Waktu kerap berjalan mengikuti perputaran bumi. Banyak tahun-tahun telah terlewati. Hidup di kurungan bukanlah hal yang mudah. Anak itu tumbuh di sana, hanya ditemani oleh kelinci putihnya. Walaupun sang ibu dan kakak sering menjenguk, tetap saja mereka tidak bisa terus-menerus menemani.
Xavier sadar dirinya sudah mulai banyak mengalami perubahan pada psikis maupun fisiknya. Jalan pikirnya pun semakin maju ke depan, bukan lagi anak kecil berumur lima tahun. Suaranya pun memberat. Namun, Xavier tidak tahu sekarang ini umurnya berapa tahun. Sebab ia tidak dapat melihat matahari dan dunia luar. Yang Xavier tahu, sang kakak sudah tumbuh menjadi remaja yang begitu gagah ketika sedang menghunuskan pedang jika iblis itu keluar dari tubuhnya.
"Umurku sekarang berapa, ya?" tanya Xavier pada Cate.
Sementara Cate hanya memainkan telinga panjangnya sembari mendusel pada Xavier.
Xavier memang tidak pernah keluar rumah. Namun, ia kerapkali belajar berpedang---tentunya Chaiden yang mengajari.
Xavier bersyukur iblis itu tidak pernah merubah bentuk tubuhnya. Tubuhnya tumbuh layaknya anak biasa. Xavier merasa iblis itu menjaganya untuk sekarang ini. Entahlah Xavier pun tidak tahu apa yang iblis itu incar darinya. Sampai kapan ia akan terus terkurung di sini?
Xavier memejamkan mata, mencoba mencari iblis dalam bayang-bayangnya. Namun, bukannya menemukan sang iblis Xavier malah merasakan sesuatu kembali bereaksi di dalam tubuhnya. Cate yang peka terhadap lingkungan lantas melompat menjauh dari Xavier.
"Kurasa aku berhasil memancing iblis itu agar muncul kembali."
Sebuah suara menyeramkan muncul dari balik kegelapan. Xavier menyipitkan mata---mencoba melihat siapa yang sedang berjalan menghampiri kurungannya di ujung lorong sana.
"Keluarlah! Aku tidak takut denganmu!" tantang Xavier, jemarinya berpegang pada jeruji besi.
Langkah kaki itu terdengar semakin kuat, hawa negatif mengambil alih suasana yang ada. Xavier semakin yakin jika yang datang saat ini adalah sang iblis yang telah merusak masa kecilnya.
Sepasang tanduk mencuri perhatian Xavier, seringai menyeramkan menghiasi wajah iblis itu. Xavier menantangnya, ia menatap kedua obsidian iblis itu lekat-lekat. Xavier tak lagi merasa takut akan kehadiran iblis karena ia sudah sangat sering berhadapan wajah dengannya. Xavier berpikir mungkin ia harus melawan iblis itu agar bisa jauh dari hidupnya.
"Kau mau mencoba melawanku?" Iblis itu mendekat hingga wajahnya begitu lekat dengan Xavier.
"Kau pikir kau sehebat itu?!" bentak Xavier, kini jemarinya memerah karena terlalu kuat berpegang pada pagar besi.
Iblis itu tertawa, lalu mengangkat dagu Xavier menggunakan kuku jari telunjuknya. "Coba saja lawan aku. Kau bukan tandinganku."
"Jawab dengan jujur, mengapa kau begitu mengincarku? Apa yang kau cari dariku?" Xavier menggertak, rahangnya menegang menandakan bocah itu tengah marah.
"Jangan marah, kau akan kesakitan jika kau marah seperti itu. Marah adalah sifat para iblis, Xavier."
Xavier semakin jengah dibuatnya. Iblis itu terlalu mengulur waktu. "Cepat katakan padaku, apa yang kau incar dariku?!"
Raut wajah iblis itu berubah menjadi tegas. Ia melayangkan tamparan kerasnya pada Xavier hingga tubuh Xavier terpental ke belakang.
"Jantungmu ada pada genggaman tanganku. Jadi, jangan pernah kau bermain-main denganku, atau kau akan tersiksa!" Iblis itu melebur menjadi butiran hitam dan menghilang.
"Mengapa iblis itu tidak langsung mengambil nyawaku saja?" Xavier menyeret tubuhnya dan bersandar pada dinding. Entah mengapa ia merasa energinya langsung diserap habis setelah mengobrol atau sekedar berhadapan dengan iblis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEVILUMINATI
FantasyTindakan sang raja yang menginginkan masa kejayaan suatu kerajaan membuat sang pangeran berada dalam lingkaran setan. Louise Halbert, pangeran kedua yang dikorbankan sang raja kepada iblis, tetapi mati di tangan raja itu sendiri. Akankah iblis terim...