10. Tentang Dendam Iblis

45 9 29
                                    

"Ranting sialan!" Chaiden menyingkirkan dahan pohon itu dari tubuhnya lalu bangkit.

Kepalanya melongok ke kanan dan kiri---melihat apakah masih ada ranting pohon yang cocok dijadikan sebagai kayu bakar. Mata Chaiden turun ke bawah, rupanya kayu yang telah ia kumpulkan lumayan banyak. "Ini sudah lebih dari cukup."

Chaiden pun meraup seluruh kayu bakar, lalu berjalan pulang untuk segera menyerahkan kayu bakar itu pada Casey.

_-00-_

Gemerincing lonceng terdengar kian keras, tak lama benda berisik itu terlempar begitu saja hingga keluar dari kurungan besi. Xavier tertawa remeh, meremehkan dirinya sendiri yang payah. Matanya bergerak turun, mengintimidasi seluruh tubuhnya yang benar-benar kacau. Netranya bergerak ke arah sudut ruangan, tampak jelas di sana sosok Cate sedang tertidur pulas.

Napasnya keluar secara kasar, ia benar-benar penat berada di kurungan ini selama bertahun-tahun. Hanya makan, berlatih bersama Chaiden, dirasuki Iblis, lalu tidur. Pengap dan gelap sudah menjadi teman baiknya. Jiwanya hampir gila, tetapi harus tetap dipaksakan untuk waras agar ia bisa menemukan jalan keluar dari semua ini.

"Aku tidak bisa berbuat apa-apa jika aku tetap di sini." Xavier bergumam pelan seraya memainkan rantai yang ada di kakinya.

"Kira-kira, apa yang aku miliki sehingga iblis menginginkanku?" monolognya seorang diri.

Xavier memutar otak, matanya terpejam, mencoba untuk mencari tahu apa yang ia miliki, atau alasan logis mengapa iblis itu mengincarnya.

"Mengapa iblis itu tidak mengincar kak Chaiden, ya? Padahal kak Chaiden jauh lebih sempurna dariku." Xavier tertawa di akhir kalimatnya, tidak munafik ia selalu merasa iri dengan sang kakak yang memiliki kehidupan sempurna dan bebas, tidak seperti dirinya yang harus mati.

"Lagi pula, kenapa aku harus lahir? Seharusnya, Bunda tidak perlu bersusah payah melahirkan ku. Kurasa, kehidupan keluargaku akan jauh lebih baik jika mereka hanya memiliki kak Chaiden."

"Tidak boleh berbicara seperti itu."

"Kak Chaiden?!" Xavier terbelalak kaget melihat kedatangan Chaiden yang tiba-tiba.

Usai menutup pintu kurungan, Chaiden berjalan mendekati Xavier. Ia menyodorkan sebuah gelas berisikan air pada sang adik. "Kau harus minum agar pikiranmu tidak meracau ke mana-mana."

Dengan rasa haus yang sudah ditahan sejak tadi, lantas Xavier buru-buru mengambil gelas dari tangan Chaiden, dan meneguknya dengan cepat.

"Pelan-pelan." Chaiden duduk di samping Xavier.

"Terimakasih Kak." Usai meneguk habis air itu, Xavier pun menaruh gelas di sampingnya.

Xavier terdiam sesaat, ia merasa malu dengan Chaiden. "Kak, apa kau mendengar semua ucapanku tadi?"

Chaiden mengangguk seraya mengangkat sebelah kakinya. "Ya, aku mendengar semuanya."

Xavier menggigit bibir bawahnya, ia mengutuk dirinya sendiri. Xavier malu dengan sang kakak. Mengapa Chaiden harus datang secara tiba-tiba seperti itu, sih?!

"Tidak perlu malu," sahut Chaiden, seakan peka dengan keadaan.

"Kau sempurna, sama sepertiku. Bahkan, kau jauh lebih sempurna dariku. Buktinya saja iblis lebih mengincarmu. Jika aku lebih sempurna, seharusnya iblis itu mengincarku. Benar, tidak?" Chaiden menyenggol lengan Xavier, membuat Xavier mengamuk saat itu juga.

DEVILUMINATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang