berdiri seperti Orang bodoh.

"Apa kau terluka? Avey?"

Mavery menggeleng, membiarkan Florence menggenggam tangannya. Menghiraukan Davon yang sudah berapi-api di belakang Florence.

Laki-laki itu kembali membuka mulut, hendak memanggil Florence kembali  "Sa-"

Namun sayang. "Apa yang kau lakukan pada Adikku Davon?"

Davon kehilangan kata-kata. Adik?

Si babi itu?

"Aku mendengar suaramu Davon. _jika terus memanggil adikku dengan panggilan Babi, akan ku bunuh kau."

Mavery tertawa dalam batinnya. puas menertawakan Davon yang diam tak berkutik.

Lalu Florence menggandengnya. mengajaknya keluar dari ruangan. melewati Davon yang mengepalkan kedua tangannya.

Mavery terkikik. mendekat pada Davon dan berbisik. "Lagi santai kawan?"




..







Bloviate.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang