18. Data korban Aratohrn

41 6 43
                                    

Angin berembus kencang, menyapu seluruh benda yang dilewati. Awan putih semi abu bergerumul menutupi sinar mentari yang memaksa masuk. Dinginnya angin siang hari ini mengimpit seluruh hawa panas yang datang silih berganti. Mungkin sudah masuk musim hujan, begitu yang dipikirkan para manusia. Aktivitas para warga desa terlihat mulai ramai seperti biasanya. Terlebih anak-anak yang suka bermain saat suasana seperti ini. Mereka menunggu hujan agar bisa mandi di bawahnya.

Dalam keramaian desa hari ini terdapat seorang pemuda dengan pakaian cokelat berjalan menyusuri jalanan desa. Langkahnya cepat dan berat, menggambarkan berapa banyak beban yang dipikulnya. Beberapa orang yang berlalu lalang seolah sudah tak nampak lagi di matanya.

Dari kejauhan tampak beberapa gadis berpakaian rapi nan molek dengan riasan wajah berjalan mendekati Chaiden. Mereka berlomba-lomba untuk disapa olehnya.

Lagi pula, siapa sih, yang tidak kenal dengan Chaiden? Pemuda gagah dengan pedang andalannya itu sangat dikenali para warga di sini. Sikapnya memang cuek dengan orang yang tidak memiliki hubungan dengannya. Namun, postur tubuh serta tampangnya itu berhasil meraup sebagian besar hati para wanita.

Salah seorang gadis dari mereka lantas berlari mendekati Chaiden.

"Hai, Chaiden! Tumben sekali kau tidak membawa pedangmu," sapa gadis tersebut seraya melambaikan tangan.

Lirikan tajam mendominasi kala Chaiden melewati gadis yang baru saja menyapanya. Bola matanya memutar jengah, ia malas untuk menanggapi orang lain sekarang. Semua persoalan yang terjadi di dalam keluarganya sudah cukup rumit, ia tidak memiliki waktu lagi untuk berbasa-basi.

Keharusannya untuk menjadi tulang punggung keluarga membuat Chaiden nyaris tidak memiliki empati terhadap manusia lain. Tepatnya manusia yang tidak memiliki hubungan dengannya, dan tidak bisa membantunya memecahkan masalah.

"Maaf, apa kau mendengarku?" Gadis tersebut berlari mengejar langkah Chaiden.

Chaiden yang geram lantas menghentikan langkah. Decakan keras terdengar dari mulut lelaki itu.

"Kalau tidak memiliki hubungan denganku, maka jangan menggangguku."

Setelah mengatakan itu, Chaiden pun melenggang pergi dari sana. Meninggalkan seorang gadis yang hanya bisa diam sembari memandangi punggungnya dari kejauhan.

_-00-_

"Wah, ada Chaiden. Mengapa kau ke mari, Nak?" sapa Andrew dengan senyum khasnya.

"Saya ada perlu dengan Bapak," balas Chaiden tak kalah ramah.

"Mau bicara di dalam atau di luar saja?"

"Di luar saja, Pak. Udaranya jauh lebih sejuk."

Andrew mengangguk, kemudian berjalan ke arah kursi, dan diikuti oleh Chaiden. Mereka duduk di sana, bersiap untuk membicarakan hal yang ingin disampaikan oleh Chaiden hari ini.

"Begini, Pak. Saya ingin mengetahui banyaknya jumlah korban yang telah dibu-nuh oleh Xavier beberapa tahun lalu. Apa Bapak masih menyimpan datanya?"

Dari raut wajah Andrew sangat tampak bahwa pria itu kebingungan. Helaan napas panjang terdengar, lantas ia beranjak dari kursi. "Sebentar, saya ambil datanya di dalam."

Tak membutuhkan waktu lama, Andrew pun kembali muncul dari dalam rumah. Di tangannya terdapat beberapa berkas. Pria berumur itu kembali duduk di kursi seraya meletakkan berkas di meja.

"Ini adalah data korban yang telah meninggal akibat dibu-nuh oleh Xavier. Kamu bisa melihatnya sendiri."

"Baik." Setelahnya Chaiden mulai mengambil selembar kertas usang yang ada di atas meja.

DEVILUMINATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang