..
Mave tengah berbaring. Mendengarkan percakapan 2 arah yang ada di hadapannya. Manyun. "Cedi banget aku di cuekin."
Dia segera memasang wajah julidnya. "ew- thats sure not me."
Mave mendengarkan mereka dengan seksama. "Itu karna usianya yang belum mencukupi, anak kecil in-"
"Jangan panggil aku anak kecil paman." Potong Mave.
Kedua dari mereka menoleh padanya dengan guratan wajah keheranan. "Lalu aku harus memanggilmu apa ___paman?" Ujaran yang terbalik membuat Mavery memicingkan matanya, Mave menjawabnya dengan ujaran kesal.
"__shibal anyeong."
Mavey kembali diam. Membiarkan William dengan entah siapa namanya, berbicara lagi.
"Selanjutnya Evan, Mavey memang cukup untuk menjadi sebuah pemandu, meski begitu, Avey perlu tongkat untuk selalu berada di sampingnya."
Mavey menyipitkan matanya. "Tongkat? Emang kaki i udah ngga bisa pake kali, di kiranya."
William, dan Evan hanya menggelengkan kepala saat Mavey kembali mengoceh. Mereka kembali melanjutkan percakapan.
"Itu, pendamping. Bukan benar-benar tongkat. Anak kecil."
Evan menyugar helaian rambutnya. Warna pirang yang membuat Mavey iri di buatnya. "Ih pengen juga."
"Untung ngga belok."
Mave segera bangkit. Meninggalkan mereka berdua tanpa pamit. Berjalan-jalan, memikirkan apa yang telah terjadi pada dirinya sebelumnya.
Langit yang mendung membuat Mavey teringat pada Ibunya, "ibu lagi apa ya? Gue ilang di cariin ngga kira-kira?"
Dia tertawa kecil.menjadi raut sendu yang menggugah hati ingin di curahkan. Lalu ketika rintik-rintik air gerimis turun, Mavey tetap berada di tempatnya. Mengamati jembatan kecil melengkung yang terdapat banyak ikan hias dibawahnya.
"Paan tuh?" Avey mendekat. Lalu menunduk mengamati gerakan ekor ikan yang terlihat gemulai.
Dia mengerjap. "___lele?"
Memandang lele dengan lamat. "Masih inget gue ngga le? Kan kapan laku gue pernah makan temen lu di pecel lele itu. Inget ngga?"
Mavey terdiam lama, lalu dia berujar. "Ya gue ngga maksa kok, gue juga ngga bermaksud ngebuat lo keinget sama trauma-trauma kelam lo."
Hujan turun deras. Mavey mengumpulkan rasa sedihnya. Berjalan dengan perlahan. Menapaki tangga yang tersusun lurus di antara bebatuan. Lalu ketika tengah merenung, Mavey mengangkat kepalanya.
Merasakan guyuran hujan deras menyerbu wajahnya. Rasa tajam yang menusuk kelopak mata yang melindungi penglihatannya. Mavey menghela nafas lirih. Mengangkat kedua tangannya dengan perlahan.
Mulutnya bergumam. Hingga suara petir membuatnya membuka mata dengan segera. Mulutnya terbuka. "A~ku mering~ a~ku meriang."
Gerakannya terhenti. Mavey mengusap hidunganya. "Males ah, ntar pilek."
Hingga panggilan dari Orlo mengejutkannya. Ketika dia hendak berbalik menoleh. Kepalan tangan sudah berada di hadapannya. Mavey tersungkur.
Menghantam rahangnya hingga terdengar bunyi retakan. Itu terdengar menyakitkan. Mavey rasa tulang rahangnya patah. Hingga ia terus menahan rahang dengan telapak tangannya. Khawatir itu akan terjatuh.
Mavery yang masih berada di tanah penuh rumpuut itu mendongak. membuat Orlo menatapnya congkak. Kesalahan apa yang di perbuat hingga membuat Orlo sebegitu memperlakukannya.
"Ada apa lagi? ___Orlo?"
Rahang Orlo terlihat mengeras. "Kau mengambil tongkat yang sudah ku incar!" Kakinya terangkat. Hendak menendak Mavey.
"Sialan kau!" Umpatnya. Tendangan itu benar-benar di terima Mavey dengan ketidak inginannya. Sungguh miris.
Tak ada seorangpun di sini. Hanya mereka berdua hingga Mavey rasanya ingin membunuh Orlo sekarang juga. Itu malah menakutinya, karna pikirannya terus menghasutnya untuk melemparkan mantra pada saudara beda ibu-nya itu.
Mavey terus menolak keinginan itu. Akan jadi masalah besar jika hal itu benar-benar terjadi. Mungkin ia akan di asingkan. Atau konsekuensi terburuknya dia akan di hukum mati. Bagaimana ini? ___Mavey menahan rasanya murka.
Lalu, berteriak dengan amat kencang. "Argh!!"
Dia berlari menjauhi Orlo. Membiarkan Orlo di basahi rasa ketakutan. Entah apa yang akan terjadi jika mereka tahu Orlo telah melakukan hal ini. Dia merenung bodoh. Melihat tangannya yang gemetar dan merah.
'Sial.'
..
"Pull me out!!" Teriakan yang memekakkan telinga itu membuat semua orang merinding. Tubuhnya di tarik sejumlah manusia dengan seragam hitam mereka. Tudung yang menutup kepala dan topeng yang menutup wajah.
Itu menakutkan. Mavey berontak dengan keras, membawa banyak kekuatan untuk menyingkirkan mereka, tapi itu begitu sulit. Sangat sulit hingga rasanya Mavey lebih baik bertarung bersama Professor dari pada sekumpulan orang-orang menakutkan itu.
T
etapi apa? Kekuatan apa yang dapat menyiksanya seperti ini? __hingga Mavey sendiri keheranan dengan kemampuan hebatnya yang menghilang. Isa berteriak! Mencari-cari keberadaan Mavey yang menghilang di saat-saat seperti ini.
Isa butuh bantuan Mavey! Sekarang juga!
Linangan keringat dingin yang mengucur. Perasaan takut yang mendominasi. Reflek kejutnya yang payah. "Mavey___ Mavey."
Samar-samar Mavery mendengar suara panggilan. Kepalanya mencari-cari di mana letak bantuan yang kiranya dapat menolongnya.
"___Mavey!"
"Ah! ___" Terbangun dengan kejutan yang membuat jantungnya memompa darah dengan cepat. Mavey terduduk dengan nafas tak teratur.
Tepukan lembut mendarat di bahunya. pelakunya selir raja yang tengah menatapnya dengan gurat penasaran. "Mimpi indah?"
Mavey yang tadinya hendak bertanya menjadi terhenti. Mulutnya yanh terbuka itu kembali mengatup rapat.
"Mimpi indah mbahmu."
Itu selir Sofia. Rambut pirangnya mengingatkannya pada si menyebalkan Evan yang memanggilnya dengan sebutan anak kecil. Mang ea??
Duduk setelah menaruh buah anggur di samping ranjangnya. Oh? ___ini bukan ranjang miliknya. "Sudah lama tidak sembunyi di kamar Evan, Anak kecil."
Mavey mengalihkan pandangannya dengan jengah. Kembali merebahkan diri dengan memunggungi selir Sofia yang tengah terkikik.
Cukup lama terdiam. Hingga selir Sofia membuka suaranya kembali. "Apakah__ kamu pernah merasa kelelahan? Mavey?"
Mavey memandang jauh pemandangan yang terhalang jendela. Diam memikirkan jawaban apa yang baiknya ia berikan. Hingga suara pintu membuatnya penasaran, Mavery menoleh dan mendapati Dylan di sana.
"Kenapa kamu terus mencoba lari, Avey?"
Mavey mengerjap. "Mampus aku."
..

KAMU SEDANG MEMBACA
Bloviate.
CasualeIsa hanya berniat membantu tetangganya. Siapa yang akan mengira bahwa Dia malah malah berakhir di sini? Slow Update. belum dapet ide. belum bisa lanjutin