Bencana Besar

54 10 33
                                    

Chaiden bersyukur ternyata dirinya telah diselamatkan oleh seorang kakek tua yang di mana adalah gurunya sendiri. Chaiden termenung sesaat lalu celingukan mencari keberadaan iblis yang sempat akan menyerangnya tadi.

"Kakek, di mana iblis yang akan menyerangku tadi?" tanya Chaiden. Suaranya terdengar getar, bocah itu masih terlalu shock akan kejadian yang baru saja menimpanya.

Sang pria tua itu tersenyum seraya mengusap pucuk kepala Chaiden. "Kakek sudah menghalaunya agar tidak mengganggumu."

Chaiden mengangguk, lalu arah matanya tak sengaja membentur sebilah pedang di tangan sang kakek dengan da-rah segar yang membasahi pedang tersebut. "Kakek habis berburu?"

Pria tua yang diketahui bernama Keith itu mengangguk, "iya, tadi Kakek berburu di hutan sebelah barat dan tidak sengaja bertemu denganmu. Oh ya, ada sesuatu yang ingin Kakek bicarakan denganmu. Ayo, ikut ke rumah Kakek!"

"Baiklah." Chaiden mengangguk kemudian berjalan mengikuti langkah Keith menuju rumahnya.

_-00-_

Rumah reot dengan bangku dari bambu yang terpajang di depan rumah sudah bisa Chaiden lihat dari kejauhan. Pepohonan besar tumbuh melingkari rumah tersebut. Lingkungannya sangat asri jika pagi hari, tetapi kalau malam menjadi tempat yang sangat ditakuti oleh anak kecil. Chaiden sudah tak asing lagi dengan rumah itu. Bau tanah yang berbaur dengan air hujan langsung menyambutnya dengan sukacita. Chaiden suka suasana di sini.

"Sini, Nak," panggil Keith---menyuruh Chaiden untuk ikut duduk di bale bambu rumahnya.

Chaiden mengangguk sebentar lalu segera berjalan menghampiri rumah Keith. Sebelum ikut duduk di samping sang guru, Chaiden membersihkan pedangnya terlebih dahulu menggunakan air di gentong yang tersedia di samping rumah Keith. Setelah selesai, barulah ia menghampiri sang guru dan duduk di sebelahnya.

Hening tercipta di tengah mereka, embusan angin mengusik tiap raga yang dilaluinya. Suara pohon yang saling bergesek pun menambah suasana siang hari ini. Chaiden berkali-kali mengembuskan napas, entah apa yang akan dibicarakan sang guru sampai mengajaknya ke sini.

"Apa benar adikmu Xavier telah terbu-nuh? Kakek dapat kabar kalau kamu baru saja menyerahkan jantung Xavier tadi malam. Benar itu, Nak?"

Chaiden geming, tidak mungkin jika ia memberitahukan hal tentang Xavier yang sebenarnya pada Keith. Chaiden tidak mau jika Xavier benar-benar terbu-nuh. Siapa pun tidak ada yang boleh mengetahui keberadaan Xavier, sekalipun itu gurunya sendiri.

"Nak?" tegur Keith dengan menepuk pundak Chaiden.

"Iya, Kek. Xavier telah dibu-nuh. Ayahku yang telah membu-nuhnya," jawabnya. Ia terpaksa berbohong.

Keith tertawa setelah Chaiden menjawab pertanyaannya. Chaiden menelengkan kepalanya ke samping---mengapa sang guru malah menertawakan jawabannya? Apa jangan-jangan Keith sudah tahu rahasia yang ia sembunyikan?

"Kenapa Kakek tertawa?" tanya Chaiden ragu-ragu.

Keith menghentikan tawanya sejenak, "Menurutmu, kenapa Kakek tertawa?" Bukannya menjawab Keith justru menggulir pertanyaan yang sama pada Chaiden.

Chaiden geming, dari wajahnya sudah tampak kalau bocah itu tengah panik. Chaiden melempar pandangannya ke seluruh penjuru arah, ia bingung akan situasi yang tengah terjadi.

"Nak."

Keith kembali memanggil, tanpa sadar Chaiden pun memalingkan wajah padanya. Seperti dihipnotis, kedua mata Chaiden tak berkedip menatap mata Keith. Aura hitam perlahan-lahan keluar dari kedua mata Keith. Chaiden tak bergerak, matanya masih fokus pada kedua mata Keith. Aura hitam dari mata Keith pun masuk ke mata Chaiden, merubah bola mata biru anak itu menjadi legam.

DEVILUMINATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang