•
•
•Sejak pagi buta, halaman sekolah sudah dipenuhi dengan lalu lalang murid. Mereka berjalan dengan antusias yang luar biasa, membawa beban ransel penuh buku pelajaran dan harapan.
Di lorong-lorong yang penuh warna ini, terdengar tawa, obrolan, dan langkah-langkah yang tak henti-hentinya. Setiap sudut sekolah menjadi saksi bisu bagi cerita-cerita kehidupan yang bermekaran di antara para siswa yang datang dari berbagai latar belakang.
Di antara keramaian ini, terdapat seorang gadis duduk termenung sambil menatap kursi yang belum diduduki oleh pemiliknya.
"Ayo, Bil, ke lapangan." Ucap Kathrina menyadarkan lamunan Sabille.
"Duluan, Kath."
Kathrina menghela napasnya melihat temannya begitu keras kepala. Tetapi ia mengerti akan perasaan temannya, ia lebih memilih meninggalkan Sabille sendiri.
"Ya udah, gue duluan ya."
Sabille memutar playlist nya sambil menaruh kepalanya di atas mejanya. Tak lama ia samar-samar mendengar pintu kelas dibuka, ia mengangkat kepalanya. Ia menatap wajah seseorang yang terlihat sangat tak tertata. Luka lebam menghiasi pipi nya. Siapa lagi kalau bukan Calva.
Entah rasa keberanian darimana, ia menghampiri Calva yang sedang merapihkan posisi tas nya.
"Calva."
Calva menengok kearah Sabille yang kini berdiri disisinya, ia tersenyum hangat. "Hai, Bil."
"Gue minta maaf." Calva mengerutkan alisnya saat mendengar kata maaf keluar dari mulut Sabille.
Sabille menunjuk wajah Calva yang dihiasi lebam, "Gara-gara gue, lo jadi kayak gini." Calva menyentuh wajahnya dan menggeleng pelan, "Nggak, jangan nyalahin diri lo, Bil."
Sabille menggelengkan kepalanya, "Gak seharusnya lo jadi kayak gini gara-gara Sabina."
"Kok lo tau kalau ini bekas pukulan dari Sabina?"
Sabina menarik napas nya untuk sedikit menahan bicara nya supaya tidak gugup di depan Calva, "Gue tau dari Natha. Cal, apapun yang Sabina omongin ke lo gue minta maaf, gara-gara gue lo jadi gini. Sabina bener, gue suka sama lo. Gue udah lama jadiin lo crush gue. Makanya gue gak bisa nerima dia. Gue minta maaf, Cal. Gue– "
Calva langsung menarik tubuh Sabille untuk dipeluknya, ia mengelus punggung Sabille untuk sedikit menenangkan nya mendengar suara Sabille sudah terdengar sedikit bergetar.
"Jangan nangis."
Mendengar itu justru Sabille meluapkan emosinya di pelukan Calva, ia meremas seragam Calva sampai punggung seragam nya terlihat lecak.
"Stop it, Sabille. It's okay.. Kalau lo masih nangis, gue ajak Sabina ronde kedua nih?" Sabille buru-buru melepas pelukannya dan mengelap air mata yang membanjiri pipinya, ia menggeleng kuat sambil menahan mati-matian tangisannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oxygen
RomanceDisinilah, dunia Sabille yang penuh dengan angan-angannya tentang Calva.