11. Apakah Hanya Mimpi?

47 9 21
                                    

Semak belukar tumbuh amat panjang, tampak seperti taman yang sudah lama tak dirawat. Melangkah di tengahnya seperti melangkah di padang kaktus yang berduri. Sakit, ilalang itu menusuk kulit. Angin yang berembus semakin memperkeruh suasana, ilalang itu bergoyang mengikuti ke mana angin membawa dunia.

Sial, ia tidak membawa apa-apa di sini. Pedangnya lenyap seketika. Tangannya kosong, hampa, dan sendirian. Sebenarnya di mana ia sekarang? Tidak ada manusia di sini, tetapi suara hewan saling bersahutan menemani perjalanan sesatnya.

Telinga Chaiden bergerak, ia mendapatkan suatu sinyal yang memanggil dirinya. Di saat yang bersamaan muncul seekor kupu-kupu berwarna putih yang berterbangan dengan cahaya hijau mengikuti. Mata Chaiden terpesona melihatnya.

"Cantik."

Kupu-kupu tersebut terbang dan hinggap di bahu kanan Chaiden, kemudian terbang kembali seolah menyuruh Chaiden untuk mengikutinya.

"Kau memintaku untuk mengikutimu, ya?"

Chaiden mulai berlarian mengikuti ke mana pun kupu-kupu itu membawanya. Semakin dijelajahi, alam itu semakin indah. Chaiden mulai ragu dengan tempat ini. Ini bukan surga, kan?

Aku ini sebenarnya di mana? Ini bukan surga, kan? Apa saat aku tertidur tadi, Xavier membu-nuhku? Lalu, di mana ragaku? Aku sudah mati kah?

"Saksikanlah!"

Chaiden terlonjak kaget, siapa yang bersuara barusan? Anak tujuh belas tahun itu celingukan untuk mencari sumber suara yang tiba-tiba muncul. Chaiden berharap ada seseorang yang akan membantunya.

"Siapa yang baru saja bersuara?"

"Aku! Aku di depanmu!"

Mata Chaiden berhenti pada seekor kupu-kupu tadi yang memang ada di hadapannya. "Kau yang berbicara?"

Kupu-kupu itu terbang mendekat, lalu bertengger pada batang hidung mancung Chaiden. "Kau saja bisa berbicara, mengapa aku tidak? Kita kan, sama-sama makhluk Tuhan."

Kupu-kupu tadi menghilang, bersamaan dengan itu sebuah pemandangan muncul mengejutkan mata. Dari arah barat, tampak sesosok remaja berpakaian bagus nan rapi menunggangi seekor kuda sembari memainkan pedang---bak seorang pangeran dari suatu kerajaan. Chaiden bisa menebak jika pemuda itu tengah berlatih perang.

Chaiden tertarik untuk berkenalan, lantas ia pun berlari ke arah pemuda tersebut sembari meneriakinya.

"Hei!"

Pemuda itu berhenti, kepalanya menoleh di balik bahu. Parasnya amat menawan, tubuhnya terlihat gagah. Pemuda itu pun turun dari kuda saat Chaiden menghampirinya.

"Boleh aku bertanya?" salam Chaiden hormat.

Pemuda itu mengangguk, "silahkan saja."

"Aku tersesat, aku ingin kembali pulang, tetapi aku tidak tahu sekarang ini aku sedang ada di mana. Bisakah kau memberitahuku di mana aku sekarang?"

Pemuda itu tersenyum, lalu mengulurkan tangan. "Alangkah baiknya kita berkenalan terlebih dahulu. Perkenalkan, namaku Louise Halbert. Siapa namamu?"

"Aku Chaiden De Nael. Senang berkenalan denganmu," balas Chaiden seraya membalas uluran tangan Louise.

"Pakaianmu begitu rapi, kau juga berkuda. Apakah kau seorang pangeran?" tanya Chaiden, ia menebak dengan penuh keyakinan.

Louise tertawa kecil sembari mengangguk. "Iya, aku pangeran dari kerajaan Mist Paradise."

Chaiden terkejut, lalu memberikan salam penghormatan pada sang pangeran. Ia merasa sikapnya lancang kali ini. "Maafkan aku, Yang Mulia."

"Tidak perlu seperti itu." Louise menepuk-nepuk pundak Chaiden dengan santai.

DEVILUMINATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang