23.

780 98 0
                                    





..

Mavery di serang secara mendadak oleh orang yang tak di kenal. Dia menunduk melihat lengannya yang tersayat dan mengeluarkan banyak darah. Menetes dan jatuh pada rumput yang hijau.

Rumput itu__ berubah menjadi abu. Hingga Mave beberapa kali mengerjap. Menyadarkan diri dari perasaannya yang di kira tengah berhalusinasi.

Apa darahnya terbuat dari bara api? Mavery terkikik. "Mang eak?"

"Pangeran!"

Beberapa pengawal berlari ke arahnya. Melihat tangannya yang luka, mereka melotot ngeri. "Siapa yang berani melukai anda! Pangeran!"

Mavery melirik mereka tak santai, "apasi ah, berisik."

Para prajurit mendekat kembali. "Ayo pangeran, segera kembali ke dalam. Atau Raja akan marah." Ujaran tegas itu membuat Mavery merotasikan bola matanya.

"Mang ea?"

Tidak ada yang menyadari abu yang mulai tercipta dari tetesan darah Mavey yang merusak rumput itu. Hingga mereka bahkan melewati hal penting untuk di laporkan. Membiarkan penyusup menatap Mavey dengan kepahaman yang hanya ia ketahui.

"Jadi___ tipe healer seperti apa kamu?"

Dia menghilang dari balik tembok. Meninggalkan benda tipis berwarna putih, dengan gradasi lilac di tanah. "Aku akan kembali lagi, Pangeran."

Mavery menoleh, melihat kelopak bunga tulip. Yang entah bagaimana bisa terlihat dari kejauhan. Itu sedikit mengagumkan.

Mavery tertawa kencang. "Perasaan belum operasi mata, udah jelas aja nih. Apa karna makan makanan kelinci?"

Lalu dengan perasaan herannya, Mave jadi bermonolog ringan. "Apa jangan-jangan gue siluman kelinci? __dih? Mana kece."

Mengabaikan para pelayan yang terkejut akan lukanya, bersama beberapa pengawal yang juga mengejarnya.

Melangkah dengan santai. Dia melihat pintu yang cantik. Mave mendekat dan menyentuh bingkai pintu emas itu. Silau dan terlihat mahal. "Gue jual aja kali ya."

Kemudian dia hendak kembali berjalan. Sebelum mendengar suara familiar yang cukup lama tak ia dengar. "Si Dylan apa ya?"

"Pangeran__ tolong perhatikan langkah anda! Tanganmu masih meneteskan banyak darah!"

Mavery menyipitkan matanya. Menatap si pelayan dengan jari telunjuk yang terangkat menunjuk. "Apaci kamu bicik."

Mavery membuka pintu dengan tangan kirinya yang tak terluka. Lalu segera mencari keberadaan Dylan. Baju dinaa yang terlihat sungguh keren di matanya. Mavery melongo iri.

Dia menarik nafas. Melihat percakapan mereka yang terlihat serius. Mave membuka suara. "Kakak ___sedang apa kamu di sini?"

Melotot ngeri saat di rasa ketiga dari mereka berlari ke arahnya. "Apaan ini bjir, ape ni."

Mavery sudah berjaga-jaga untuk berlari, takut dengan suara ketukam sepatu yang terdengar nyaring. Namun refleks takutnya malah membuat darah yang menetes itu menyengatnya.

Mavery berteriak keras, kesakitan yang merenggut kewarasannya menimbulkan banyak pertanyaan dari dirinya sendiri. Menunduk dengan lidah yang ia gigit untuk berusaha menghentikan rasanya yang ingin berteriak. Darah itu membeku.

Terlihat seperti kuku tajam yang sudah siap menerkam siapapun. Ketika rasanya ingin mencabik siapapun yang berada di hadapannya. Mavery segera menyadarkan diri dengan kakinya yang membawanya berlari. Dia berteriak memperingati.

"Jangan kejar aku!"

Hingga saat itu, suara lantang darinya di kira kemurkaan atas keteledoran yang telah mereka lakukan pada Mavery. Itu menakutkan.

Hingga Oliver, Rosaline dan Dylan tanpa sadar menghentikkan langkah cepat mereka. Dylan menunduk memihat tangannya yang gemetar. 'Apa-apaan itu?'

Sedangkan Rosaline tertegun dengan kilatan kepanikan dari mata Mave. Dan darah yang entak mengapa terlihat mengerikan di matanya.

..

Mavery bersembunyi di rumah kaca yang entah milik siapa. Dia terduduk di sudut ruangan dengan bunga skelton lily yang terlihat cerah.

Mavery menggigit bibirnya untuk terus menahan rangsangan nyeri di tangannya. Seolah kukunya tengah di paksa untuk lepas.

"___Avey?"

Panggilan itu menambah kepanikannya. Mavery dengan segera berdiri dan menajamkan pandangannya. Ketika pandangannya sudah tak kabur, Mave melihat Wanita dewasa dengan helaian rambut tangerine, yang tergerai lebat dengan sematan mutiara, di ikatan rambut setengahnya.

"Ibu?"

Dia, tersenyum. Mendekat ke arahnya sebelum merasa ada yang aneh dengan keadaan Mavey. "Kenapa kamu di sini Avey? __bukankah kamu masih sibuk di istana?"

Selir Naya panggilannya. Tapi dengan refleks Isa yang di bantu Mavery, Ia tanpa sadar memanggilnya ibu. Namun dengan ketenangan itu, sepertinya Selir Naya sudah biasa di panggil dengan panggilan tersebut.

Mata bambi dari selir Naya yang mengamatinya, membuatnya segera mengambil tangan Mavery tanpa di sadari. Hingga saat usapan yang mulai terasa. Mavey menunduk melihat tangan Naya yang hinggap di punggung tangannya.

"Avey, mau di sini? Atau kembali ke istana?" Pertanyaan ringan yang membuat Mavey kesulitan menjawabnya. Dia bingung atas jawaban apa yang harusnya dia berikan.

"Oh? ___si pemandu ada di sini?"

Keduanya terdongak. William tengah berdiri dengan sengak di hadapan mereka. Tapi tawa kemudian mengudara saat Mavey hanya menatapnya ragu. Kenapa William bisa ada di sini?

Hingga ia baru tersadar. Saat William mengangkat tubuhnya. Di gendong seperti anak kecil. Namun dengan kenyamanan, Mavey menerimanya tanpa memberontak.

Kesakitan yang ia rasakan bahkan berangsur mulai meringan, tak terlalu membuatnya ingin pingsan.

"Ibu, apa perlu aku bawa Avey ke poisoning-ku"

(Kamar kerja penghasil racun beserta penawarnya sekaligus.- milik dari William yang di wariskan oleh sang ibu, Naya.)

Selir Naya tak menjawabnya. Namun juga tak kunjung berhenti. Suara lirih itu membuat Mavey jatuh tertidur nyaman. "Bawalah, __jangan biarkan adikmu kesakitan, William."

William mengangguk. Mengusap-usap kepala Mavey yang tenang di bahunya. Tentu di melihat setajam apa kuku yang timbul akibat perasaan panik itu.

William adalah pengamat, sekaligus penguji di menara healer. Tentu segala keunikan dan kejadian mengerikan di dalamnya, ia ketahui dengan pasti. Sial- mengapa harus adiknya?

"Wil- oh. Kenapa Avey ada di gendonganmu?"

William menendang kaki Charlotte saat anak itu tiba-tiba ada di sampingnya.  sedangkan itu, Charlotte malah asik memegangi betisnya yang kesakitan. Tak patott

Mavey tergerak. "Will- masuklah dahulu. Ibu akan menyusul setelah mengambil kelopak bunga Lily."

William tak menjawab dengan ucapan, sebagai gantinya, ia mengangguk dan menghilang begitu saja. Teleportasi panggilannya.

Charlotte merotasikan bola matanya jengkel. "William keledai yang menyebalkan."

"Ah- sial. Mana ku tau aku akan di tinggal!" Dia menoleh pada sekarung besar mahkota bunga mawar.

"Lalu bagaimana caranya aku membawanya William!!"

Bloviate.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang