21. Kembalinya Ingatan

37 5 5
                                    

Detik bergerak seiring udara melandai di dekatnya. Bersuara tidak ingin ketinggalan dengan kemajuan umat manusia. Kejahatan dan kebaikan bersatu padu sampai semua orang terjerat di dalamnya. Tidak ada yang bisa membedakan kedua hal tersebut. Keduanya sangat tabu semakin manusia mampu menguasai ilmu manipulasi.

Kerutan yang tampak seakan memberitahu dunia bahwa semua kejahatan yang ada di dunia berasal dari janji yang tidak pernah ditepati. Kabut asap berhamburan keluar dari cerobong asap sebuah rumah sederhana di tengah hutan, jauh sekali dari pemukiman warga.

Tampaknya memang menyeramkan, tetapi siapa sangka bahwa rumah tersebut adalah rumah bagi anak desa yang ingin menuntut ilmu. Seorang pria renta yang sudah hidup selama puluhan tahun kini duduk bersantai di depan rumah. Memandangi peradaban manusia dan alam semesta.

Suara pedang bertabrakan, pelesatan anak panah, serta tinjuan sudah menjadi lagu yang menemani usia senjanya. Usia boleh menua, tetapi ilmu harus tetap diamalkan dengan mengajar para anak di desa tersebut.

"Hei yang di sana, berhati-hatilah dengan pedangmu! Jangan sampai emosi menguasai diri kalian jika sedang bermain pedang!"

Suara seraknya melengking, memperingati anak didiknya dalam latihan kali ini.

"Baik, Kakek Guru!"

Perhatian Keith beralih pada seorang anak yang tampak frustasi karena panahannya selalu meleset.

"Istirahatlah, kau sudah mulai tidak fokus. Manusia biasa tidak bisa dipaksa bekerja layaknya Dewa."

Anak itu mengangguk, kemudian duduk dan meneguk sebotol air yang telah disediakan Keith untuk para anak didiknya.

Helaan napas kembali terdengar dari mulutnya. Keith menyipitkan mata saat sesosok remaja laki-laki berjalan menghampiri. Dari kejauhan ia sudah mengenal siapa remaja itu.

"Ah, kau sudah datang rupanya."

Entah mengapa kehadiran Chaiden membuat Keith senang. Chaiden memang merupakan murid kesayangannya sejak dulu. Chaiden tidak hanya dianggap sebagai murid saja, tetapi juga dianggap sebagai anak. Pasalnya ia sangat mengetahui bagaimana anak ini kehilangan arah saat mulai menginjak masa remaja tanpa bimbingan sosok ayah.

Chaiden memberikan salam penghormatan kepada Keith selayaknya murid dengan guru. Lalu, ia duduk di samping Keith.

"Aku sedang tidak ingin berlatih apa pun hari ini."

"Lalu?"

Hela napas panjang dapat terdengar mengalun dari anak itu. Pandangannya setia mengarah ke depan. Semua orang pun bisa melihat jika anak itu tengah menggendong beban yang membuatnya lelah.

"Aku ke mari hanya untuk menenangkan pikiran."

"Sudah kuduga." Keith merangkul bahu Chaiden, lalu menepuknya beberapa kali.

"Keluarkan semua masalahmu padaku. Jangan sungkan, karena kehadiranku di sini adalah sebagai pengganti ayahmu."

Chaiden menggeleng pelan seraya tertawa kecil. "Ah, tidak ada. Aku hanya lelah saja."

Rasa ragu terhadap Keith tidak bisa hilang dari benak Chaiden sejak dahulu. Entahlah, walau Keith terbilang cukup dekat dengannya, tetapi ia tidak bisa jika harus membicarakan pasal Xavier secara menyeluruh.

"Mau bicara di dalam saja? Kakek ingin bicara suatu hal penting denganmu."

_-00-_


Mentari menyambut dunia dengan ceria, menggantikan posisi bulan selama semalaman penuh. Sinarnya menerobos celah jendela, menyorot tepat pada sesosok laki-laki yang terbaring di atas ranjang.

DEVILUMINATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang