30. Tidak Tau Malu

230 15 1
                                    

Sudah menjadi hal yang tidak mengejutkan lagi dengan kedatangan Raisa yang suka tiba-tiba, seperti jalangkung, datang tak diundang. Namun, kali ini keadaannya berbeda. Wanita tidak tau malu itu datang di rumah orang tua Ares, yang mana pada saat ini keluarga besar sedang berkumpul. Ares pun sama terkejut dengan yang lainnya. Apalagi bisa dibilang hubungan Ares dan Raisa di masa lalu bukan lagi rahasia umum di keluarganya.

"Hai, semuanya. Udah lama ya, kita nggak ketemu." Raisa tersenyum hangat. Pagi ini memang seluruh anggota keluarga sedang berada di halaman depan rumah. Bersantai sambil menikmati suasana dengan cuaca yang sangat bersahabat. Matahari tidak terlalu terik menampakkan sinarnya. "Tante apa kabar?" Lanjutnya menyapa Tania, tetapi diabaikan oleh wanita paruh baya itu.

Seluruh anggota diam, mereka memperlihatkan ketidaksukaannya. Apalagi Tania yang sejak tadi menatap Raisa datar, seakan ingin segera mengusir. "Ada urusan apa kemari?" tanya Rere mengambil inisiatif, karena dilihat dari diamnya seluruh anggota dapat dipastikan mereka tidak ingin meladeni Raisa, termasuk Ares. Karena jika pria itu membuka suara, maka besar kemungkinan hubungan gelapnya dengan Raisa juga akan tercium.

"Mencari Ares," ujar Raisa tersenyum.

"Tidak bisakah melihat, kita sedang ada acara keluarga? Kamu bisa menemuinya nanti." Rere menekan akhir kalimatnya, menatap Raisa dengan tegas. "Jika ada kepentingan dengan kak Ares, setidaknya konfirmasi terlebih dulu."

"Aku sudah mengirimkan pesan padanya, kamu tidak membukanya?" Raisa beralih menatap Ares, menaikkan sebelah alisnya.

"Heran, udah dua ribu dua puluh tiga, masih aja ada cewek nggak punya urat malu." Silvia menyindir, ia juga muak dengan kedatangan Raisa. Memang sejak dulu, hubungan Ares dan Raisa juga tidak direstui seluruh anggota keluarga. Meskipun baik, tapi sebenarnya Raisa itu licik.

"Meskipun sudah mengirimkan pesan pada kak Ares, dia tidak ada kewajiban membuka pesanmu, kan." Rere tersenyum. "Lebih baik kamu pulang terlebih dulu. Masih ada banyak waktu untuk menemui kak Ares."

"Harus sedikit dikasarin, Re. Bibit pelakornya udah keliatan itu," celetuk Jihan sebelum membawa Hana masuk ke dalam dengan dibantu Reza-suaminya yang mendorong kursi roda Aji.

Tio juga tidak berminat dengan drama di pagi hari karena kedatangan Raisa, memilih untuk ikut masuk ke dalam rumah dengan membawa para cucunya. Biarlah wanita gila itu diurus oleh putri kesayangannya yang memiliki kesabaran seluas samudera. Lagipula sebenarnya, apa pun yang dilakukan Ares selama ini, Tio mengetahui tanpa terkecuali, termasuk kejadian beberapa bulan lalu yang menimpa Rere. Tio bukannya tidak peduli, ia menghargai keputusan mereka yang memilih untuk menyembunyikannya karena tau anak-anaknya itu tidak ingin ia dan Tania kepikiran dan khawatir. Lalu untuk hubungan Ares dan Raisa, Tio juga tidak ingin ikut campur pada urusan rumah tangga anak-anaknya. Ia juga yakin, Rere mampu menangani semuanya dengan bisa merebut Ares dari masa lalunya. Ia juga berharap, Ares bisa disadarkan dengan segala sikap kemurahan hati Rere. Agar putranya itu tau dan belajar, hanya Rere yang mencintai dan menyayangi dengan sepenuh hati. Tio hanya bisa berdoa untuk keberkahan rumah tangga anak-anaknya.

Sedangkan Tania dan Silvia sepertinya tidak berniat untuk masuk ke dalam rumah. Mungkin, mereka ingin melihat drama apa yang akan dilakukan oleh Raisa.

"Nggak bisa lain waktu. Aku udah kangen sama Ares." Dengan tidak tau malunya, Raisa berkata seperti itu. Lagi dan lagi, Ares juga tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ia tidak menyangka, Raisa benar-benar nekat. Wanita itu sudah di luar batasannya.

"Sa, lebih baik kamu pulang, sekarang." Ares menatap Raisa dengan tajam.

"Kamu ngusir aku?" tanya Raisa dengan nada yang dibuat sedih.

"Iya, kak Ares ngusir kamu. Udah sana pulang, ya." Rere tersenyum hangat, masih berusaha sabar menghadapi Raisa dengan segala sikap tidak terduganya yang tidak tau malu.

"Astaga, sabar ... sabar. Bikin naik pitam aja," gumam Tania mengelus dadanya.

Silvia menghembuskan napasnya kasar, menatap Raisa tajam, sebelum ia memutuskan pergi dan mengajak kakaknya itu masuk ke dalam rumah. "Inget ini, ya. Kalo sampe kamu ngerusak hubungan Ares dan Rere, saya orang pertama yang akan kamu temui."

Kini, tersisa Ares, Rere dan Raisa. "Cepat katakan, apa keperluanmu menemui kak Ares."

Tanpa membalas perkataan Rere, Raisa langsung menghamburkan dirinya memeluk Ares tanpa tau malu. Sikap Raisa membuat Rere diam, membeku. Setelah lama ia tidak melihat kemesraan atau hal intens antara Ares dan Raisa, detik ini ia kembali melihatnya. Mendadak, semua terasa menyesakkan bagi Rere. Entah kenapa, Rere merasa ingin menangis saat melihatnya. Padahal sebelumnya, ia tidak se-sensitif ini.

"Aku kangen banget sama kamu," ujar Raisa bergumam. "Maaf ya, aku ke sini bikin kamu kaget."

Ares membalas pelukan Raisa dengan kaku, sekilas matanya menatap Rere yang memalingkan mukanya ke segala arah. Dalam hati ia bertanya, ada apa dengan Rere?

"Besok lagi kuharap kamu tidak melakukannya lagi." Ares mengingatkan membuat Raisa mengangguk mengerti. Ini juga pertama kalinya Raisa nekat melakukan hal seperti ini, karena ia juga sudah tidak tahan melihat Ares dan Rere yang semakin hari, semakin dekat. Tentu saja, Raisa tidak akan membiarkan Ares meninggalkannya. Tidak akan membiarkan Rere merebut Ares darinya. Semua itu tidak akan pernah terjadi.

Ares hanya miliknya. Jika ia tidak bisa memiliki Ares selamanya, maka tidak boleh ada wanita satu pun juga yang memilikinya.

"Maaf ....."

"Selesaikan perbincangan kalian, aku akan masuk terlebih dulu," ujar Rere tanpa menatap 2 orang yang sedang berpelukan itu. Ares hanya mampu melihat Rere pergi menjauh, sedangkan Raisa tersenyum penuh kemenangan.

"Bagus kalo sadar diri," ujar Raisa menyindir yang diabaikan Rere.

Saat Rere masuk ke dalam rumah, ia melihat seluruh anggota keluarga sedang berkumpul di ruang keluarga. Sepertinya mereka memutuskan untuk menonton film. Berusaha untuk berjalan bersembunyi, Rere memutuskan pergi ke taman belakang yang memang jaraknya tidak melewati ruang keluarga. Berbeda jika ia pergi ke kamar, maka akan jelas terlihat. Rere duduk di salah satu kursi memanjang yang berada di taman belakang. Ia menarik napasnya dalam, lalu menghembusnya perlahan. Aroma semerbak harum dari bunga-bunga yang ditanam, menambah kesan sejuk dan nyaman.

Napasnya terdengar bergetar dan tidak beraturan. Air mata yang sejak tadi ditahan dan mendesak ingin keluar, akhirnya meluruh juga. Rere menangis dalam diam. Masih akan selalu terasa sakit melihat hubungan Ares dan Raisa. Ah, tentu saja, karena Rere mencintai pria itu. Jika tidak maka, ia tidak akan tersiksa dengan perasaan sakit dan tidak terbalas ini. Andai saja, mengatakan pada Ares, jika ia sangat-sangat mencintai pria itu dengan mudah. Pastinya sudah Rere lakukan sejak dulu, mungkin beberapa jam setelah ijab qobul selesai diucapkan.

"Menangislah, Re. Papa tau, ini berat. Tapi papa tau, kamu kuat." Tio duduk di samping Rere, lalu memeluk anak kesayangannya itu dari samping.

Rere yang hendak membuka suara, langsung ditahan oleh Tio. "Tidak perlu bertanya ataupun menjelaskan. Papa tau semua apa yang terjadi."













Minal Aidin wal Faidzin, y'll 💗💐✨

btw, The Sunset is Beautiful Isn't it #Menjadi Pelakor Suami Sendiri sudah tersedia di KaryaKarsa, KBM App sampai BAB 40 ya!

username: thxyousomatcha

Beautiful Heart (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang